Anies, Islam, dan Keragaman
A
A
A
M Bambang Pranowo
Guru Besar di UIN Ciputat/Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten
MESKI kemenangan pasangan calon Anies-Sandi atas Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta sudah lebih dari sepekan, para netizen di internet tak henti mempersoalkan dampak kemenangan itu. Menurut sebagian netizen , kemenangan Anies-Sandi akan menjadikan Jakarta hijau royo-royo.
Jakarta juga berpotensi menerapkan hukum syariah Islam untuk memenuhi kelompok Islam militan yang selama ini bahu-membahu mendukung pasangan calon Anies-Sandi. Kaum Ahokers istilah yang disematkan untuk para pendukung pasangan calon Ahok-Djarot menuding kemenangan Anies disebabkan kampanye berbasis SARA yang seharusnya dihindari. Mereka menuduh kampanye berbasis SARA telah dipraktikkan para pendukung Anies-Sandi untuk memenangkan pilkada.
Ribuan karangan bunga ucapan kesedihan dan belasungkawa atas kekalahan Ahok-Djarot berderet memenuhi balai kota, dan sekarang dilanjutkan oleh ribuan balon. Karangan bunga itu konon masih terus berdatangan dari para Ahokers yang tetap mendukung Ahok (meski dalam pilkada) karena menurut mereka, pikada itu tidak fair.
Bagi kaum Ahokers, kekalahan pasangan calon Ahok-Djarot ini kekalahan kaum moderat, pluralis, dan pejuang keragaman (kebinekaan) di Indonesia. Pilkada DKI, bagi mereka, adalah cermin dari pilpres sehingga kekalahan Ahok-Djarot sama dengan kekalahan para pejuang NKRI yang menghendaki keberagaman, kemoderatan, dan kemodernan.
Di pihak lain, kemenangan Anies-Sandi oleh kaum Ahokers dianggap sebagai kemenangan para pengusung negara Islam, kelompok simpatisan (Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), kelompok radikal Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, dan kaum penyeru khilafah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dus, kemenangan Anies dianggap sebagai awal dari bencana perpecahan NKRI. Mengerikan sekali!
Bagi sebagian netizen pro-Ahok, kemenangan Anies merupakan keberhasilan penggalangan kampanye penyalahgunaan agama untuk politik. Demo besar-besaran yang menghendaki Ahok dipenjara dengan tuduhan penistaan Alquran sebetulnya tidak lebih dari sebuah trik politik belaka.
Karena itu, kemenangan Anies-Sandi akan menjadi preseden buruk pada masa depan. Calon-calon eksekutif dan legislatif pada masa datang niscaya akan menggunakan trik-trik pemanfaatan ayat suci untuk kampanye.
Bila perlu, mendorong terjadi kerusuhan SARA demi kemenangan jagoan-jagoan politiknya dalam pilkada. Majalah Tempo misalnya dalam ulasannya mengenai kemenangan Anies-Sandi menyimpulkan bahwa kekalahan Ahok adalah tragedi hancurnya demokrasi yang jujur dan berkeadaban.
Benarkah Tuduhan Itu?
Banyak para netizen yang "tertipu" dengan pemutarbalikan fakta-fakta yang disuguhkan kaum Ahokers di atas. Seakan-akan dalam kampanye Pilkada DKI baru lalu ada pengutuban secara diametral antara Ahokers dan Aniesers di masyarakat berdasarkan sentimen ras, suku, agama, dan ideologi.
Kelompok Ahokers seakan-akan mewakili aliansi pejuang demokrasi, HAM, kesetaraan gender, dan antisyariah. Sedangkan kelompok Anieser mewakili kelompok ekstrem, anarkis, dan Islamis kanan. Dengan kemenangan Anies-Sandi, itu berarti kelompok Islam yang anarkistis dan ekstremis akan menguasai panggung kekuasaan di Jakarta, yang dampaknya akan mendominasi perpolitikan nasional.
Pandangan tersebut jelas sangat simplistis. Menganggap warga DKI dangkal intelektual, buta politik nasional, dan kontra-Pancasila.
Dr Denny JA, konsultan kampanye pilkada, dalam artikelnya yang berjudul "Pasca Pilkada Jakarta, Apakah Kebinekaan Kita Terancam" menyatakan bahwa tuduhan pihak-pihak tertentu yang menyatakan kekalahan Ahok-Djarot sebagai tragedi nasional (karena hilangnya keberagaman, kesetaraan, dan menguatnya anarki) adalah isapan jempol belaka.
