Rasionalisasi PNS yang Irasional?
A
A
A
H DR Mardani Ali Sera
Anggota Komisi II DPR RI
Jumlah PNS di Indonesia hingga saat ini berkisar 4,5 juta jiwa atau rasionya 1,77% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 235 juta jiwa. Idealnya, menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) rasio PNS adalah 1,5%. Sehingga berdasar data tersebut, menurut pemerintah, postur PNS saat ini dianggap terlalu gemuk. Karenanya, pemerintah ingin melakukan perampingan yang disebut dengan rasionalisasi PNS.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemerintah mengklaim rasio jumlah PNS yang ideal adalah 1,5%? Metode apa yang dipakai? Lantas, apa yang menjadi pertimbangan utama pemerintah ingin melakukan rasionalisasi ini? Apakah karena keterbatasan anggaran dalam menggaji dan memfasilitasi para PNS? Ataukah memang didasari oleh suatu pandangan bahwa jumlah PNS yang ramping akan bekerja secara efektif dan efisien? Hal-hal ini perlu dijawab sebelum kita berbicara lebih jauh.
Presiden Jokowi menjelaskan bahwa rasionalisasi PNS ini dilakukan demi menghemat anggaran negara serta pengefektifan birokrasi. Karena birokrasi yang gemuk, akan mempersulit gerak. Pemerintah menargetkan pemangkasan belanja pegawai secara nasional dari posisi 33,8% menjadi 28% dari total APBN/APBD selama 2015-2019. Pengurangan jumlah ini akan mencapai 1 juta orang hingga tahun 2019 yang akan dilakukan bertahap lewat audit organisasi, pemetaan kebutuhan, dan menunggu PNS yang akan pensiun.
Sedangkan terkait rasio ideal jumlah PNS, apakah pemerintah hanya memperhitungkan aspek jumlah penduduk? Kita jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa postur PNS dengan rasio sekarang 1,77% itu terlalu gemuk. Di beberapa instansi dan tempat memang akan terasa postur gemuk itu. Namun, jika kita melihat fakta lain di lapangan, banyak tempat yang ternyata kekurangan tenaga PNS. Di daerah-daerah pelosok, khususnya daerah 3T (terdepan, terluar, terpencil), sangat terasa nuansa kekurangan itu, misalnya tenaga pendidikan seperti guru, tenaga kesehatan seperti dokter, KUA (Kantor Urusan Agama), dan seterusnya.
Apakah lantas dengan kondisi demikian kita simpulkan klaim pemerintah tadi benar? Ibarat seperti tubuh manusia, kegemukan itu hanya terjadi di sekitar perut, sementara tangan dan kaki kurus kering. Padahal, tangan dan kaki ini harus mendapatkan energi yang cukup karena aktivitas kita sehari-hari didominasi oleh tangan dan kaki ini. Sementara perut yang gemuk tidak ada fungsinya, selain makin memberatkan tubuh, padahal tangan dan kaki kekurangan energi untuk menopangnya. Akibatnya tubuh kita jadi kurang gesit dan cenderung lemah. Solusinya perkecil lemak di perut dan disebar ke otot-otot tangan dan kaki.
Oleh karenanya, kita musti melihat rasio ideal PNS bukan dari jumlah total penduduk saja, tapi juga melihat aspek persebaran PNS serta demografis, mengingat Indonesia terdiri dari 14.000-an pulau. Sehingga kita akan dapatkan angka rasio ideal PNS yang benar-benar rasional, bukan angka perkiraan yang dipaksakan menjadi irasional. Jangan-jangan, dengan melihat fakta tadi, apakah rasio jumlah PNS yang ideal untuk Indonesia bisa mencapai 2%-3% yang artinya kita justru kekurangan PNS?
