Akankah Hukuman Mati Dihapuskan?
A
A
A
Prof. Dr. Frans H. Winarta, S.H., M.H.
Guru Besar Universitas Pelita Harapan,
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)
SEMENJAK terpilih pada tahun 2014 sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7, terdapat wacana penghormatan dan penegakan hak asasi manusia sebagai bagian dari reformasi sistem dan penegakan hukum di Indonesia di dalam Program Nawacita Jokowi-JK. Namun, pada era pemerintahan yang sama, Indonesia justru melaksanakan eksekusi hukuman mati hingga tiga tahap terhadap lebih dari 60 terpidana mati kasus narkotika.
Pada 2017 ada 25 terpidana mati kasus narkotika yang akan segera dieksekusi. Pemerintah memiliki misi untuk berperang melawan kejahatan narkotika karena menurut statistik, setiap hari puluhan orang meninggal di Indonesia karenanya. Ancaman hukuman mati diyakini akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkotika lainnya di Indonesia.
Pascareformasi, negeri ini sedang menjalani proses demokrasi yang cukup alot di mana masyarakat menyuarakan haknya untuk berpendapat terhadap penyelenggaraan negara. Ada pro-kontra di dalam elemen masyarakat yang mendukung atau menolak proses eksekusi hukuman mati terhadap pelaku kejahatan, terutama kejahatan narkotika.
Nyawa seseorang adalah paling asasi dan berharga. Oleh karena itu, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 menjaminnya. Jika berpijak pada konstitusi negara, semestinya hak untuk hidup (right to life) tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Jika ingin melihat sejenak ke negeri tetangga, hukuman mati ternyata diberlakukan lagi oleh pemerintah Filipina semenjak dihapuskan pada tahun 2006. Keputusasaan melanda seluruh rakyat Filipina.
Orang-orang yang diduga melakukan kejahatan narkotika tewas dan anggota keluarga ditahan jika tidak berhasil menangkap tersangka kejahatan narkotika. Banyak pihak yang menentang pemerintah Filipina dalam kebijakan tersebut, di mana ditakutkan terjadi penyalahgunaan wewenang dalam mengatasi kejahatan narkotika di negara tersebut.
Mengapa Melakukan Kejahatan Narkotika
Sebelum berpikir bahwa seseorang harus mati karena melakukan kejahatan narkotika, ada baiknya pertanyaan tersebut diganti dengan kalimat: mengapa orang melakukan kejahatan narkotika. Mestinya konstruksi berpikir kita ditarik jauh ke belakang terkait dengan apa yang menjadi pemicunya.
Cessare Becaria dalam karyanya, On Crimes and Punishments (1764), berpendapat bahwa hukuman mati tidak diabsahkan oleh hak apa pun karena negara tidak memiliki hak untuk mengambil nyawa seseorang. Cepat atau lambat, harus ada revolusi berpikir mengenai pro-kontra isu hukuman mati di negeri ini.
Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan pelaku kejahatan atas tindakannya dalam memperdagangkan narkotika. Namun, harus ada kajian lebih lanjut terhadap faktor-faktor pemicu yang melatarbelakanginya, seperti faktor ekonomi, sosial, lingkungan, dan faktor lainnya di mana negara seharusnya memiliki andil di dalamnya.
Ke depan, berdasarkan kajian yang mendalam tersebut, pemerintah harus bekerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat harus dapat mencegah dan mencari solusi yang komprehensif untuk mengatasi peredaran narkotika, tanpa harus menghilangkan nyawa seseorang.
Butuh waktu lama, sama seperti halnya pelaku kejahatan juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menjalani hukuman yang lebih pantas daripada hukuman "nyawa ganti nyawa" dengan dalih kepentingan negara.
Semenjak terlepas dari pemerintahan otoriter sepuluh tahun lalu, belum ada pemimpin negara Indonesia yang berani menghapuskan aturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia. Padahal, sebagai negara yang sedang berkembang, sistem peradilan di Indonesia masih belum stabil.
Dan jika ada kesalahan vonis terhadap seseorang, nyawa yang telah diambil tidak dapat dikembalikan lagi. Yang dijatuhi hukuman mati pun sedikit banyak bukan otak pelaku kejahatan narkotika, melainkan hanya kurir, pencandu, pengedar, dan lain-lain yang berada di jaringan terbawah piramida kejahatan narkotika.
Sehingga sebanyak apa pun eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan, tidak akan begitu berpengaruh terhadap pelaku bisnis narkotika yang berada di puncak piramida. Kecuali mereka bisa ditangkap dan diadili oleh para penegak hukum di negara ini.
Akhir kata, mengenai narkotika dan ancaman hukuman mati merupakan tantangan yang dihadapi seluruh negara di dunia. Bagaimana efeknya terhadap keluarga pelaku kejahatan dan generasi muda serta bagaimana penghargaan terhadap nyawa seseorang di negara ini.
Jika ketegasan berarti menghilangkan nyawa, berarti ada yang salah dalam pola pikir masyarakat Indonesia yang tersohor sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Di lain sisi, pemerintah dan rakyat Indonesia pun tidak menginginkan ada salah satu warga negara Indonesia yang diancam hukuman mati di negara lain.
