Kebijakan Penyediaan Perumahan di Perkotaan
A
A
A
Sunarsip
Chief Economist PT Bank Bukopin Tbk
TEMPAT tinggal, hunian, atau rumah (papan) merupakan salah satu kebutuhan pokok di mana negara memang memiliki kewajiban untuk menyediakannya, sama dengan kebutuhan pokok lain seperti sandang dan pangan.
Konsep “menyediakan” di sini tidak berarti bahwa pemerintah “memberikan”, tetapi lebih pada upaya pemerintah agar seluruh rakyat Indonesia dapat memiliki tempat tinggal (hunian) yang layak dan harganya terjangkau.
Upaya tersebut antara lain dapat berupa kebijakan pengaturan, penyediaan lahan, penyediaan prasarana dan sarana umum (PSU), dukungan pendanaan (bagi masyarakat yang tidak mampu), termasuk pula penyediaan hunian itu sendiri.
Beberapa pihak memiliki perbedaan pendapat soal konsep hunian atau rumah tinggal ini, terutama di perkotaan, yang menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Ini mengingat harga tanah dan bangunan di perkotaan yang relatif mahal dan lahan yang terbatas.
Beberapa pihak berpendapat warga perkotaan yang memiliki penghasilan rendah tidak perlu harus memiliki rumah tinggal, tetapi cukup sewa. Dalam hal ini, bila warga cukup hanya dengan menyewa, kewajiban pemerintah menjadi terbatas pada penyediaan rumah untuk disewakan dan warga perkotaan dibuat agar mampu menyewanya. Bila tidak mampu menyewa, pemerintah menyubsidi harga sewanya.
Sedangkan pihak lain berpendapat bahwa sesuai dengan konsep “kebutuhan pokok”, warga perkotaan tidak cukup hanya menyewa, tetapi hingga dapat “memiliki”. Dengan memiliki, warga memiliki kepastian dan ikut merasakan nilai tambah dari aset rumah miliknya.
Sehingga, kewajiban pemerintah di sini tidak cukup sebatas pada membuat warga mampu menyewa, tetapi mampu “memiliki” (membeli). Dengan konsep “memiliki” ini, kewajiban pemerintah menjadi lebih besar.
Saya berpendapat bahwa dua pandangan baik “cukup menyewa” atau “memiliki” sama-sama benar. Hanya, kalau pemerintah memiliki kemampuan untuk membuat warganya mampu memiliki rumah (tidak sekadar menyewa), tentu itu lebih baik.
Namun, tentu harus dipertimbangkan terkait anggaran, mekanisme, kemampuan finansial warga, serta langkah-langkah mitigasi risikonya agar kebijakan pemerintah tersebut tidak mendorong terjadi moral hazard bagi penerimanya.
Di luar perbedaan dua pandangan tersebut, saya berpendapat bahwa kebijakan penyediaan rumah di perkotaan sebaiknya dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan warga. Misalnya, bagi warga yang penghasilannya rendah dan belum memiliki kemampuan finansial cukup untuk membayar angsuran pembelian rumah, warga tersebut untuk sementara cukup menjadi penyewa.
Kelompok masyarakat ini selanjutnya perlu diberdayakan agar pada saatnya nanti memiliki kemampuan finansial untuk membeli rumah secara angsuran. Sedangkan bagi warga yang memiliki kemampuan finansial cukup untuk membayar angsuran pembelian rumah, pemerintah perlu mengupayakan agar mereka dapat memiliki rumah sendiri. Di sini tentu diperlukan intervensi dan subsidi dari pemerintah.
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah
Satu hal yang patut dicatat bahwa penyediaan perumahan telah menjadi prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat. Komitmen tersebut telah diperlihatkan melalui serangkaian kebijakan agar perumahan yang layak dan terjangkau tersedia bagi seluruh rakyat.
Sebagai contoh, sejak 2010 pemerintah pusat telah menyediakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), baik perkotaan maupun perdesaan.
Mekanismenya, pemerintah menempatkan sejumlah dana APBN ke bank (dikembalikan lagi dengan tarif yang rendah). FLPP tersebut diperuntukkan kepada MBR agar mereka memiliki kemampuan untuk membayar angsuran kredit kepemilikan rumah (KPR) FLPP. Program ini telah berjalan dan cukup membantu meringankan MBR dalam membayar angsuran.
Perlu dicatat bahwa kewajiban penyediaan rumah bagi MBR adalah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Itu berarti, keterlibatan pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) dalam penyediaan perumahan murah bagi MBR lebih bersifat mendukung (supported) kebijakan pemerintah pusat.