Sementara itu, untuk melakukan rasionalisasi PNS tadi, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 11/ 2017 tentang Manajemen PNS sebagai payung hukum. PP ini mengatur soal manajemen PNS yang di dalam Pasal 241 diatur soal perampingan bagi instansi-instansi yang diakibatkan kelebihan jumlah PNS. Perampingan dilakukan dengan memindahkan PNS dari instansi yang melakukan perampingan ke instansi lain yang membutuhkan SDM. Apabila tidak ada instansi yang bisa menampung, maka ketentuannya bagi PNS yang usianya sudah mencapai 50 tahun dan masa pengabdian 10 tahun, akan diberhentikan dengan hormat. Sedangkan bagi PNS yang belum mencapai usia 50 tahun serta masa pengabdian belum mencapai 10 tahun akan dirumahkan sementara sampai ada kejelasan apakah instansi lain bisa menampungnya atau tidak, dan selama masa penantian itu bagi yang bersangkutan diberi uang tunggu.
Perlu untuk dipertimbangkan lagi, seandainya rasionalisasi benar-benar harus dilakukan nantinya dengan perampingan berdasar analisis kebutuhan dan penghitungan rasio yang valid, alternatif pemindahan PNS yang mengalami perampingan jangan hanya ke instansi pemerintah. Namun, hendaknya dipertimbangkan juga untuk memperluas cakupan pemindahan ke instansi swasta. Ini perlu dipikirkan sebagai jaminan bahwa negara bertanggung jawab secara konstitusi dalam menjamin kesejahteraan warganya. Mudahnya pemerintah memberhentikan PNS hanya akan menumbuhkan mental malas dan ragu di benak PNS yang masih aktif untuk bekerja secara optimal. Logikanya, untuk apa bekerja secara maksimal, jika toh mereka tidak merasa tenang karena berpeluang dapat diberhentikan sebelum waktunya. Meskipun di sisi lain ”ancaman” pemberhentian berdasarkan kinerja dapat juga memotivasi mereka supaya bekerja secara maksimal.
Sementara di sisi lain yang juga tidak kalah penting diperhatikan bahwa ternyata rasionalisasi atau perampingan PNS saja tidaklah akan otomatis menjamin kinerja pemerintah berjalan efektif.
David Osborne dan Peter Plastrik dalam ”Banishing Bureaucracy/Memangkas Birokrasi (1997)” menjelaskan bahwa dulu Perdana Menteri Margaret Thatcher frustrasi atas ketidakmampuannya mengubah birokrasi Inggris. Ia melakukan perampingan, privatisasi, dan audit efisiensi, tapi semuanya gagal. Selama pemerintahan Thatcher, jumlah pegawai negeri turun dari 30% menjadi 24% dari keseluruhan tenaga kerja dan belanja pemerintah turun dari 44% menjadi 40,5% dari PDB. Tapi tidak ada perubahan, dikarenakan Thatcher tidak memulai dengan sistem dan strategi yang sepenuhnya dikembangkan untuk merombak pemerintahan.
Namun pada tahun ke-9 ia menjabat, tim penasihat Thatcher mengeluarkan seperangkat perubahan sistematis. Untuk dapat mencapai perubahan yang sistematis tersebut, Osborne dan Plastrik menjelaskan perlunya membangun strategi yang dinamakan ‘Five C’s’ atau 5 Strategi yang terdiri dari strategi inti dan 4 strategi teknis, yaitu strategi konsekuensi, strategi pelanggan, strategi pengendalian, serta strategi budaya.
Kelima strategi itu adalah; Pertama, strategi inti yaitu melakukan pendekatan dengan kejelasan tujuan dan arah lembaga. Tanpa tujuan dan arah yang jelas, kerja PNS tidak efektif dan efisien karena salah jalan atau stagnan. Akibatnya instansi tidak produktif alias mandul. Kedua, strategi konsekuensi mempraktikkan kinerja yang kompetitif. Adanya iklim kompetisi yang sehat akan memacu kinerja PNS secara maksimal. Mereka akan berlomba-lomba mengoptimalkan kinerja.
Ketiga, strategi pelanggan mengorientasikan pertanggungjawaban kerja kepada masyarakat sebagai pelanggan. Tujuannya adalah bagaimana agar pelanggan terlayani dengan baik dan memuaskan. Keempat, strategi kontrol, yaitu pengontrolan dengan pemberdayaan karyawan dan masyarakat. Kelima, strategi budaya, yaitu perubahan mindset, mental, dan perilaku budaya. Mindset dan mental sangatlah penting karena segala perilaku, tindakan, sikap hingga kinerja diawali dengan mindset dan mental ini. Kalau mindset salah, kinerja akan buruk. Kalau mental yang dimiliki buruk, kinerja juga hasilnya tidak sesuai harapan.
