Dimensi Baru Kerja Sama Maritim Indonesia-Prancis
A
A
A
Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
& Eric Frecon, Dosen Akademi Angkatan Laut Prancis
SEBAGIAN dari kita ketika ditanya sejauh mana kerja sama maritim antara Indonesia dan Prancis barangkali hanya tersenyum seraya mengangkat bahu tanda bingung menjawabnya. Kerja sama maritim kedua negara memang terdengar sayup-sayup, tidak seperti bidang lain semisal pendidikan atau kebudayaan yang lebih tersohor di mata publik.
Lihatlah berbagai tawaran beasiswa bersekolah di berbagai kota di Prancis yang diberikan pemerintah negeri tersebut kepada pemuda-pemudi kita. Tak ketinggalan, ada pula program pemutaran film Prancis yang reguler diadakan Pusat Budaya Prancis (CCF) di Jakarta.
Sejatinya, kerja sama Indonesia-Prancis di bidang maritim tidak kalah intensif seperti dua bidang tersebut. Kini kerja sama maritim Indonesia-Prancis itu berpeluang sangat besar ditingkatkan ke level yang lebih luas menyusul dinyatakannya Indonesia sebagai poros maritim dunia oleh Presiden Joko Widodo. Sebagai poros maritim dunia, negeri ini pasti membutuhkan kerja sama dan dukungan dari berbagai negara agar betul-betul terwujud.
Adalah kedatangan Presiden Prancis Francois Hollande ke Tanah Air yang baru saja usai yang memperluas spektrum kerja sama maritim itu. Bagi Prancis, kunjungan ini boleh dibilang khusus karena kepala negaranya sudah lama sekali tidak bertandang ke Indonesia. Kunjungan kenegaraan Presiden Prancis terakhir kali dilakukan pada 1986, lebih dari 31 tahun yang lalu.
Muhibah tadi diyakini akan dimanfaatkan Prancis untuk membantu Indonesia mengelola, salah satunya, bidang keamanan maritimnya. Inilah yang dimaksud dengan dimensi baru kerja sama maritim Indonesia-Prancis.
Prancis wajar membantu Indonesia dalam hal yang satu ini karena ia memiliki model pengelolaan keamanan maritim yang sudah terbukti mampu mengoordinasikan berbagai instansi mereka yang memiliki kewenangan di laut.
Indonesia rasanya perlu belajar dari best practice itu karena kita juga memiliki instansi yang banyak di laut, tetapi terkesan tidak terkoordinasi dengan baik. ”Model Prancis” dalam pengelolaan keamanan maritim di Indonesia akan menambah khazanah kita. Sebelumnya sudah ada ”model AS” dan ”model Jepang”.
Dua model terakhir ditandai dengan bentuk kelembagaan yang rigid dan memiliki aset—kapal patroli, helikopter, dll—yang besar. Sepertinya Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dibentuk dengan meniru model ini.
Dengan proyek pengadaan yang terbilang masif di tubuh Bakamla RI saat ini—sayang akhirnya belepotan oleh praktik korupsi— tampaknya diperlukan reorientasi atas keberadaan instansi ini. Sebagai lembaga yang melakukan tugas koordinasi (UU Nomor 32/2014 Pasal 62 huruf d), untuk apa seluruh aset yang diadakan itu bagi lembaga tersebut? Kan bisa memanfaatkan aset yang dimiliki instansi yang berada di bawah koordinasinya.
Model Prancis
Pada poin bagaimana mencari bentuk koordinasi antarinstansi kemaritiman di Tanah Air yang baik itulah kita bisa berguru ke Prancis. Tata kelola kemaritiman model Prancis merupakan hasil dari sejarah panjang dengan beragam lika-likunya.
Ia dimulai di masa Napoleon (abad ke-19) dan mencapai bentuk terbaiknya setelah peristiwa besar tumpahan minyak dari tanker Amoco Cadiz pada 1978. Selain peristiwa ini, dunia kemaritiman Prancis ditandai pula dengan kedatangan manusia perahu sebanyak 900 orang dari Kurdi yang terkatung-katung di perairan Prancis pada 2001.