Meskipun kebijakan FLPP positif dalam membantu meringankan beban finansial bagi MBR terkait dengan KPR, efektivitasnya masih perlu dorongan. Ini mengingat, realisasi pembangunan KPR FLPP masih jauh dari harapan.
Salah satu penyebabnya adalah dukungan dari pemda yang dirasakan masih kurang. Sebagai contoh, selama 2010-2014 kinerja KPR FLPP di DKI Jakarta baru terealisasi sebanyak 204 unit, padahal backlog perumahan di DKI Jakarta mencapai lebih dari 365.000.
Pemda tentu harus berperan aktif dalam membantu pemenuhan perumahan bagi masyarakatnya baik dari sisi supply maupun demand. Peran aktif pemda dari sisi supply antara lain dapat berupa (i) pemberian kemudahan dalam perizinan, (ii) penyediaan PSU, (iii) perintisan (penyediaan) land banking, dan (iv) penetapan zonasi untuk rumah sejahtera.
Melalui peran aktif pemda dari sisi supply ini diharapkan dapat mendorong keterlibatan pengembang secara lebih masif dan dapat menekan harga rumah bagi MBR. Sedangkan dari sisi demand, pemda dapat menyediakan anggaran (APBD) untuk bantuan sebagian pembiayaan perumahan bagi MBR sebagai pendamping bantuan pembiayaan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Dari sisi demand, sebenarnya skim KPR FLPP cukup ringan bagi MBR. Skim KPR FLPP adalah suku bunga tetap (flat) sebesar 5%, uang muka sebesar 1%-15% dari nilai KPR, dan jangka waktu cicilan selama 20 tahun. Pemerintah pusat juga memberikan bantuan subsidi uang muka (BSUM) bagi MBR.
Namun, karena harga rumah (pada umumnya rumah susun/rusun) di perkotaan lebih mahal, baik unsur cicilan maupun uang muka masih dirasakan memberatkan bagi MBR. Nah, di sinilah keterlibatan dukungan pembiayaan pemda yang sebenarnya diharapkan dari pemerintah pusat.
Sebagai contoh, kalau misalnya setiap pemda terutama di perkotaan mengalokasikan APBD-nya sebagai “FLPP daerah” dan/atau BSUM tambahan, tentu ini akan membantu meringankan harga rumah dan cicilan, termasuk dapat pula mengurangi uang muka hingga nol rupiah. Sinergi seperti ini tentu akan sangat membantu pemerintah pusat dalam rangka menyukseskan penyediaan rumah bagi MBR, terutama di perkotaan.
Kelembagaan Perumahan Rakyat di daerah
Selain masalah supply dan demand perumahan bagi MBR, keberadaan kelembagaan perumahan rakyat di tingkat daerah juga penting. Ini terutama dalam menjaga agar kebijakan penyediaan rumah bagi MBR tepat sasaran.
Jangan sampai misalnya pemerintah menyubsidi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan mampu membeli rumah secara komersial. Termasuk pula, jangan sampai rumah bersubsidi kemudian berpindah tangan secara bebas dan diperjualbelikan secara komersial.
Faktanya, di Jakarta misalnya rusun yang semula dibangun untuk kelompok MBR kini sudah banyak yang beralih kepemilikannya ke orang-orang yang tidak layak menerima subsidi.
Saya mengusulkan agar kelembagaan perumahan rakyat juga perlu dipersiapkan oleh pemda. Di Singapura misalnya terdapat Housing & Development Board (HDB) yang memiliki peran di bidang penyediaan perumahan, terutama ketika pada saat awal-awal HDB dibentuk fokusnya adalah pembangunan perumahan murah (low cost housing).
HDB tidak hanya fokus di pembangunan atau pengadaan, tetapi juga memiliki peran sebagai pengelola perumahan masyarakat. Misalnya, bila ada warga yang ingin menjual rumahnya karena pertimbangan sudah tidak layak lagi, HDB yang akan menjadi pembeli siaganya (standby buyer). Dengan konsep seperti ini, penghuni dimudahkan dalam melakukan mutasi dan pemerintah pun tetap dapat menjaga sisi supply rumah bersubsidi.
Pada 2009 sebenarnya pemerintah pusat telah memiliki rencana membentuk lembaga semacam HDB-nya Singapura. Waktu itu konsep yang muncul adalah National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC) dengan Perumnas yang menjadi cikal bakalnya.
Sayangnya, hingga kini belum berhasil diciptakan. Di tingkat pemda sebenarnya lembaga semisal HDB-nya Singapura juga dapat dibentuk dengan peran dan fungsi yang sama. Misalnya, dibentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Perumahan.
