Nyepi untuk Keutuhan NKRI
A
A
A
I Ketut Parwata
Sekretaris Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
SELAMAT datang Tahun Baru Saka 1939. Tahun Saka sebagai penanggalan yang sejak belasan abad yang lalu digunakan sebagai penanggalan resmi di seluruh Nusantara segera akan memasuki tahun yang ke-1939.
Penanggalan Saka yang dimulai sejak 21 Maret 78 Masehi merupakan tonggak sejarah berakhirnya perang antarsuku di daratan Bharatawarsa yang ketika itu meliputi wilayah India, Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh (saat ini).
Sejak saat itu Raja Kanishka I yang berhasil mengakhiri pertikaian tersebut menjadikan tanggal 1 bulan Waisaka tahun 1 Saka sebagai awal peradaban baru yang mengutamakan persatuan dan kesatuan, menghargai segala perbedaan, membangun toleransi, dan menempatkan dialog di atas perang bersenjata.
Saat bangsa India menyebarkan agama Hindu (Sanatana Dharma) ke wilayah Nusantara, penanggalan Saka ikut diperkenalkan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai peninggalan warisan leluhur Nusantara, baik berupa benda seperti candi, prasasti, karya sastra, maupun berupa warisan tak benda seperti cerita rakyat senantiasa menggunakan tahun Saka sebagai penanda waktu.
Umat Hindu di seluruh Nusantara sampai saat ini tetap memperingati dan merayakan Tahun Baru Saka. Sejak berabad-abad yang lalu, leluhur Nusantara mewariskan cara merayakan Tahun Baru Saka dengan melaksanakan Nyepi, yakni menghentikan segala aktivitas fisik selama sehari penuh.
Dengan Nyepi, setiap umat Hindu diharapkan melaksanakan perenungan, kontemplasi, refleksi, dan retrospeksi guna melakukan evaluasi terhadap keberadaan dirinya. Dengan evaluasi tersebut, akan lebih mudah dalam menetapkan rencana dan target capaian pada tahun mendatang.
Selama sehari penuh umat Hindu melaksanakan brata (pengekangan/pantangan) berupa catur brata yaitu amati gni (tidak menyalakan api/lampu), amati karya (tidak melakukan aktivitas fisik), amati lelungaan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan), ditambah dengan upawasa (puasa, tidak makan dan minum), dan mona (tidak berbicara). Lelaku ini makin mendapat perhatian ketika pada 1983 pemerintah menetapkan Nyepi Tahun Baru Saka sebagai hari libur nasional.
Sementara itu, guna mengoptimalkan pelaksanaan Nyepi sebagai Perayaan Tahun Baru Saka, sejak 1970-an, setiap tahun umat Hindu membentuk kepanitiaan nasional. Panitia nasional menetapkan tema utama yang relevan dengan situasi dan kondisi saat itu.
Menyambut Nyepi/Tahun Baru Saka 1939 tahun ini, yang jatuh bertepatan dengan 28 Maret 2017, panitia nasional mengetengahkan tema "Jadikan Catur Brata Penyepian Memperkuat Toleransi Kebhinekaan Berbangsa dan Bernegara demi Keutuhan NKRI".
Tema tersebut dipandang relevan dengan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Sebagai dampak ikutan dari ingar-bingar dan hiruk-pikuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) yang berkelindan dengan merasuknya paham-paham transnasional, peri kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita diibaratkan sedang menderita "demam" yang (konon) menurut pengamatan intelijen dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Relasi sosial dan kohesi sosial antar sesama anak bangsa menunjukkan kecenderungan semakin renggang, toleransi makin menipis, penghargaan terhadap perbedaan semakin rendah, dan ikatan sosial sebagai satu bangsa semakin melemah.
Berbagai kecenderungan tersebut, ditambah dengan masih tingginya kesenjangan ekonomi dan sosial, masih lemahnya penegakan hukum, semakin tingginya biaya politik yang diikuti dengan meruyaknya korupsi di berbagai lini dan sektor, bertebarannya berita dan kabar bohong (hoax) yang mampu mengalahkan logika dan akal sehat, serta berkembangnya radikalisme yang diikuti dengan tindakan terorisme.
Semua itu dikhawatirkan akan mengganggu kerukunan dan keharmonisan yang sudah terbangun dengan baik, bahkan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasaskan Pancasila, berdasarkan UUDNRI 1945, dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.
Melalui momentum Nyepi Tahun Baru Saka 1939, dengan tema seperti di atas, umat Hindu diharapkan kembali merenung kemudian tampil sebagai garda depan dalam upaya menjaga tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Umat Hindu setelah melaksanakan penyucian diri (bhuwana alit) melalui ritual Melasti dan melaksanakan penyucian alam semesta (bhuwana agung) melalui ritual Tawur Agung, serta puncaknya dengan melaksanakan catur brata saat Nyepi, dituntut untuk menjadi pribadi yang tangguh, tanggon, trengginas, serta mampu menjadi teladan dalam menumbuhkembangkan toleransi dan penghargaan terhadap berbagai perbedaan.
Umat Hindu hendaknya dengan lantang menyuarakan bahwa, keberagaman merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa bagi bangsa Indonesia yang harus dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh agar menghasilkan keindahan dan keharmonisan dalam warna-warni kehidupan.
Memelihara, menghargai, dan menghormati berbagai perbedaan merupakan sebuah tindakan terpuji dan sama sekali bukanlah sebuah dosa. Sikap terbuka (inklusif) dan senantiasa mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi sebuah keniscayaan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selamat Hari Raya Nyepi, Selamat Tahun Baru Saka 1939. Om sarwa bhawantu sukhinah, semoga semua makhluk berbahagia!