Rupanya status sebagai negara dengan luas zona ekonomi eksklusif (ZEE) terbesar kedua di dunia, selain mendatangkan berkah, juga pada saat yang sama menyimpan petaka. Di samping itu, perubahan tata dunia pasca-Perang Dingin dan mencuatnya ancaman keamanan tradisional dan nontradisional melalui lautan juga menimbulkan tantangan yang tidak ringan kepada Pemerintah Prancis.
Karena itu tidak ada pilihan lain bagi Prancis selain mengadopsi nilai adaptif sebagai salah satu corporate value dalam tata kelola kemaritimannya.
Berangkat dari kondisi tersebut dan praktik yang sudah ada di empat samudra sebelumnya, dikembangkanlah sebuah model yang diberi nama ”tata pemerintahan di laut” (state action at sea). Organisasi ini berada di bawah kewenangan perdana menteri dan sekretaris jenderal laut dan dibantu selusin pejabat senior.
Di level operasional, dibentuk maritime préfet— semacam gubernur—di tiap-tiap provinsi maritim yang bertanggung jawab atas ketertiban umum di laut. Dibekali dengan aturan perundang-undangan yang kuat, maritime préfet merupakan lembaga yang mengoordinasi semua misi penegakan hukum di perairan Prancis.
Lembaga ini dapat meminta pengerahan (deployment) berbagai aset yang dimiliki berbagai instansi kemaritiman Prancis seperti kapal patroli atau helikopter dalam misi penegakan hukumnya. Misalnya aparat Bea dan Cukai bisa menggunakan kapal-kapal perang AL Prancis dalam misi pemberantasan penyelundupannya. Kapal-kapal Bea dan Cukai Prancis terlalu kecil untuk misi ini.
Sebagaimana lazimnya AL di mana pun, AL Prancis juga menyediakan aset dan personelnya untuk misi pencarian dan penyelamatan (search and rescue). Bukan hanya kapal permukaan dan helikopter, bahkan kapal selamnya pun bisa digelar dalam pengejaran sindikat narkotika yang sering menggunakan kapal-kapal berkecepatan tinggi dalam operasi penyelundupan.
Lebih lanjut, menurut berbagai aturan hukum yang dikeluarkan dalam 1994, pilot-pilot AL Prancis diberi wewenang mengumpulkan bukti untuk tindak pidana polusi kelautan sebelum dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Masalah yang muncul ketika Prancis menerapkan state action at sea lebih bersifat nonteknis bila dibandingkan dengan yang lainnya. Saat itu perwira AL Prancis sudah terbiasa dengan ancaman Perang Dingin dan mereka melulu disiapkan hanya untuk mengantisipasinya.
Ketika Perang Dingin usai, perwira angkatan laut harus dilatih agar fleksibel terhadap ancaman baru, yakni kejahatan nontradisional semisal penyelundupan, perompakan, dan sebagainya. Dan yang tak kalah penting, mereka harus mengubah jalur komando dari kepala staf AL ke maritime préfet.
Kesempatan belajar ke Prancis dalam urusan keamanan maritim atau lebih tepatnya tata pemerintahan di Laut terbuka lebar mengingat negeri itu baru saja mengeluarkan strategi kemaritiman terbaru bulan lalu. Tentu jauh lebih dulu program Poros Maritim Dunia milik kita.
Ini artinya Prancis dapat pula belajar dari Indonesia dalam mengelola kemaritimannya. Antara Prancis dan Indonesia banyak berbagi kesamaan. Kedua negara sama-sama menjadi sealanes of communication (SLOC) penting dunia dan memiliki ZEE serta perairan kepulauan yang luas.
Kita punya pelaut-pelaut andal dari Sulawesi, Prancis memiliki orang dari Brittany yang banyak menjadi pelaut ulung negeri itu. Last but not least, jalinan kerja sama kemaritiman kedua negara akan diperkuat di Kepulauan Riau pada Agustus tahun ini. Kita tunggu saja.