Menurut Denny JA, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang didirikannya telah melakukan 11 survei tentang dinamika politik Pilkada Jakarta sejak Maret 2016 sampai April 2017. Hasilnya, kekalahan Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta bukan karena hilangnya semangat keberagaman pada warga Jakarta seperti yang dituduhkan para Ahokers, melainkan karena pengaruh melting pot , kumpulan aneka kepentingan. Mereka punya tujuan sama: Ahok harus kalah!
Mereka yang punya tujuan sama "Ahok harus kalah" terdiri atas berbagai kelompok kepentingan. Mulai dari warga yang tersakiti akibat penggusuran rumah tanpa musyawarah, lalu pegawai negeri sipil (PNS) DKI yang dipecat Ahok dengan semena-mena, kemudian para pengusaha yang dipalak Ahok berlebihan, dan ibu-ibu rumah tangga yang melihat kemarahan brutal Ahok terhadap bawahannya sehingga merusak pendidikan akhlak anak-anaknya.
Mereka inilah yang terdiri atas berbagai komponen suku bangsa, agama, etnis, ilmuwan, dan kelompok ekonomi bekerja sama mengalahkan Ahok. Seorang pengusaha yang beretnis China dan nonmuslim, sebut saja namanya Exway, bahkan rela menggunakan "properti" miliknya untuk memenangkan Anies dengan niat menjaga keragaman.
Menurut dia, justru Ahoklah yang merusak keragaman. Apa arti semua itu? Sosok Ahok dalam Pilkada DKI ternyata tidak merupakan representasi dari keragaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia.
Menurut data LSI, para pemilih Ahok juga bukan orang-orang yang anti-NKRI dan Pancasila. Berdasarkan survei LSI, para pemilih Anies pun komposisinya tak jauh berbeda dengan komposisi masyarakat Jakarta yang 70% menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan menolak Indonesia jadi negara Islam.
Itulah sebabnya, menurut Denny JA, para pemilih Anies sebetulnya terdiri atas pihak-pihak yang sebetulnya satu sama lain bertentangan visinya. Di sana ada Muhammadiyah dan NU yang tetap menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, tapi ada juga kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam (khilafah).
Data-data besutan LSI Denny tersebut sulit dibantah karena ia melakukan riset yang menggunakan kaidah ilmiah (statistik). Dan, saya sebagai orang yang bergelut dengan riset Islam Jawa (disertasi saya di Monash University, Australia berjudul Islamic Tradition in Rural Java) merasakan betapa perilaku Anies dan Sandi dalam kampanye maupun blusukan-nya menyenangkan orang Jawa dengan keramahan dan keunggah-ungguhannya.
Dalam kampanye terakhir putaran kedua misalnya Anies sempat menunjukkan "sikap kejawaannya" yang ramah terhadap Ahok meski yang terakhir ini suka melecehkan argumentasi Anies. Ihwal kecil inilah tampaknya yang membuat orang Jawa di Jakarta lebih memilih Anies ketimbang Ahok.
Padahal, jumlah orang Jawa di Jakarta mencapai 38% populasi. Cukup signifikan untuk memengaruhi kemenangan dalam kontestasi Pilkada Jakarta.
Setelah mengetahui (berdasarkan data) bahwa moderasi keislaman, keragaman, dan Pancasila tetap kokoh sebelum dan sesudah Pilkada DKI, kita warga Jakarta tidak perlu cemas berlebihan terhadap penyebaran isu-isu provokatif yang muncul setelah kekalahan Ahok. Mungkin ada sedikit friksi antarkelompok pendukung pasangan calon gubernur DKI Jakarta sewaktu kampanye lagi seru-serunya.
Tapi, friksi-friksi tersebut hendaknya sudah selesai setelah pilkada usai. Bahkan mestinya sudah selesai di minggu tenang.
Dengan demikian, sebagai bangsa yang bineka dan plural, kita harus bersama-sama menjaga kesatuan dan persatuan NKRI yang kita cintai ini. Last but not least, setelah Pilkada DKI usai dan kita sudah melihat hasilnya, yang harus kita lakukan adalah menjahit kembali "kain-kain persatuan" yang sempat koyak. Dan, itu kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang ingin hidup aman dan damai di Bumi Ibu Pertiwi Indonesia.