Sekretaris Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
SELAMAT datang Tahun Baru Saka 1939. Tahun Saka sebagai penanggalan yang sejak belasan abad yang lalu digunakan sebagai penanggalan resmi di seluruh Nusantara segera akan memasuki tahun yang ke-1939.
Penanggalan Saka yang dimulai sejak 21 Maret 78 Masehi merupakan tonggak sejarah berakhirnya perang antarsuku di daratan Bharatawarsa yang ketika itu meliputi wilayah India, Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh (saat ini).
Sejak saat itu Raja Kanishka I yang berhasil mengakhiri pertikaian tersebut menjadikan tanggal 1 bulan Waisaka tahun 1 Saka sebagai awal peradaban baru yang mengutamakan persatuan dan kesatuan, menghargai segala perbedaan, membangun toleransi, dan menempatkan dialog di atas perang bersenjata.
Saat bangsa India menyebarkan agama Hindu (Sanatana Dharma) ke wilayah Nusantara, penanggalan Saka ikut diperkenalkan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai peninggalan warisan leluhur Nusantara, baik berupa benda seperti candi, prasasti, karya sastra, maupun berupa warisan tak benda seperti cerita rakyat senantiasa menggunakan tahun Saka sebagai penanda waktu.
Umat Hindu di seluruh Nusantara sampai saat ini tetap memperingati dan merayakan Tahun Baru Saka. Sejak berabad-abad yang lalu, leluhur Nusantara mewariskan cara merayakan Tahun Baru Saka dengan melaksanakan Nyepi, yakni menghentikan segala aktivitas fisik selama sehari penuh.
Dengan Nyepi, setiap umat Hindu diharapkan melaksanakan perenungan, kontemplasi, refleksi, dan retrospeksi guna melakukan evaluasi terhadap keberadaan dirinya. Dengan evaluasi tersebut, akan lebih mudah dalam menetapkan rencana dan target capaian pada tahun mendatang.
Selama sehari penuh umat Hindu melaksanakan brata (pengekangan/pantangan) berupa catur brata yaitu amati gni (tidak menyalakan api/lampu), amati karya (tidak melakukan aktivitas fisik), amati lelungaan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan), ditambah dengan upawasa (puasa, tidak makan dan minum), dan mona (tidak berbicara). Lelaku ini makin mendapat perhatian ketika pada 1983 pemerintah menetapkan Nyepi Tahun Baru Saka sebagai hari libur nasional.
Sementara itu, guna mengoptimalkan pelaksanaan Nyepi sebagai Perayaan Tahun Baru Saka, sejak 1970-an, setiap tahun umat Hindu membentuk kepanitiaan nasional. Panitia nasional menetapkan tema utama yang relevan dengan situasi dan kondisi saat itu.
Menyambut Nyepi/Tahun Baru Saka 1939 tahun ini, yang jatuh bertepatan dengan 28 Maret 2017, panitia nasional mengetengahkan tema "Jadikan Catur Brata Penyepian Memperkuat Toleransi Kebhinekaan Berbangsa dan Bernegara demi Keutuhan NKRI".
Tema tersebut dipandang relevan dengan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Sebagai dampak ikutan dari ingar-bingar dan hiruk-pikuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) yang berkelindan dengan merasuknya paham-paham transnasional, peri kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita diibaratkan sedang menderita "demam" yang (konon) menurut pengamatan intelijen dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Relasi sosial dan kohesi sosial antar sesama anak bangsa menunjukkan kecenderungan semakin renggang, toleransi makin menipis, penghargaan terhadap perbedaan semakin rendah, dan ikatan sosial sebagai satu bangsa semakin melemah.
Berbagai kecenderungan tersebut, ditambah dengan masih tingginya kesenjangan ekonomi dan sosial, masih lemahnya penegakan hukum, semakin tingginya biaya politik yang diikuti dengan meruyaknya korupsi di berbagai lini dan sektor, bertebarannya berita dan kabar bohong (hoax) yang mampu mengalahkan logika dan akal sehat, serta berkembangnya radikalisme yang diikuti dengan tindakan terorisme.
Semua itu dikhawatirkan akan mengganggu kerukunan dan keharmonisan yang sudah terbangun dengan baik, bahkan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasaskan Pancasila, berdasarkan UUDNRI 1945, dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.
Melalui momentum Nyepi Tahun Baru Saka 1939, dengan tema seperti di atas, umat Hindu diharapkan kembali merenung kemudian tampil sebagai garda depan dalam upaya menjaga tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Umat Hindu setelah melaksanakan penyucian diri (bhuwana alit) melalui ritual Melasti dan melaksanakan penyucian alam semesta (bhuwana agung) melalui ritual Tawur Agung, serta puncaknya dengan melaksanakan catur brata saat Nyepi, dituntut untuk menjadi pribadi yang tangguh, tanggon, trengginas, serta mampu menjadi teladan dalam menumbuhkembangkan toleransi dan penghargaan terhadap berbagai perbedaan.
Umat Hindu hendaknya dengan lantang menyuarakan bahwa, keberagaman merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa bagi bangsa Indonesia yang harus dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh agar menghasilkan keindahan dan keharmonisan dalam warna-warni kehidupan.
Memelihara, menghargai, dan menghormati berbagai perbedaan merupakan sebuah tindakan terpuji dan sama sekali bukanlah sebuah dosa. Sikap terbuka (inklusif) dan senantiasa mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi sebuah keniscayaan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selamat Hari Raya Nyepi, Selamat Tahun Baru Saka 1939. Om sarwa bhawantu sukhinah, semoga semua makhluk berbahagia!
(poe)