Membenci itu Melelahkan
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
WAKTU itu, sekitar tahun 95-an, ketika saya masih aktif mengajar di Yayasan Paramadina, program Pengantar Studi Islam, seorang peserta menemui saya setelah acara kuliah selesai. Seorang wanita muda menceritakan kegalauan hatinya karena diputus dan ditinggal nikah oleh pacarnya dengan wanita lain.
Sudah berlangsung tiga tahun hatinya menyimpan kesal, benci, dan dendam. Dia merasa dipermalukan mengingat keluarga dan tetangga sudah tahu dan yakin bahwa hubungan pacaran itu akan berlangsung ke pernikahan.
Wanita tadi, sebut saja Tuti, sangat sulit melupakan dan memaafkan tindakan mantan pacarnya itu. Dia ikut kursus keislaman ke Paramadina pada akhir pekan untuk menghibur hati dan mendalami agama.
Setelah panjang lebar menyampaikan problemnya, giliran saya bertanya. "Anda percaya jodoh itu tidak sepenuhnya ketentuan manusia, tetapi Tuhan pun ikut terlibat di dalamnya?” Dia menjawab, "Saya percaya. Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan."
Dari jawaban itu saya teruskan bahwa putus sebelum pernikahan itu mungkin cara Tuhan mengasihi dan menolong Tuti jauh lebih ringan risiko dan pengorbanannya jika putus setelah nikah. Terlebih lagi setelah punya keturunan.
Saya tekankan, "Jika hatimu tidak rida terhadap keputusan Tuhan, maka Tuhan belum akan mengirimkan gantinya untuk pasangan hidupmu. Hatimu mesti bersih, rida, dan terbuka, maka sangat mudah bagi Tuhan untuk mengirimkan seseorang yang lebih baik."
Saya ajarkan kepada Tuti untuk dipraktikkan cara membersihkan hati dari kesal dan benci adalah, pertama, mengenali perasaannya sendiri. Kedua, setelah dikenali, perasaan negatif itu diangkat dan dibuang. Caranya? "Anda mesti mendoakan mantan pacarmu secara tulus agar hidupnya bahagia."
Tuti terperangah dan merasa keberatan mendoakan orang yang selama itu dia benci karena telah menyakiti dan mempermalukan dirinya. Saya katakan, itu cara paling efektif menyingkirkan rasa benci di hatinya.
Kebencian sebagai energi negatif dan destruktif mesti diangkat dan dikalahkan oleh energi positif-konstruktif. "Selama kamu masih membenci takdir Tuhan, maka takdir Tuhan untuk mengirimkan pasangan untukmu akan terhalang. Saya sarankan, sehabis salat lima waktu, doakan untuk kebaikan mantan pàcarmu. Setelah tiga bulan kita ketemu lagi."
Demikianlah, tiga bulan kemudian Tuti datang menemui saya dengan wajah ceria. Dengan senang campur malu-malu dia bercerita telah menemukan pacar baru yang lebih baik dan meyakinkan masa depannya.
Mereka berjumpa di forum pengajian di masjid sarjana sebuah perguruan tinggi papan atas Indonesia. Dia tak lagi dibebani rasa benci pada mantan pacar lamanya. Rasa benci itu dia hancurkan dengan doa positif untuknya.
Cerita serupa mungkin sekali pernah dialami oleh pembaca. Betapa letihnya orang menyimpan rasa benci. Terlebih lagi jika sampai dendam. Sementara orang yang kita benci tak lagi ingat dan memikirkan diri kita, sementara dia sudah berbahagia dengan hidupnya.
Ketika software hati dan pikiran dipenuhi memori kebencian, betapa pengap dan beratnya hidup ini dijalani dari waktu ke waktu. Karena kita bukan malaikat, sangat wajar memiliki emosi benci.
Untuk kasus-kasus tertentu, sikap benci itu mengandung nilai positif. Misalnya kita membenci kemiskinan sehingga mendorong untuk membasminya dengan cara menjadi kaya. Kita benci kebodohan lalu belajar keras agar jadi pintar. Kita membenci suasana kotor lalu kita senantiasa membiasakan hidup bersih. Dan, seterusnya.
Tetapi, kebencian yang muncul dari sikap malas dan iri terhadap orang yang dianggap sukses tak ada gunanya, malahan akan menggerogoti ketenangan hidupnya, bagaikan kanker yang diam-diam merusak daya tahan seseorang yang ujungnya lelah tak berdaya.
Bayangkan, sebuah keluarga yang tinggal di rumah mewah, tetapi penghuninya saling menyimpan benci, maka kebahagiaan tak akan mampir dan tinggal di rumah itu. Begitu pun dalam lingkup kehidupan sosial, kehidupan di tempat kerja, atau bahkan hubungan antara pemerintah dan warganya.