Guru Besar di UIN Ciputat/Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten
MESKI kemenangan pasangan calon Anies-Sandi atas Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta sudah lebih dari sepekan, para netizen di internet tak henti mempersoalkan dampak kemenangan itu. Menurut sebagian netizen , kemenangan Anies-Sandi akan menjadikan Jakarta hijau royo-royo.
Jakarta juga berpotensi menerapkan hukum syariah Islam untuk memenuhi kelompok Islam militan yang selama ini bahu-membahu mendukung pasangan calon Anies-Sandi. Kaum Ahokers istilah yang disematkan untuk para pendukung pasangan calon Ahok-Djarot menuding kemenangan Anies disebabkan kampanye berbasis SARA yang seharusnya dihindari. Mereka menuduh kampanye berbasis SARA telah dipraktikkan para pendukung Anies-Sandi untuk memenangkan pilkada.
Ribuan karangan bunga ucapan kesedihan dan belasungkawa atas kekalahan Ahok-Djarot berderet memenuhi balai kota, dan sekarang dilanjutkan oleh ribuan balon. Karangan bunga itu konon masih terus berdatangan dari para Ahokers yang tetap mendukung Ahok (meski dalam pilkada) karena menurut mereka, pikada itu tidak fair.
Bagi kaum Ahokers, kekalahan pasangan calon Ahok-Djarot ini kekalahan kaum moderat, pluralis, dan pejuang keragaman (kebinekaan) di Indonesia. Pilkada DKI, bagi mereka, adalah cermin dari pilpres sehingga kekalahan Ahok-Djarot sama dengan kekalahan para pejuang NKRI yang menghendaki keberagaman, kemoderatan, dan kemodernan.
Di pihak lain, kemenangan Anies-Sandi oleh kaum Ahokers dianggap sebagai kemenangan para pengusung negara Islam, kelompok simpatisan (Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), kelompok radikal Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, dan kaum penyeru khilafah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dus, kemenangan Anies dianggap sebagai awal dari bencana perpecahan NKRI. Mengerikan sekali!
Bagi sebagian netizen pro-Ahok, kemenangan Anies merupakan keberhasilan penggalangan kampanye penyalahgunaan agama untuk politik. Demo besar-besaran yang menghendaki Ahok dipenjara dengan tuduhan penistaan Alquran sebetulnya tidak lebih dari sebuah trik politik belaka.
Karena itu, kemenangan Anies-Sandi akan menjadi preseden buruk pada masa depan. Calon-calon eksekutif dan legislatif pada masa datang niscaya akan menggunakan trik-trik pemanfaatan ayat suci untuk kampanye.
Bila perlu, mendorong terjadi kerusuhan SARA demi kemenangan jagoan-jagoan politiknya dalam pilkada. Majalah Tempo misalnya dalam ulasannya mengenai kemenangan Anies-Sandi menyimpulkan bahwa kekalahan Ahok adalah tragedi hancurnya demokrasi yang jujur dan berkeadaban.
Benarkah Tuduhan Itu?
Banyak para netizen yang "tertipu" dengan pemutarbalikan fakta-fakta yang disuguhkan kaum Ahokers di atas. Seakan-akan dalam kampanye Pilkada DKI baru lalu ada pengutuban secara diametral antara Ahokers dan Aniesers di masyarakat berdasarkan sentimen ras, suku, agama, dan ideologi.
Kelompok Ahokers seakan-akan mewakili aliansi pejuang demokrasi, HAM, kesetaraan gender, dan antisyariah. Sedangkan kelompok Anieser mewakili kelompok ekstrem, anarkis, dan Islamis kanan. Dengan kemenangan Anies-Sandi, itu berarti kelompok Islam yang anarkistis dan ekstremis akan menguasai panggung kekuasaan di Jakarta, yang dampaknya akan mendominasi perpolitikan nasional.
Pandangan tersebut jelas sangat simplistis. Menganggap warga DKI dangkal intelektual, buta politik nasional, dan kontra-Pancasila.
Dr Denny JA, konsultan kampanye pilkada, dalam artikelnya yang berjudul "Pasca Pilkada Jakarta, Apakah Kebinekaan Kita Terancam" menyatakan bahwa tuduhan pihak-pihak tertentu yang menyatakan kekalahan Ahok-Djarot sebagai tragedi nasional (karena hilangnya keberagaman, kesetaraan, dan menguatnya anarki) adalah isapan jempol belaka.