Berkaca dari kasus kebijakan PM Margareth Thatcher di atas, ternyata perampingan saja bukanlah satu-satunya solusi. Kalau perampingan itu dilakukan dengan metodologi yang benar, maka itulah rasionalisasi sesungguhnya. Tapi kalau tidak dilakukan dengan metodologi yang valid, maka rasionalisasi PNS bisa menjadi irasional.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem kerja yang efektif dan efisien. Babak Armajani (Ketua Public Strategies Group & Reinventing Government) menyatakan bahwa ada lima mitos reformasi sektor publik yang ternyata kesalahan ada pada sistem. Salah satunya adalah mitos orang, yaitu mitos bahwa pemerintahan dapat diperbaiki dengan mempekerjakan orang-orang yang lebih baik. Kenyataannya, masalah bukan terletak pada orang, tetapi pada sistem yang membuat mereka terjebak. PNS yang kompetensinya rendah atau biasa-biasa saja dapat menghasilkan sesuatu yang baik jika sistem yang ada juga baik. Demikian juga PNS yang berkompeten sekalipun akan menjadi seperti orang bodoh karena sistem di mana ia bernaung buruk. Maka ketika misalnya pemimpinnya cuti atau berhenti bekerja, maka kinerja pemerintahan kembali menurun. Inilah pentingnya membangun sistem, tidak hanya melakukan perampingan jumlah PNS-nya.
Kita berharap, dengan pembangunan sistem serta lima strategi tadi dapat memberi masukan bagi birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan efektif, efisien, dan produktif. Sehingga rasionalisasi PNS—jika benar-benar akan dilakukan—tidak didasarkan pada mitos yang mengakibatkan kebijakan rasionalisasi tersebut justru irasional. *
Anggota Komisi II DPR RI
Jumlah PNS di Indonesia hingga saat ini berkisar 4,5 juta jiwa atau rasionya 1,77% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 235 juta jiwa. Idealnya, menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) rasio PNS adalah 1,5%. Sehingga berdasar data tersebut, menurut pemerintah, postur PNS saat ini dianggap terlalu gemuk. Karenanya, pemerintah ingin melakukan perampingan yang disebut dengan rasionalisasi PNS.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemerintah mengklaim rasio jumlah PNS yang ideal adalah 1,5%? Metode apa yang dipakai? Lantas, apa yang menjadi pertimbangan utama pemerintah ingin melakukan rasionalisasi ini? Apakah karena keterbatasan anggaran dalam menggaji dan memfasilitasi para PNS? Ataukah memang didasari oleh suatu pandangan bahwa jumlah PNS yang ramping akan bekerja secara efektif dan efisien? Hal-hal ini perlu dijawab sebelum kita berbicara lebih jauh.
Presiden Jokowi menjelaskan bahwa rasionalisasi PNS ini dilakukan demi menghemat anggaran negara serta pengefektifan birokrasi. Karena birokrasi yang gemuk, akan mempersulit gerak. Pemerintah menargetkan pemangkasan belanja pegawai secara nasional dari posisi 33,8% menjadi 28% dari total APBN/APBD selama 2015-2019. Pengurangan jumlah ini akan mencapai 1 juta orang hingga tahun 2019 yang akan dilakukan bertahap lewat audit organisasi, pemetaan kebutuhan, dan menunggu PNS yang akan pensiun.
Sedangkan terkait rasio ideal jumlah PNS, apakah pemerintah hanya memperhitungkan aspek jumlah penduduk? Kita jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa postur PNS dengan rasio sekarang 1,77% itu terlalu gemuk. Di beberapa instansi dan tempat memang akan terasa postur gemuk itu. Namun, jika kita melihat fakta lain di lapangan, banyak tempat yang ternyata kekurangan tenaga PNS. Di daerah-daerah pelosok, khususnya daerah 3T (terdepan, terluar, terpencil), sangat terasa nuansa kekurangan itu, misalnya tenaga pendidikan seperti guru, tenaga kesehatan seperti dokter, KUA (Kantor Urusan Agama), dan seterusnya.