Ke depan harus dipikirkan dengan baik bagaimana caranya menanggulangi kejahatan narkotika di Indonesia, bukan hanya semata-mata menegakkan hukum dan ketertiban (law and order). Sehingga setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
Guru Besar Universitas Pelita Harapan,
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)
SEMENJAK terpilih pada tahun 2014 sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7, terdapat wacana penghormatan dan penegakan hak asasi manusia sebagai bagian dari reformasi sistem dan penegakan hukum di Indonesia di dalam Program Nawacita Jokowi-JK. Namun, pada era pemerintahan yang sama, Indonesia justru melaksanakan eksekusi hukuman mati hingga tiga tahap terhadap lebih dari 60 terpidana mati kasus narkotika.
Pada 2017 ada 25 terpidana mati kasus narkotika yang akan segera dieksekusi. Pemerintah memiliki misi untuk berperang melawan kejahatan narkotika karena menurut statistik, setiap hari puluhan orang meninggal di Indonesia karenanya. Ancaman hukuman mati diyakini akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkotika lainnya di Indonesia.
Pascareformasi, negeri ini sedang menjalani proses demokrasi yang cukup alot di mana masyarakat menyuarakan haknya untuk berpendapat terhadap penyelenggaraan negara. Ada pro-kontra di dalam elemen masyarakat yang mendukung atau menolak proses eksekusi hukuman mati terhadap pelaku kejahatan, terutama kejahatan narkotika.
Nyawa seseorang adalah paling asasi dan berharga. Oleh karena itu, Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 menjaminnya. Jika berpijak pada konstitusi negara, semestinya hak untuk hidup (right to life) tersebut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Jika ingin melihat sejenak ke negeri tetangga, hukuman mati ternyata diberlakukan lagi oleh pemerintah Filipina semenjak dihapuskan pada tahun 2006. Keputusasaan melanda seluruh rakyat Filipina.
Orang-orang yang diduga melakukan kejahatan narkotika tewas dan anggota keluarga ditahan jika tidak berhasil menangkap tersangka kejahatan narkotika. Banyak pihak yang menentang pemerintah Filipina dalam kebijakan tersebut, di mana ditakutkan terjadi penyalahgunaan wewenang dalam mengatasi kejahatan narkotika di negara tersebut.
Mengapa Melakukan Kejahatan Narkotika
Sebelum berpikir bahwa seseorang harus mati karena melakukan kejahatan narkotika, ada baiknya pertanyaan tersebut diganti dengan kalimat: mengapa orang melakukan kejahatan narkotika. Mestinya konstruksi berpikir kita ditarik jauh ke belakang terkait dengan apa yang menjadi pemicunya.
Cessare Becaria dalam karyanya, On Crimes and Punishments (1764), berpendapat bahwa hukuman mati tidak diabsahkan oleh hak apa pun karena negara tidak memiliki hak untuk mengambil nyawa seseorang. Cepat atau lambat, harus ada revolusi berpikir mengenai pro-kontra isu hukuman mati di negeri ini.
Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan pelaku kejahatan atas tindakannya dalam memperdagangkan narkotika. Namun, harus ada kajian lebih lanjut terhadap faktor-faktor pemicu yang melatarbelakanginya, seperti faktor ekonomi, sosial, lingkungan, dan faktor lainnya di mana negara seharusnya memiliki andil di dalamnya.
Ke depan, berdasarkan kajian yang mendalam tersebut, pemerintah harus bekerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat harus dapat mencegah dan mencari solusi yang komprehensif untuk mengatasi peredaran narkotika, tanpa harus menghilangkan nyawa seseorang.
Butuh waktu lama, sama seperti halnya pelaku kejahatan juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menjalani hukuman yang lebih pantas daripada hukuman "nyawa ganti nyawa" dengan dalih kepentingan negara.
Semenjak terlepas dari pemerintahan otoriter sepuluh tahun lalu, belum ada pemimpin negara Indonesia yang berani menghapuskan aturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia. Padahal, sebagai negara yang sedang berkembang, sistem peradilan di Indonesia masih belum stabil.
Dan jika ada kesalahan vonis terhadap seseorang, nyawa yang telah diambil tidak dapat dikembalikan lagi. Yang dijatuhi hukuman mati pun sedikit banyak bukan otak pelaku kejahatan narkotika, melainkan hanya kurir, pencandu, pengedar, dan lain-lain yang berada di jaringan terbawah piramida kejahatan narkotika.
Sehingga sebanyak apa pun eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan, tidak akan begitu berpengaruh terhadap pelaku bisnis narkotika yang berada di puncak piramida. Kecuali mereka bisa ditangkap dan diadili oleh para penegak hukum di negara ini.
Akhir kata, mengenai narkotika dan ancaman hukuman mati merupakan tantangan yang dihadapi seluruh negara di dunia. Bagaimana efeknya terhadap keluarga pelaku kejahatan dan generasi muda serta bagaimana penghargaan terhadap nyawa seseorang di negara ini.
Jika ketegasan berarti menghilangkan nyawa, berarti ada yang salah dalam pola pikir masyarakat Indonesia yang tersohor sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Di lain sisi, pemerintah dan rakyat Indonesia pun tidak menginginkan ada salah satu warga negara Indonesia yang diancam hukuman mati di negara lain.
Ke depan harus dipikirkan dengan baik bagaimana caranya menanggulangi kejahatan narkotika di Indonesia, bukan hanya semata-mata menegakkan hukum dan ketertiban (law and order). Sehingga setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
(poe)