Fungsi BLUD Perumahan ini adalah (i) mengadakan perumahan rakyat bagi MBR; (ii) menjalin kerja sama dengan institusi lain seperti perbankan, lembaga pembiayaan, pengembang, perusahaan penjaminan dan asuransi untuk asuransi perumahan; dan (iii) menjadi pembeli bagi rumah-rumah yang sebelumnya diadakan oleh pemda oleh pemiliknya hendak dijual.
Seiring dengan peningkatan taraf hidup dan bertambahnya jumlah anggota keluarga, penghuni rumah bersubsidi biasanya merasa rumahnya sudah tidak layak. Kebutuhan tempat tinggal yang lebih baik menjadi alasan untuk pindah.
Keberadaan BLUD ini akan memudahkan pemilik rumah yang ingin menjual rumahnya tersebut. Keberadaan BLUD ini juga akan menjaga agar rumah bersubsidi tidak berpindah tangan ke pihak yang tidak layak memiliki rumah bersubsidi sehingga pemda dapat menjaga stock rumah bersubsidi.
Belajar dari pengalaman krisis subprime mortgage (KPR murah bagi kelompok MBR) di Amerika Serikat (AS), langkah-langkah mitigasi risiko memang perlu disiapkan. Meski demikian, juga tidak sepenuhnya tepat bila kebijakan pengadaan rumah murah bagi MBR dikaitkan dengan kekhawatiran terulangnya krisis subprime mortgage di AS.
Krisis subprime mortgage di AS lebih banyak disebabkan oleh spekulasi transaksi derivatif berbasis subprime mortgage dan lemahnya kontrol dalam pengendalian kredit. Sementara itu, kebijakan otoritas moneter dan perbankan kita dalam pengendalian kredit dan mitigasi risiko telah demikian ketat.
Pemerintah sendiri telah menyediakan instrumen penjaminannya untuk mengurangi risiko terjadi kredit bermasalah KPR bersubsidi. Keberadaan BLUD Perumahan, bila dibentuk juga dapat menjadi instrumen mengurangi risiko kredit.
Sepertinya saat ini adalah momentum bagi pemerintah (pusat dan daerah) untuk mendorong kembali percepatan pembangunan perumahan bagi MBR. Terlebih, isu ini sedang bergulir dan menjadi perhatian yang serius oleh calon-calon pemimpin daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Semoga saja dengan menggelindingnya isu perumahan rakyat ini betul-betul menjadi perhatian dan komitmen tidak sekadar slogan politik.
Chief Economist PT Bank Bukopin Tbk
TEMPAT tinggal, hunian, atau rumah (papan) merupakan salah satu kebutuhan pokok di mana negara memang memiliki kewajiban untuk menyediakannya, sama dengan kebutuhan pokok lain seperti sandang dan pangan.
Konsep “menyediakan” di sini tidak berarti bahwa pemerintah “memberikan”, tetapi lebih pada upaya pemerintah agar seluruh rakyat Indonesia dapat memiliki tempat tinggal (hunian) yang layak dan harganya terjangkau.
Upaya tersebut antara lain dapat berupa kebijakan pengaturan, penyediaan lahan, penyediaan prasarana dan sarana umum (PSU), dukungan pendanaan (bagi masyarakat yang tidak mampu), termasuk pula penyediaan hunian itu sendiri.
Beberapa pihak memiliki perbedaan pendapat soal konsep hunian atau rumah tinggal ini, terutama di perkotaan, yang menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Ini mengingat harga tanah dan bangunan di perkotaan yang relatif mahal dan lahan yang terbatas.
Beberapa pihak berpendapat warga perkotaan yang memiliki penghasilan rendah tidak perlu harus memiliki rumah tinggal, tetapi cukup sewa. Dalam hal ini, bila warga cukup hanya dengan menyewa, kewajiban pemerintah menjadi terbatas pada penyediaan rumah untuk disewakan dan warga perkotaan dibuat agar mampu menyewanya. Bila tidak mampu menyewa, pemerintah menyubsidi harga sewanya.
Sedangkan pihak lain berpendapat bahwa sesuai dengan konsep “kebutuhan pokok”, warga perkotaan tidak cukup hanya menyewa, tetapi hingga dapat “memiliki”. Dengan memiliki, warga memiliki kepastian dan ikut merasakan nilai tambah dari aset rumah miliknya.