Jika tidak terjalin tali kasih dan saling menghargai serta saling percaya, kedamaian dan kebahagiaan hidup Anda akan selalu terganggu sekalipun Anda punya jabatan, uang, dan fasilitas mewah.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
WAKTU itu, sekitar tahun 95-an, ketika saya masih aktif mengajar di Yayasan Paramadina, program Pengantar Studi Islam, seorang peserta menemui saya setelah acara kuliah selesai. Seorang wanita muda menceritakan kegalauan hatinya karena diputus dan ditinggal nikah oleh pacarnya dengan wanita lain.
Sudah berlangsung tiga tahun hatinya menyimpan kesal, benci, dan dendam. Dia merasa dipermalukan mengingat keluarga dan tetangga sudah tahu dan yakin bahwa hubungan pacaran itu akan berlangsung ke pernikahan.
Wanita tadi, sebut saja Tuti, sangat sulit melupakan dan memaafkan tindakan mantan pacarnya itu. Dia ikut kursus keislaman ke Paramadina pada akhir pekan untuk menghibur hati dan mendalami agama.
Setelah panjang lebar menyampaikan problemnya, giliran saya bertanya. "Anda percaya jodoh itu tidak sepenuhnya ketentuan manusia, tetapi Tuhan pun ikut terlibat di dalamnya?” Dia menjawab, "Saya percaya. Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan."
Dari jawaban itu saya teruskan bahwa putus sebelum pernikahan itu mungkin cara Tuhan mengasihi dan menolong Tuti jauh lebih ringan risiko dan pengorbanannya jika putus setelah nikah. Terlebih lagi setelah punya keturunan.
Saya tekankan, "Jika hatimu tidak rida terhadap keputusan Tuhan, maka Tuhan belum akan mengirimkan gantinya untuk pasangan hidupmu. Hatimu mesti bersih, rida, dan terbuka, maka sangat mudah bagi Tuhan untuk mengirimkan seseorang yang lebih baik."
Saya ajarkan kepada Tuti untuk dipraktikkan cara membersihkan hati dari kesal dan benci adalah, pertama, mengenali perasaannya sendiri. Kedua, setelah dikenali, perasaan negatif itu diangkat dan dibuang. Caranya? "Anda mesti mendoakan mantan pacarmu secara tulus agar hidupnya bahagia."
Tuti terperangah dan merasa keberatan mendoakan orang yang selama itu dia benci karena telah menyakiti dan mempermalukan dirinya. Saya katakan, itu cara paling efektif menyingkirkan rasa benci di hatinya.
Kebencian sebagai energi negatif dan destruktif mesti diangkat dan dikalahkan oleh energi positif-konstruktif. "Selama kamu masih membenci takdir Tuhan, maka takdir Tuhan untuk mengirimkan pasangan untukmu akan terhalang. Saya sarankan, sehabis salat lima waktu, doakan untuk kebaikan mantan pàcarmu. Setelah tiga bulan kita ketemu lagi."
Demikianlah, tiga bulan kemudian Tuti datang menemui saya dengan wajah ceria. Dengan senang campur malu-malu dia bercerita telah menemukan pacar baru yang lebih baik dan meyakinkan masa depannya.
Mereka berjumpa di forum pengajian di masjid sarjana sebuah perguruan tinggi papan atas Indonesia. Dia tak lagi dibebani rasa benci pada mantan pacar lamanya. Rasa benci itu dia hancurkan dengan doa positif untuknya.
Cerita serupa mungkin sekali pernah dialami oleh pembaca. Betapa letihnya orang menyimpan rasa benci. Terlebih lagi jika sampai dendam. Sementara orang yang kita benci tak lagi ingat dan memikirkan diri kita, sementara dia sudah berbahagia dengan hidupnya.
Ketika software hati dan pikiran dipenuhi memori kebencian, betapa pengap dan beratnya hidup ini dijalani dari waktu ke waktu. Karena kita bukan malaikat, sangat wajar memiliki emosi benci.
Untuk kasus-kasus tertentu, sikap benci itu mengandung nilai positif. Misalnya kita membenci kemiskinan sehingga mendorong untuk membasminya dengan cara menjadi kaya. Kita benci kebodohan lalu belajar keras agar jadi pintar. Kita membenci suasana kotor lalu kita senantiasa membiasakan hidup bersih. Dan, seterusnya.
Tetapi, kebencian yang muncul dari sikap malas dan iri terhadap orang yang dianggap sukses tak ada gunanya, malahan akan menggerogoti ketenangan hidupnya, bagaikan kanker yang diam-diam merusak daya tahan seseorang yang ujungnya lelah tak berdaya.
Bayangkan, sebuah keluarga yang tinggal di rumah mewah, tetapi penghuninya saling menyimpan benci, maka kebahagiaan tak akan mampir dan tinggal di rumah itu. Begitu pun dalam lingkup kehidupan sosial, kehidupan di tempat kerja, atau bahkan hubungan antara pemerintah dan warganya.
Jika tidak terjalin tali kasih dan saling menghargai serta saling percaya, kedamaian dan kebahagiaan hidup Anda akan selalu terganggu sekalipun Anda punya jabatan, uang, dan fasilitas mewah.
(poe)