Dari Penista Agama ke Pendusta Agama

Kamis, 06 April 2017 - 07:33 WIB
Dari Penista Agama ke...
Dari Penista Agama ke Pendusta Agama
A A A
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

KEMULIAAN
Islam tidak akan berkurang sedikit pun meski ada banyak orang yang menistakannya. Keagungan ajaran tentang Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, dan kitab suci Alquran tidak akan pernah tergerus oleh para penistanya.

Yang menjadi persoalan dalam setiap kasus penistaan agama adalah dampak yang ditimbulkan. Insiden penistaan agama selalu memicu emosi keagamaan.

Berawal dari sinilah hubungan antarpemeluk agama banyak diwarnai prasangka dan kebencian. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perbuatan menista agama merupakan manifestasi sikap antikebinekaan.

Padahal, pendiri negeri tercinta mengajarkan spirit Bhinneka Tunggal Ika. Moto nasional ini menegaskan, meski faktanya Indonesia berbineka, namun harus tetap Tunggal Ika (unity in diversity).

Dengan berasas Pancasila dan spirit Bhinneka Tunggal Ika, setiap pribadi harus menunjukkan sikap setuju dalam keberagaman (agree in disagreement).

Karena realitasnya negeri ini sangat majemu, maka setiap elemen bangsa harus menghargai kebinekaan. Pada konteks inilah penting dipraktikkan sikap toleran dan saling menghormati sebagaimana diteladankan para pendiri bangsa.

Apalagi dunia internasional telah mengenal warga bangsa Indonesia sangat toleran terhadap keragaman. Dengan begitu, siapa pun pelaku kasus penistaan agama bisa dianggap telah merusak citra Indonesia di mata dunia.

Keberadaan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia kini sedang diuji. Apalagi sejak terjadi kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Kasus Ahok telah menyita perhatian nasional dan internasional. Itu karena pelakunya adalah Ahok, gubernur petahana DKI Jakarta.

Kini kasus penistaan agama sedang dalam proses persidangan di pengadian. Sebagai negara hukum, setiap elemen bangsa harus menghargai apa pun keputusan pengadilan.
Pengadilan merupakan cara terhormat dan bermartabat untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum.

Semua elemen bangsa harus bersepakat untuk menyerahkan kasus penistaan agama pada proses hukum. Yang penting dilakukan adalah mengawal proses hukum agar aparat bekerja profesional dan berkeadilan. Dengan demikian, demonstrasi dan bentuk pengerahan massa lainnya kurang relevan.

Sikap ini penting karena sebagian aksi yang pada awalnya berspirit amar makruf nahi munkar mulai bersinggungan dengan kepentingan politik praktis.

Tarik-menarik kepentingan politik kasus Ahok terasa sulit dihindari karena warga DKI Jakarta sedang memiliki hajat politik pemilihan gubernur (pilgub).Ahok sang terdakwa kasus penistaan agama juga sedang running dalam pilgub.

Mencermati konstelasi politik DKI Jakarta yang begitu rawan, elite ulama harus mengajak umat berpikir bijak. Sudah waktunya energi umat yang begitu besar dimaksimalkan untuk berjuang di bidang lain.

Ajakan ini penting karena gelombang aksi bela Islam yang menuntut penegakan hukum kasus penistaan agama telah menyedot energi umat. Dalam gelombang aksi bela Islam, bukan hanya pikiran, tenaga, dan waktu yang tercurah, melainkan juga mobilisasi dana umat.

Meski belum ada data akurat, anggaran yang dibutuhkan untuk aksi-aksi bela Islam pasti sangat besar. Pertanyaannya, apakah energi umat akan terus dihabiskan hanya untuk mengurus kasus penistaan agama dengan terdakwa seorang Ahok? Padahal, bidang garap perjuangan umat sangat luas.

Pada konteks inilah perhatian umat harus bergeser ke bidang yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan riil. Persoalan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umat harus menjadi perhatian utama. Itu berarti dakwah amar makruf nahi munkar harus digeser dari penista agama ke pendusta agama.

Dakwah mencegah kemungkaran (nahi munkar) pada penista agama memang penting untuk menunjukkan komitmen umat dalam memuliakan agama.

Tetapi harus dipahami, penistaan agama yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang tidak akan mengurangi kemuliaan agama itu sendiri.

Dalam konteks kekinian, dakwah amar makruf nahi munkar pada pendusta agama justru penting dikedepankan. Hal itu sejalan dengan tantangan yang dihadapi umat Islam sekarang.

Umat kini sedang mengalami ketakberdayaan ekonomi, kualitas pendidikan yang rendah, belum tegaknya keadilan hukum, melunturnya kedermawanan sosial, buta aksara moral, dan tuna kuasa di bidang politik. Semua persoalan ini hadir di tengah-tengah umat.

Karena itulah, spirit surat al-Maal-Maun (QS. ke-107) yang mengingatkan bahaya pendusta agama penting direnungkan kembali. Melalui surat al-Maal-Maun, Allah secara tegas menggambarkan ciri para pendusta agama.

Di antaranya adalah orang yang suka menghardik anak yatim, enggan memberi makan orang miskin, orang yang salat tetapi lupa dengan salatnya, berbuat riya’, dan tidak mau memberi pertolongan.

Pendusta agama juga dicirikan dengan orang yang suka menumpuk harta untuk kepentingan diri dan keluarganya. Di antara indikatornya adalah perilaku koruptif di kalangan pejabat publik negeri ini.

Melalui media, masyarakat terus disuguhi berbagai berita penangkapan pejabat publik dalam kasus korupsi. Kasus penangkapan pejabat publik dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus terjadi.

Yang paling fenomenal tentu megaskandal kasus korupsi dalam proyek KTP elektronik (e-KTP). Kasus korupsi berjamaah ini melibatkan begitu banyak pihak. Tidak saja pejabat aktif di legislatif dan eksekutif, kasus e-KTP juga menyeret sejumlah mantan pejabat dan pengusaha. Bahkan, sejumlah partai besar disinyalir menerima aliran dana korupsi e-KTP.

Praktik hidup hedonisme juga menjadi tren di kalangan orang kaya dan pejabat. Padahal, sebagian rakyat hidup berkekurangan. Jutaan anak-anak juga putus sekolah dan kehilangan pekerjaan.

Umat juga sering kali melihat praktik ritual yang terbelah di kalangan elite. Mereka suka memamerkan diri berhaji dan umrah ke Tanah Suci. Tetapi pada saat yang bersamaan, mereka melakukan korupsi.

Dalam perspektif psikologi, mereka yang beribadah ritual dan berbuat dosa secara bersamaan bisa disebut berkepribadian terbelah (split of personality).

Dalam suasana kehidupan kebangsaan dan keumatan demikian itulah, maka dakwah amar makruf nahi munkar harus bergeser dari penista agama ke pendusta agama.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0696 seconds (0.1#10.140)