Sehingga, kewajiban pemerintah di sini tidak cukup sebatas pada membuat warga mampu menyewa, tetapi mampu “memiliki” (membeli). Dengan konsep “memiliki” ini, kewajiban pemerintah menjadi lebih besar.
Saya berpendapat bahwa dua pandangan baik “cukup menyewa” atau “memiliki” sama-sama benar. Hanya, kalau pemerintah memiliki kemampuan untuk membuat warganya mampu memiliki rumah (tidak sekadar menyewa), tentu itu lebih baik.
Namun, tentu harus dipertimbangkan terkait anggaran, mekanisme, kemampuan finansial warga, serta langkah-langkah mitigasi risikonya agar kebijakan pemerintah tersebut tidak mendorong terjadi moral hazard bagi penerimanya.
Di luar perbedaan dua pandangan tersebut, saya berpendapat bahwa kebijakan penyediaan rumah di perkotaan sebaiknya dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan warga. Misalnya, bagi warga yang penghasilannya rendah dan belum memiliki kemampuan finansial cukup untuk membayar angsuran pembelian rumah, warga tersebut untuk sementara cukup menjadi penyewa.
Kelompok masyarakat ini selanjutnya perlu diberdayakan agar pada saatnya nanti memiliki kemampuan finansial untuk membeli rumah secara angsuran. Sedangkan bagi warga yang memiliki kemampuan finansial cukup untuk membayar angsuran pembelian rumah, pemerintah perlu mengupayakan agar mereka dapat memiliki rumah sendiri. Di sini tentu diperlukan intervensi dan subsidi dari pemerintah.
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah
Satu hal yang patut dicatat bahwa penyediaan perumahan telah menjadi prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat. Komitmen tersebut telah diperlihatkan melalui serangkaian kebijakan agar perumahan yang layak dan terjangkau tersedia bagi seluruh rakyat.
Sebagai contoh, sejak 2010 pemerintah pusat telah menyediakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), baik perkotaan maupun perdesaan.
Mekanismenya, pemerintah menempatkan sejumlah dana APBN ke bank (dikembalikan lagi dengan tarif yang rendah). FLPP tersebut diperuntukkan kepada MBR agar mereka memiliki kemampuan untuk membayar angsuran kredit kepemilikan rumah (KPR) FLPP. Program ini telah berjalan dan cukup membantu meringankan MBR dalam membayar angsuran.
Perlu dicatat bahwa kewajiban penyediaan rumah bagi MBR adalah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23/ 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Itu berarti, keterlibatan pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) dalam penyediaan perumahan murah bagi MBR lebih bersifat mendukung (supported) kebijakan pemerintah pusat.
Meskipun kebijakan FLPP positif dalam membantu meringankan beban finansial bagi MBR terkait dengan KPR, efektivitasnya masih perlu dorongan. Ini mengingat, realisasi pembangunan KPR FLPP masih jauh dari harapan.
Salah satu penyebabnya adalah dukungan dari pemda yang dirasakan masih kurang. Sebagai contoh, selama 2010-2014 kinerja KPR FLPP di DKI Jakarta baru terealisasi sebanyak 204 unit, padahal backlog perumahan di DKI Jakarta mencapai lebih dari 365.000.
Pemda tentu harus berperan aktif dalam membantu pemenuhan perumahan bagi masyarakatnya baik dari sisi supply maupun demand. Peran aktif pemda dari sisi supply antara lain dapat berupa (i) pemberian kemudahan dalam perizinan, (ii) penyediaan PSU, (iii) perintisan (penyediaan) land banking, dan (iv) penetapan zonasi untuk rumah sejahtera.
Melalui peran aktif pemda dari sisi supply ini diharapkan dapat mendorong keterlibatan pengembang secara lebih masif dan dapat menekan harga rumah bagi MBR. Sedangkan dari sisi demand, pemda dapat menyediakan anggaran (APBD) untuk bantuan sebagian pembiayaan perumahan bagi MBR sebagai pendamping bantuan pembiayaan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Dari sisi demand, sebenarnya skim KPR FLPP cukup ringan bagi MBR. Skim KPR FLPP adalah suku bunga tetap (flat) sebesar 5%, uang muka sebesar 1%-15% dari nilai KPR, dan jangka waktu cicilan selama 20 tahun. Pemerintah pusat juga memberikan bantuan subsidi uang muka (BSUM) bagi MBR.
Namun, karena harga rumah (pada umumnya rumah susun/rusun) di perkotaan lebih mahal, baik unsur cicilan maupun uang muka masih dirasakan memberatkan bagi MBR. Nah, di sinilah keterlibatan dukungan pembiayaan pemda yang sebenarnya diharapkan dari pemerintah pusat.