Menurut Denny JA, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang didirikannya telah melakukan 11 survei tentang dinamika politik Pilkada Jakarta sejak Maret 2016 sampai April 2017. Hasilnya, kekalahan Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta bukan karena hilangnya semangat keberagaman pada warga Jakarta seperti yang dituduhkan para Ahokers, melainkan karena pengaruh melting pot , kumpulan aneka kepentingan. Mereka punya tujuan sama: Ahok harus kalah!
Mereka yang punya tujuan sama "Ahok harus kalah" terdiri atas berbagai kelompok kepentingan. Mulai dari warga yang tersakiti akibat penggusuran rumah tanpa musyawarah, lalu pegawai negeri sipil (PNS) DKI yang dipecat Ahok dengan semena-mena, kemudian para pengusaha yang dipalak Ahok berlebihan, dan ibu-ibu rumah tangga yang melihat kemarahan brutal Ahok terhadap bawahannya sehingga merusak pendidikan akhlak anak-anaknya.
Mereka inilah yang terdiri atas berbagai komponen suku bangsa, agama, etnis, ilmuwan, dan kelompok ekonomi bekerja sama mengalahkan Ahok. Seorang pengusaha yang beretnis China dan nonmuslim, sebut saja namanya Exway, bahkan rela menggunakan "properti" miliknya untuk memenangkan Anies dengan niat menjaga keragaman.
Menurut dia, justru Ahoklah yang merusak keragaman. Apa arti semua itu? Sosok Ahok dalam Pilkada DKI ternyata tidak merupakan representasi dari keragaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia.
Menurut data LSI, para pemilih Ahok juga bukan orang-orang yang anti-NKRI dan Pancasila. Berdasarkan survei LSI, para pemilih Anies pun komposisinya tak jauh berbeda dengan komposisi masyarakat Jakarta yang 70% menginginkan Pancasila sebagai dasar negara dan menolak Indonesia jadi negara Islam.
Itulah sebabnya, menurut Denny JA, para pemilih Anies sebetulnya terdiri atas pihak-pihak yang sebetulnya satu sama lain bertentangan visinya. Di sana ada Muhammadiyah dan NU yang tetap menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, tapi ada juga kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam (khilafah).
Data-data besutan LSI Denny tersebut sulit dibantah karena ia melakukan riset yang menggunakan kaidah ilmiah (statistik). Dan, saya sebagai orang yang bergelut dengan riset Islam Jawa (disertasi saya di Monash University, Australia berjudul Islamic Tradition in Rural Java) merasakan betapa perilaku Anies dan Sandi dalam kampanye maupun blusukan-nya menyenangkan orang Jawa dengan keramahan dan keunggah-ungguhannya.
Dalam kampanye terakhir putaran kedua misalnya Anies sempat menunjukkan "sikap kejawaannya" yang ramah terhadap Ahok meski yang terakhir ini suka melecehkan argumentasi Anies. Ihwal kecil inilah tampaknya yang membuat orang Jawa di Jakarta lebih memilih Anies ketimbang Ahok.
Padahal, jumlah orang Jawa di Jakarta mencapai 38% populasi. Cukup signifikan untuk memengaruhi kemenangan dalam kontestasi Pilkada Jakarta.
Setelah mengetahui (berdasarkan data) bahwa moderasi keislaman, keragaman, dan Pancasila tetap kokoh sebelum dan sesudah Pilkada DKI, kita warga Jakarta tidak perlu cemas berlebihan terhadap penyebaran isu-isu provokatif yang muncul setelah kekalahan Ahok. Mungkin ada sedikit friksi antarkelompok pendukung pasangan calon gubernur DKI Jakarta sewaktu kampanye lagi seru-serunya.
Tapi, friksi-friksi tersebut hendaknya sudah selesai setelah pilkada usai. Bahkan mestinya sudah selesai di minggu tenang.
Dengan demikian, sebagai bangsa yang bineka dan plural, kita harus bersama-sama menjaga kesatuan dan persatuan NKRI yang kita cintai ini. Last but not least, setelah Pilkada DKI usai dan kita sudah melihat hasilnya, yang harus kita lakukan adalah menjahit kembali "kain-kain persatuan" yang sempat koyak. Dan, itu kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang ingin hidup aman dan damai di Bumi Ibu Pertiwi Indonesia.
(poe)