& Eric Frecon, Dosen Akademi Angkatan Laut Prancis
SEBAGIAN dari kita ketika ditanya sejauh mana kerja sama maritim antara Indonesia dan Prancis barangkali hanya tersenyum seraya mengangkat bahu tanda bingung menjawabnya. Kerja sama maritim kedua negara memang terdengar sayup-sayup, tidak seperti bidang lain semisal pendidikan atau kebudayaan yang lebih tersohor di mata publik.
Lihatlah berbagai tawaran beasiswa bersekolah di berbagai kota di Prancis yang diberikan pemerintah negeri tersebut kepada pemuda-pemudi kita. Tak ketinggalan, ada pula program pemutaran film Prancis yang reguler diadakan Pusat Budaya Prancis (CCF) di Jakarta.
Sejatinya, kerja sama Indonesia-Prancis di bidang maritim tidak kalah intensif seperti dua bidang tersebut. Kini kerja sama maritim Indonesia-Prancis itu berpeluang sangat besar ditingkatkan ke level yang lebih luas menyusul dinyatakannya Indonesia sebagai poros maritim dunia oleh Presiden Joko Widodo. Sebagai poros maritim dunia, negeri ini pasti membutuhkan kerja sama dan dukungan dari berbagai negara agar betul-betul terwujud.
Adalah kedatangan Presiden Prancis Francois Hollande ke Tanah Air yang baru saja usai yang memperluas spektrum kerja sama maritim itu. Bagi Prancis, kunjungan ini boleh dibilang khusus karena kepala negaranya sudah lama sekali tidak bertandang ke Indonesia. Kunjungan kenegaraan Presiden Prancis terakhir kali dilakukan pada 1986, lebih dari 31 tahun yang lalu.
Muhibah tadi diyakini akan dimanfaatkan Prancis untuk membantu Indonesia mengelola, salah satunya, bidang keamanan maritimnya. Inilah yang dimaksud dengan dimensi baru kerja sama maritim Indonesia-Prancis.
Prancis wajar membantu Indonesia dalam hal yang satu ini karena ia memiliki model pengelolaan keamanan maritim yang sudah terbukti mampu mengoordinasikan berbagai instansi mereka yang memiliki kewenangan di laut.
Indonesia rasanya perlu belajar dari best practice itu karena kita juga memiliki instansi yang banyak di laut, tetapi terkesan tidak terkoordinasi dengan baik. ”Model Prancis” dalam pengelolaan keamanan maritim di Indonesia akan menambah khazanah kita. Sebelumnya sudah ada ”model AS” dan ”model Jepang”.
Dua model terakhir ditandai dengan bentuk kelembagaan yang rigid dan memiliki aset—kapal patroli, helikopter, dll—yang besar. Sepertinya Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI dibentuk dengan meniru model ini.
Dengan proyek pengadaan yang terbilang masif di tubuh Bakamla RI saat ini—sayang akhirnya belepotan oleh praktik korupsi— tampaknya diperlukan reorientasi atas keberadaan instansi ini. Sebagai lembaga yang melakukan tugas koordinasi (UU Nomor 32/2014 Pasal 62 huruf d), untuk apa seluruh aset yang diadakan itu bagi lembaga tersebut? Kan bisa memanfaatkan aset yang dimiliki instansi yang berada di bawah koordinasinya.
Model Prancis
Pada poin bagaimana mencari bentuk koordinasi antarinstansi kemaritiman di Tanah Air yang baik itulah kita bisa berguru ke Prancis. Tata kelola kemaritiman model Prancis merupakan hasil dari sejarah panjang dengan beragam lika-likunya.
Ia dimulai di masa Napoleon (abad ke-19) dan mencapai bentuk terbaiknya setelah peristiwa besar tumpahan minyak dari tanker Amoco Cadiz pada 1978. Selain peristiwa ini, dunia kemaritiman Prancis ditandai pula dengan kedatangan manusia perahu sebanyak 900 orang dari Kurdi yang terkatung-katung di perairan Prancis pada 2001.