Apakah lantas dengan kondisi demikian kita simpulkan klaim pemerintah tadi benar? Ibarat seperti tubuh manusia, kegemukan itu hanya terjadi di sekitar perut, sementara tangan dan kaki kurus kering. Padahal, tangan dan kaki ini harus mendapatkan energi yang cukup karena aktivitas kita sehari-hari didominasi oleh tangan dan kaki ini. Sementara perut yang gemuk tidak ada fungsinya, selain makin memberatkan tubuh, padahal tangan dan kaki kekurangan energi untuk menopangnya. Akibatnya tubuh kita jadi kurang gesit dan cenderung lemah. Solusinya perkecil lemak di perut dan disebar ke otot-otot tangan dan kaki.
Oleh karenanya, kita musti melihat rasio ideal PNS bukan dari jumlah total penduduk saja, tapi juga melihat aspek persebaran PNS serta demografis, mengingat Indonesia terdiri dari 14.000-an pulau. Sehingga kita akan dapatkan angka rasio ideal PNS yang benar-benar rasional, bukan angka perkiraan yang dipaksakan menjadi irasional. Jangan-jangan, dengan melihat fakta tadi, apakah rasio jumlah PNS yang ideal untuk Indonesia bisa mencapai 2%-3% yang artinya kita justru kekurangan PNS?
Sementara itu, untuk melakukan rasionalisasi PNS tadi, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 11/ 2017 tentang Manajemen PNS sebagai payung hukum. PP ini mengatur soal manajemen PNS yang di dalam Pasal 241 diatur soal perampingan bagi instansi-instansi yang diakibatkan kelebihan jumlah PNS. Perampingan dilakukan dengan memindahkan PNS dari instansi yang melakukan perampingan ke instansi lain yang membutuhkan SDM. Apabila tidak ada instansi yang bisa menampung, maka ketentuannya bagi PNS yang usianya sudah mencapai 50 tahun dan masa pengabdian 10 tahun, akan diberhentikan dengan hormat. Sedangkan bagi PNS yang belum mencapai usia 50 tahun serta masa pengabdian belum mencapai 10 tahun akan dirumahkan sementara sampai ada kejelasan apakah instansi lain bisa menampungnya atau tidak, dan selama masa penantian itu bagi yang bersangkutan diberi uang tunggu.
Perlu untuk dipertimbangkan lagi, seandainya rasionalisasi benar-benar harus dilakukan nantinya dengan perampingan berdasar analisis kebutuhan dan penghitungan rasio yang valid, alternatif pemindahan PNS yang mengalami perampingan jangan hanya ke instansi pemerintah. Namun, hendaknya dipertimbangkan juga untuk memperluas cakupan pemindahan ke instansi swasta. Ini perlu dipikirkan sebagai jaminan bahwa negara bertanggung jawab secara konstitusi dalam menjamin kesejahteraan warganya. Mudahnya pemerintah memberhentikan PNS hanya akan menumbuhkan mental malas dan ragu di benak PNS yang masih aktif untuk bekerja secara optimal. Logikanya, untuk apa bekerja secara maksimal, jika toh mereka tidak merasa tenang karena berpeluang dapat diberhentikan sebelum waktunya. Meskipun di sisi lain ”ancaman” pemberhentian berdasarkan kinerja dapat juga memotivasi mereka supaya bekerja secara maksimal.
Sementara di sisi lain yang juga tidak kalah penting diperhatikan bahwa ternyata rasionalisasi atau perampingan PNS saja tidaklah akan otomatis menjamin kinerja pemerintah berjalan efektif.
