Demokrasi Kompatibel dengan Islam

Sabtu, 22 April 2017 - 07:57 WIB
Demokrasi Kompatibel...
Demokrasi Kompatibel dengan Islam
A A A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)

BEGITU mendarat di Melbourne pada Selasa tanggal 18 April 2017 kemarin saya mengaktifkan handphone (HP). Pesan-pesan yang tertunda masuk selama saya dalam penerbangan dari Jakarta ke Australia itu langsung berebutan masuk ke dalam HP.

Ada yang melalui SMS, ada yang berebutan melalui grup-grup WhatsApp, ada juga yang melalui cuitan-cuitan di Twitter. Tidak sedikit yang menyatakan khawatir dan menanyakan pendapat saya tentang situasi Jakarta pasca-pemungutan suara pada pilgub.

Apa yang terjadi kalau Anies yang memang? Bagaimana situasi jika Ahok yang menang? Akan amankah Jakarta? Demikian ragam pertanyaan yang berebutan masuk melalui media sosial itu.

Contohnya netizen Ray Yoes dengan akun @RayYoes3 mencuitkan pertanyaan kepada saya dengan nada cemas: “Pak Mahfud, apakah Jakarta akan terjadi konflik atau perang, atau mungkin ini sebuah kegoblokan…, hanya pilkadal kok ribet Pak.”

Saya langsung membalas cuitan Ray itu dengan cuitan juga: “Jakarta akan aman. Yang penting jangan ada provokasi dan kita tidak ikut manas-manasi. Selesai pilgub, Insyaallah, selesai suasana panasnya.”

Saya menyampaikan jawaban itu dengan yakin bahwa semua akan berlangsung dan berakhir baik-baik saja. Akhirnya terbukti, setelah pemungutan suara diumumkan melalui exit poll dan disusul dengan quick count secara pelan tetapi pasti suasana terus mereda. Yang kalah mengucapkan selamat kepada yang menang, yang menang bersujud syukur tanpa jemawa.

Memang, semula banyak yang khawatir, demam Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (Pilgub DKI) Jakarta akan dipuncaki dengan munculnya situasi buruk semisal konflik horizontal atau kerusuhan berbau SARA. Tapi sejak awal saya mengatakan, begitu pemungutan suara selesai dan hasilnya diumumkan, suasana perang urat syaraf akan mulai reda.

Pengalaman kita dalam beberapa dasawarsa belakangan ini membuktikan itu. Dalam ingatan saya, setiap menjelang pemilihan pejabat-pejabat penting kerap kali terjadi kontroversi dan pembelahan masyarakat ke dalam sikap yang saling berhadapan dan saling serang, tetapi begitu kontes selesai, ya, selesailah hiruk-pikuknya.

Kita tentu masih ingat, situasi sangat panas juga terjadi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Parpol-parpol banyak yang terpecah, ormas-ormas juga terbelah, bahkan keluarga-keluarga pun terbelah ke dalam pertentangan.

Yang satu mendukung Jokowi, yang satunya mendukung Prabowo. Tapi begitu pemilihan selesai, masyarakat mulai tenang, kontestan memang beperkara ke Mahkamah Konstitusi, tetapi akhirnya pertentangan itu selesai dengan baik sehingga pemerintahan baru bisa bekerja sesuai dengan mandat yang diterima secara konstitusional.

Sebelum itu situasi sangat panas juga terjadi saat Pemilu Legislatif (Pileg) 1999 yang disusul dengan pemilihan presiden berdasar hasil pemilu legislatif tersebut. Ketegangan itu semula muncul secara keras antara yang mendukung Megawati sebagai calon presiden dengan alasan PDI Perjuangan menang pileg dan barisan yang mendukung BJ Habibie dengan alasan gabungan parpol-parpol pemenang pemilu selain PDI Perjuangan menguasai lebih banyak kursi di MPR sebagai lembaga negara yang berhak memilih presiden/wakil presiden.

Ketegangan yang semula massa masing-masing sudah saling ancam untuk melakukan keributan dengan kekerasan itu akhirnya selesai dengan baik setelah sidang MPR berhasil memilih presiden.

Rangkaian fakta historis bahwa rakyat Indonesia bisa berdamai atau menerima hasil kontes politik yang diatur melalui mekanisme demokrasi itu membuktikan bahwa demokrasi adalah kompatibel (cocok dan harmonis) untuk dijadikan prinsip, sistem, dan mekanisme ketatanegaraan di Indonesia.

Bahkan setelah mengirim tim yang ditugasi memantau pemilu tahun 1999 di Indonesia, Clinton Center menyebut bahwa (jika menggunakan umat Islam Indonesia sebagai sampel), demokrasi itu kompatibel dengan Islam.

Kita sendiri bisa menyimpulkan dari lembaga yang didirikan dan dipimpin oleh mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton itu bahwa kompatibelnya demokrasi dengan rakyat Indonesia sama dengan kompatibelnya demokrasi dengan umat Islam. Mengapa?

Karena rakyat Indonesia yang pemeluk Islamnya mencapai 87% dari sekitar 250 juta penduduk bisa menerima dan melaksanakan demokrasi dengan baik. Rakyat Indonesia dengan dukungan kuat umat Islam bisa sportif melaksanakan demokrasi di dalam situasi pluralitas yang sangat masif.

Oleh sebab itu umat Islam Indonesia tidak perlu mencari ideologi lain yang tidak kompatibel dengan demokrasi. Dengan demokrasi umat Islam, bersama umat-umat lain di Indonesia, bisa memperjuangkan aspirasinya dalam kehidupan bernegara tanpa merusak akidah.

Demokrasi sebagai produk ijtihad para ulama yang kemudian diterima sebagai kesepakatan luhur (mistsaqon ghaliedza) atau modus vivendi di Indonesia memberi jaminan seluruh bangsa untuk beribadah dan menyalurkan aspirasi politik secara bergotong-royong. Maka itu jangan pernah lelah atau bosan untuk mencintai dan merawat Indonesia.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0860 seconds (0.1#10.140)