Rupanya status sebagai negara dengan luas zona ekonomi eksklusif (ZEE) terbesar kedua di dunia, selain mendatangkan berkah, juga pada saat yang sama menyimpan petaka. Di samping itu, perubahan tata dunia pasca-Perang Dingin dan mencuatnya ancaman keamanan tradisional dan nontradisional melalui lautan juga menimbulkan tantangan yang tidak ringan kepada Pemerintah Prancis.
Karena itu tidak ada pilihan lain bagi Prancis selain mengadopsi nilai adaptif sebagai salah satu corporate value dalam tata kelola kemaritimannya.
Berangkat dari kondisi tersebut dan praktik yang sudah ada di empat samudra sebelumnya, dikembangkanlah sebuah model yang diberi nama ”tata pemerintahan di laut” (state action at sea). Organisasi ini berada di bawah kewenangan perdana menteri dan sekretaris jenderal laut dan dibantu selusin pejabat senior.
Di level operasional, dibentuk maritime préfet— semacam gubernur—di tiap-tiap provinsi maritim yang bertanggung jawab atas ketertiban umum di laut. Dibekali dengan aturan perundang-undangan yang kuat, maritime préfet merupakan lembaga yang mengoordinasi semua misi penegakan hukum di perairan Prancis.
Lembaga ini dapat meminta pengerahan (deployment) berbagai aset yang dimiliki berbagai instansi kemaritiman Prancis seperti kapal patroli atau helikopter dalam misi penegakan hukumnya. Misalnya aparat Bea dan Cukai bisa menggunakan kapal-kapal perang AL Prancis dalam misi pemberantasan penyelundupannya. Kapal-kapal Bea dan Cukai Prancis terlalu kecil untuk misi ini.
Sebagaimana lazimnya AL di mana pun, AL Prancis juga menyediakan aset dan personelnya untuk misi pencarian dan penyelamatan (search and rescue). Bukan hanya kapal permukaan dan helikopter, bahkan kapal selamnya pun bisa digelar dalam pengejaran sindikat narkotika yang sering menggunakan kapal-kapal berkecepatan tinggi dalam operasi penyelundupan.
Lebih lanjut, menurut berbagai aturan hukum yang dikeluarkan dalam 1994, pilot-pilot AL Prancis diberi wewenang mengumpulkan bukti untuk tindak pidana polusi kelautan sebelum dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Masalah yang muncul ketika Prancis menerapkan state action at sea lebih bersifat nonteknis bila dibandingkan dengan yang lainnya. Saat itu perwira AL Prancis sudah terbiasa dengan ancaman Perang Dingin dan mereka melulu disiapkan hanya untuk mengantisipasinya.
Ketika Perang Dingin usai, perwira angkatan laut harus dilatih agar fleksibel terhadap ancaman baru, yakni kejahatan nontradisional semisal penyelundupan, perompakan, dan sebagainya. Dan yang tak kalah penting, mereka harus mengubah jalur komando dari kepala staf AL ke maritime préfet.
Kesempatan belajar ke Prancis dalam urusan keamanan maritim atau lebih tepatnya tata pemerintahan di Laut terbuka lebar mengingat negeri itu baru saja mengeluarkan strategi kemaritiman terbaru bulan lalu. Tentu jauh lebih dulu program Poros Maritim Dunia milik kita.
Ini artinya Prancis dapat pula belajar dari Indonesia dalam mengelola kemaritimannya. Antara Prancis dan Indonesia banyak berbagi kesamaan. Kedua negara sama-sama menjadi sealanes of communication (SLOC) penting dunia dan memiliki ZEE serta perairan kepulauan yang luas.
Kita punya pelaut-pelaut andal dari Sulawesi, Prancis memiliki orang dari Brittany yang banyak menjadi pelaut ulung negeri itu. Last but not least, jalinan kerja sama kemaritiman kedua negara akan diperkuat di Kepulauan Riau pada Agustus tahun ini. Kita tunggu saja.
(poe)