David Osborne dan Peter Plastrik dalam ”Banishing Bureaucracy/Memangkas Birokrasi (1997)” menjelaskan bahwa dulu Perdana Menteri Margaret Thatcher frustrasi atas ketidakmampuannya mengubah birokrasi Inggris. Ia melakukan perampingan, privatisasi, dan audit efisiensi, tapi semuanya gagal. Selama pemerintahan Thatcher, jumlah pegawai negeri turun dari 30% menjadi 24% dari keseluruhan tenaga kerja dan belanja pemerintah turun dari 44% menjadi 40,5% dari PDB. Tapi tidak ada perubahan, dikarenakan Thatcher tidak memulai dengan sistem dan strategi yang sepenuhnya dikembangkan untuk merombak pemerintahan.
Namun pada tahun ke-9 ia menjabat, tim penasihat Thatcher mengeluarkan seperangkat perubahan sistematis. Untuk dapat mencapai perubahan yang sistematis tersebut, Osborne dan Plastrik menjelaskan perlunya membangun strategi yang dinamakan ‘Five C’s’ atau 5 Strategi yang terdiri dari strategi inti dan 4 strategi teknis, yaitu strategi konsekuensi, strategi pelanggan, strategi pengendalian, serta strategi budaya.
Kelima strategi itu adalah; Pertama, strategi inti yaitu melakukan pendekatan dengan kejelasan tujuan dan arah lembaga. Tanpa tujuan dan arah yang jelas, kerja PNS tidak efektif dan efisien karena salah jalan atau stagnan. Akibatnya instansi tidak produktif alias mandul. Kedua, strategi konsekuensi mempraktikkan kinerja yang kompetitif. Adanya iklim kompetisi yang sehat akan memacu kinerja PNS secara maksimal. Mereka akan berlomba-lomba mengoptimalkan kinerja.
Ketiga, strategi pelanggan mengorientasikan pertanggungjawaban kerja kepada masyarakat sebagai pelanggan. Tujuannya adalah bagaimana agar pelanggan terlayani dengan baik dan memuaskan. Keempat, strategi kontrol, yaitu pengontrolan dengan pemberdayaan karyawan dan masyarakat. Kelima, strategi budaya, yaitu perubahan mindset, mental, dan perilaku budaya. Mindset dan mental sangatlah penting karena segala perilaku, tindakan, sikap hingga kinerja diawali dengan mindset dan mental ini. Kalau mindset salah, kinerja akan buruk. Kalau mental yang dimiliki buruk, kinerja juga hasilnya tidak sesuai harapan.
Berkaca dari kasus kebijakan PM Margareth Thatcher di atas, ternyata perampingan saja bukanlah satu-satunya solusi. Kalau perampingan itu dilakukan dengan metodologi yang benar, maka itulah rasionalisasi sesungguhnya. Tapi kalau tidak dilakukan dengan metodologi yang valid, maka rasionalisasi PNS bisa menjadi irasional.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem kerja yang efektif dan efisien. Babak Armajani (Ketua Public Strategies Group & Reinventing Government) menyatakan bahwa ada lima mitos reformasi sektor publik yang ternyata kesalahan ada pada sistem. Salah satunya adalah mitos orang, yaitu mitos bahwa pemerintahan dapat diperbaiki dengan mempekerjakan orang-orang yang lebih baik. Kenyataannya, masalah bukan terletak pada orang, tetapi pada sistem yang membuat mereka terjebak. PNS yang kompetensinya rendah atau biasa-biasa saja dapat menghasilkan sesuatu yang baik jika sistem yang ada juga baik. Demikian juga PNS yang berkompeten sekalipun akan menjadi seperti orang bodoh karena sistem di mana ia bernaung buruk. Maka ketika misalnya pemimpinnya cuti atau berhenti bekerja, maka kinerja pemerintahan kembali menurun. Inilah pentingnya membangun sistem, tidak hanya melakukan perampingan jumlah PNS-nya.
Kita berharap, dengan pembangunan sistem serta lima strategi tadi dapat memberi masukan bagi birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan efektif, efisien, dan produktif. Sehingga rasionalisasi PNS—jika benar-benar akan dilakukan—tidak didasarkan pada mitos yang mengakibatkan kebijakan rasionalisasi tersebut justru irasional. *
(wib)