Risiko Nahi Munkar

Sabtu, 15 April 2017 - 09:39 WIB
Risiko Nahi Munkar
Risiko Nahi Munkar
A A A
Faozan Amar
Dosen Ekonomi Islam FEB UHAMKA dan Direktur Al Wasath Institute

SALAH
satu kata yang populer dalam berdakwah adalah amar ma’ruf nahi munkar. Kata al-mar’uf disebutkan secara terpisah dalam Alquran se­banyak 38 kali dalam bentuk ma’rifah 32 ayat dan 6 ayat dalam bentuk nakirah. Kata al- munkar disebutkan sebanyak 16 kali, yakni dalam bentuk ma’rifah 15 ayat dan 1 ayat dalam bentuk nakirah. Adapun kata amar ma’ruf nahi munkar di­sebutkan secara bersama-sama sebanyak 8 kali dalam Alquran. Hal ini sebagai bukti bahwa dalam berdakwah itu harus ada keseimbangan, yakni tidak hanya mengajak pada kebajikan (amar ma’ruf), tetapi juga mencegah kemungkaran (nahi munkar).

Menurut Ensiklopedia Islam Indonesia (1992), amar ma’ruf nahi munkar diartikan sebagai “suruhan untuk ber­buat baik serta mencegah perbuatan jahat”. Istilah itu diperlukan dalam satu-kesatuan istilah dan satu-kesatuan arti pula, seolah-olah keduanya tidak bisa dipisahkan. Cendekiawan M Dawam Rahardjo (2002) memaknai amar ma’ruf nahi munkar dengan konotasi “berjuang menentang”, “membasmi” atau “memberantas”. Konotasinya adalah bentuk negatif dari suatu perjuangan, yang tekanannya ada pada aspek nahi munkar.

Tentang amar ma’ruf nahi munkar ini, dalam Tafsir Al-Azhar Buya Hamka (1981) menjelaskan: Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan mana yang makruf dan mana yang munkar. Sebab itu, maka makruf dan munkar itu tidaklah terpisah dari pendapat umum. Kalau ada orang yang ber­buat makruf, maka seluruh masyarakat umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji. Kalau ada perbuatan munkar, seluruh masyarakat menolak, mem­benci dan tidak menyetujui­nya. Sebab itu bertambah tinggi kecerdasan beragama, bertambah kenal akan yang makruf dan bertambah benci orang ke­pada yang munkar.

Cara dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, se­bagai­mana dijelaskan dalam sebuah hadis, adalah: Barang siapa yang melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan­nya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu selemah-lemah iman (HR Muslim). Kewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar ini, dalam praktiknya, para mubalig, dai, ulama, ustaz, dan penganjur kebaikan lainnya dalam mengajak kebaikan tidak seimbang semangatnya dengan semangat untuk men­cegah ke­mungkaran sehingga ke­mung­karan terus-menerus tum­buh dengan segala dinamika yang me­nyertai­nya. Adapun ke­baik­an cende­rung bersifat stagnan, bah­kan se­makin ber­kurang un­tuk dilakukan se­iring dengan sikap apatis masyarakat ter­hadap sesamanya.

Setidak­nya ada dua faktor yang meny­e­bab­k­an sema­ngat untuk mencegah kemung­karan lebih se­dikit daripada mengajak kebaik­an. Pertama, tidak semua penganjur kebaik­an, baik diri maupun keluarganya, adalah sudah baik hidupnya. Risiko yang timbul akibat melarang sesuatu yang diri sendiri juga melakukannya adalah besar. Ia tidak hanya akan ragu ketika menyampaikan, tetapi juga khawatir jika diketahui publik/ jamaah kekurangan yang ada pada dirinya.

Allah mengingatkan: Wahai orang-orang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS As-Shaff: 2-3) .Karena itulah Nabi Muhammad SAW menganjurkan supaya ibdak binafsih, mulai dari diri sendiri, sebelum mengajak orang lain pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Kedua, adanya risiko yang ditimbulkan akibat mencegah kemungkaran. Jika orang meng­ajak pada kebaikan (amar ma’ruf), nyaris tak ada musuhnya. Contohnya adalah para muazin yang setiap hari mengumandangkan ajakan untuk salat. Namun jika sudah melakukan nahi munkar, musuhnya banyak dan risiko yang di­perolehnya juga tinggi. Musuh itu bisa berasal dari keluarga sendiri (istri/suami dan anak), bisa dari teman sejawat, orang yang merasa terusik atas kejahatan yang dilakukannya, bahkan sampai pada perlawanan dari aparat penegak hukum.

Begitu juga dengan risiko yang diperolehnya pun sangat beragam. Mulai dari dicari-cari kesalahannya, baik kesalahan diri, keluarga maupun organisasinya, diteror fisik dan mentalnya sampai pada ancaman dan kekerasan fisik terhadap diri dan keluarganya. Karena risiko-risiko itulah, menjadi sangat jarang orang memiliki keberanian dalam melakukan nahi munkar. Kasus yang dialami Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta yang tewas dibunuh pada 1996 karena berita yang dituliskan menyudutkan Bupati Bantul, adalah bukti bahwa melaksanakan nahi munkar itu nyawa sebagai taruhannya.

Pada akhir zaman Orde Baru dan awal era Reformasi, apa yang dialami Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri adalah sebuah bukti bahwa mencegah dan melawan kemungkaran risikonya amatlah besar. Namun jika berhasil melakukannya, mereka akan tercatat dengan tinta emas dan dikenang dalam sejarah sebagai orang yang pemberani dalam melawan kejahatan.

Kita bisa melihat sejarah bagaimana Rasulullah Muhammad SAW diteror fisik dan mentalnya, bahkan akan dibunuh karena mengajak pada kebaikan dan mencegah ke­mungkaran. Begitu juga para pahlawan bangsa juga mengalami teror, bahkan hilang nyawanya karena memperjuangkan sebuah kebaikan dengan menggerakkan rakyat melawan kemungkaran para penjajah. KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dikafir-kafirkan oleh tetangga sendiri, begitu juga yang dialami pendiri NU KH Hasyim Asyari.

Kebaikan dan ke­jahatan sampai kapan pun akan selalu menyertai ke­hidup­an manusia. Menilik kasus-kasus dan kisah di atas, apa yang dialami Novel Baswedan selaku penyidik KPK yang berjuang memberantas kejahatan korupsi adalah bagian risiko melakukan nahi munkar. Kita belum tahu persis siapa pelakunya, tetapi patut diduga adalah orang-orang atau kelompok yang merasa ke­nyamanan dan kejahatannya terusik akibat sepak terjang Novel Baswedan selama ini.

Sebagai bangsa pejuang, tentu kita tak boleh menyerah dan kalah dalam melawan ke­mungkaran. Ali bin Abi Thalib mengingatkan, kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi. Sejarah mencatat, kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukanlah hadiah dari penjajah, tetapi hasil perjuangan darah dan air mata dari seluruh rakyat Indonesia dan tentu atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa. Karena itu, perlawanan terhadap korupsi yang merupakan musuh bersama bangsa harus terus dilakukan. Dengan demikian bangsa ini terbebas dari perilaku korup dan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahu a’lam.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3506 seconds (0.1#10.140)