Ekonomi Umat: Potensi dan Tantangan

Jum'at, 28 April 2017 - 09:22 WIB
Ekonomi Umat: Potensi dan Tantangan
Ekonomi Umat: Potensi dan Tantangan
A A A
Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo

Kongres Ekonomi Umat 2017 yang diselenggarakan MUI pada 22-24 April berakhir dengan menghasilkan tujuh deklarasi terkait ekonomi. Hasil ini secara tidak langsung juga mengacu kepentingan nasional dalam konteks pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Di satu sisi, potensi ekonomi domestik masih berkutat dengan persoalan produksi dan distribusi, di sisi lain ancaman ekonomi global juga tidak bisa diabaikan. Hal ini menegaskan tentang urgensi memacu daya saing, meski diakui bahwa ekonomi biaya tinggi masih menjadi ancaman serius dunia usaha, belum lagi persoalan tuntutan upah buruh yang semakin tinggi.

Selain itu, persoalan inflasi juga menjadi tantangan riil yang tidak bisa diabaikan karena terkait dengan daya beli dan kemiskinan. Meski pada Maret 2017 lalu deflasi 0,02% karena pengaruh deflasi kelompok ba­han makanan 0,66%, ancaman inflasi musiman Ramadan tidak bisa diabaikan dan tentu ini perlu diantisipasi agar inflasi tahun 2017 tidak tembus dua digit karena inflasi per Januari 0,97% dan Februari 0,23% sebagai pengaruh kenaikan tarif listrik.

Esensi dari hasil Kongres Ekonomi Umat juga menyadarkan tentang kuantitas jumlah penduduk yang selama ini masih dianggap sebagai objek pembangunan. Padahal, dari akumulasi jumlah penduduk seharusnya bisa menjadi subjek pembangunan sehingga memberikan kontribusi optimal terhadap proses pembangunan.

Artinya, kuantitas yang hanya berperan menjadi pasar tentu menjadi ironis, sementara pasokan produk impor terus meningkat sehingga berpengaruh terhadap neraca perdagangan dan pembayaran. Fakta ini menjadi ancaman terhadap ketergantungan produk impor, sementara seruan pemerintah untuk mencintai produk dalam negeri menjadi rancu.

Potensi Besar

Deklarasi dari hasil Kongres Ekonomi Umat mengisyaratkan urgensi tujuh aspek. Pertama, menegaskan sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan mandiri dalam mengatasi kesenjangan. Kedua, mempercepat redistribusi dan optimalisasi sumber daya alam secara arif dan berkelanjutan. Ketiga, memperkuat SDM yang kompeten dan berdaya saing tinggi berbasis keunggulan iptek, inovasi, dan kewirausahaan.

Keempat, menggerakkan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi pelaku usaha utama perekonomian nasional. Kelima, mewujudkan mitra sejajar usaha besar dengan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah dalam sistem produksi dan pasar terintegrasi. Keenam, pengarusutamaan ekonomi syariah dalam perekonomian nasional, tetap dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Ketujuh, membentuk Komite Nasional Ekonomi Umat untuk mengawasi arus baru perekonomian Indonesia.

Ketujuh deklarasi tersebut memberikan acuan tentang komitmen menetapkan tahun 2017 sebagai tahun kebangkitan ekonomi umat secara berkelanjutan sehingga perlu ada dukungan dari semua pihak. Harapan pencapaian itu mereduksi kesenjangan terutama dikaitkan indeks rasio gini Indonesia yang mencapai 0,42 dan merujuk Global Wealth Report ekonomi kita di posisi keempat paling timpang karena 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional.

Pemahaman tentang potensi ekonomi umat pada dasarnya juga mengacu peran dari tiga peran penting pelaku ekonomi, yaitu koperasi, swasta dan BUMN. Tidak bisa dimungkiri tuntutan profesionalisme BUMN secara tidak langsung menjadi warning bagi BUMN untuk tidak terjerumus sebagai mesin uang bagi ke­pentingan parpol, apalagi di tengah kegaduhan politik.

Hal ini sangat penting karena selama ini ada stigma BUMN menjadi sapi perahan atau ATM parpol, terutama terkait pen­danaan politis. Karena itu, perlu pengawasan kepada kinerja BUMN agar tidak lagi menjadi ATM dan saatnya BUMN berkinerja baik karena tuntutan daya saing kian meningkat di semua aspek sehingga ini mengacu tuntutan profesionalisme yang mengarah kepada aspek kesehatan BUMN.

Peran BUMN menjadi faktor penting bagi pemerataan pembangunan, terutama mengacu total asetnya yang kini mencapai Rp7.200 triliun dan di akhir pemerintahan Jokowi ditargetkan menjadi Rp10.000 triliun. Akumulasi aset tersebut tidak hanya terkait nominal semata, tapi juga bagaimana implementasi kinerjanya terhadap geliat ekonomi rakyat di lapis bawah, termasuk juga perannya memacu ekonomi di daerah sesuai semangat otonomi daerah untuk menghasilkan produk unggulan berbasis sumber daya lokal dan padat karya.

Terkait hal ini, beralasan jika dalam Musrenbangnas 2017 pada 26 April 2017 Presiden Jokowi menegaskan agar BUMN mengubah pola pikir tidak lagi ”senang me­miliki”, tapi ”menjual diri” karena memberikan kontribusi maksimal, terutama untuk kesejahteraan.

Sinergi tiga pelaku ekonomi dan didukung potensi ekonomi umat untuk memacu geliat pembangunan secara tidak langsung ini sejalan dengan tema Kongres Ekonomi Umat, yaitu ”Arah Baru Ekonomi Indonesia”. Sekaligus itu menegaskan penolakan terhadap model ekonomi liberal dan kapitalis.

Terkait hal ini, dalam konteks islami maka esensinya adalah pertama, penekanan tentang peran Islam terkait perniagaan atau albaií sehingga harus ada keseimbangan antara kepentingan duniawi dan agamawi yang selaras untuk mencapai kebahagiaan umat.

Kedua, sukses dari pengem­bang­an ekonomi tidak terlepas dari urgensi pem-bentukan life skill dan soft skill sehingga setiap insan menjadi tangguh dalam menghadapi tan-tangan, termasuk juga tantangan memacu daya saing.

Orientasi terhadap komitmen hasil Kongres Ekonomi Umat 2017 adalah pemerataan hasil pembangunan. Pemahaman tentang pemerataan tidak hanya mengacu sebarannya di Jawa dan luar Jawa, tapi juga pemerataan untuk mendapatkan akses terhadap semua aspek ekonomi-bisnis dan pembangunan.

Paling tidak hal ini terkait dengan penegasan tentang masih rendahnya kesempatan UMKM dalam pendanaan perbankan, pasar ekspor dan e-commerce karena berbagai keterbatasan, baik aspek internal atau eksternal. Dari jumlah UMKM yang lebih dari 75 juta dan 70 persennya di sektor makanan maka ini menjadi potensi besar dan kontribusinya juga besar untuk memacu geliat ekonomi serta mereduksi kemiskinan juga pengangguran.

Data BPS penduduk miskin per September 2016 yaitu 27,76 juta dan di perkotaan mencapai 7,73%, sedangkan di perdesaan 14,11%. Data lain jumlah peng­angguran tahun 2016 mencapai 7,02 juta, sementara target di tahun 2017 turun menjadi 5,18%.

Artinya, jika geliat ekonomi umat dapat dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan maka ke depan potensi ekonomi nasional dapat terbangun secara lebih kuat dan mandiri. Tentu ini menjadi tantangan berat meski diakui ada potensi yang mendukungnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7732 seconds (0.1#10.140)