Sebagai contoh, kalau misalnya setiap pemda terutama di perkotaan mengalokasikan APBD-nya sebagai “FLPP daerah” dan/atau BSUM tambahan, tentu ini akan membantu meringankan harga rumah dan cicilan, termasuk dapat pula mengurangi uang muka hingga nol rupiah. Sinergi seperti ini tentu akan sangat membantu pemerintah pusat dalam rangka menyukseskan penyediaan rumah bagi MBR, terutama di perkotaan.
Kelembagaan Perumahan Rakyat di daerah
Selain masalah supply dan demand perumahan bagi MBR, keberadaan kelembagaan perumahan rakyat di tingkat daerah juga penting. Ini terutama dalam menjaga agar kebijakan penyediaan rumah bagi MBR tepat sasaran.
Jangan sampai misalnya pemerintah menyubsidi kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi dan mampu membeli rumah secara komersial. Termasuk pula, jangan sampai rumah bersubsidi kemudian berpindah tangan secara bebas dan diperjualbelikan secara komersial.
Faktanya, di Jakarta misalnya rusun yang semula dibangun untuk kelompok MBR kini sudah banyak yang beralih kepemilikannya ke orang-orang yang tidak layak menerima subsidi.
Saya mengusulkan agar kelembagaan perumahan rakyat juga perlu dipersiapkan oleh pemda. Di Singapura misalnya terdapat Housing & Development Board (HDB) yang memiliki peran di bidang penyediaan perumahan, terutama ketika pada saat awal-awal HDB dibentuk fokusnya adalah pembangunan perumahan murah (low cost housing).
HDB tidak hanya fokus di pembangunan atau pengadaan, tetapi juga memiliki peran sebagai pengelola perumahan masyarakat. Misalnya, bila ada warga yang ingin menjual rumahnya karena pertimbangan sudah tidak layak lagi, HDB yang akan menjadi pembeli siaganya (standby buyer). Dengan konsep seperti ini, penghuni dimudahkan dalam melakukan mutasi dan pemerintah pun tetap dapat menjaga sisi supply rumah bersubsidi.
Pada 2009 sebenarnya pemerintah pusat telah memiliki rencana membentuk lembaga semacam HDB-nya Singapura. Waktu itu konsep yang muncul adalah National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC) dengan Perumnas yang menjadi cikal bakalnya.
Sayangnya, hingga kini belum berhasil diciptakan. Di tingkat pemda sebenarnya lembaga semisal HDB-nya Singapura juga dapat dibentuk dengan peran dan fungsi yang sama. Misalnya, dibentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Perumahan.
Fungsi BLUD Perumahan ini adalah (i) mengadakan perumahan rakyat bagi MBR; (ii) menjalin kerja sama dengan institusi lain seperti perbankan, lembaga pembiayaan, pengembang, perusahaan penjaminan dan asuransi untuk asuransi perumahan; dan (iii) menjadi pembeli bagi rumah-rumah yang sebelumnya diadakan oleh pemda oleh pemiliknya hendak dijual.
Seiring dengan peningkatan taraf hidup dan bertambahnya jumlah anggota keluarga, penghuni rumah bersubsidi biasanya merasa rumahnya sudah tidak layak. Kebutuhan tempat tinggal yang lebih baik menjadi alasan untuk pindah.
Keberadaan BLUD ini akan memudahkan pemilik rumah yang ingin menjual rumahnya tersebut. Keberadaan BLUD ini juga akan menjaga agar rumah bersubsidi tidak berpindah tangan ke pihak yang tidak layak memiliki rumah bersubsidi sehingga pemda dapat menjaga stock rumah bersubsidi.
Belajar dari pengalaman krisis subprime mortgage (KPR murah bagi kelompok MBR) di Amerika Serikat (AS), langkah-langkah mitigasi risiko memang perlu disiapkan. Meski demikian, juga tidak sepenuhnya tepat bila kebijakan pengadaan rumah murah bagi MBR dikaitkan dengan kekhawatiran terulangnya krisis subprime mortgage di AS.
Krisis subprime mortgage di AS lebih banyak disebabkan oleh spekulasi transaksi derivatif berbasis subprime mortgage dan lemahnya kontrol dalam pengendalian kredit. Sementara itu, kebijakan otoritas moneter dan perbankan kita dalam pengendalian kredit dan mitigasi risiko telah demikian ketat.
Pemerintah sendiri telah menyediakan instrumen penjaminannya untuk mengurangi risiko terjadi kredit bermasalah KPR bersubsidi. Keberadaan BLUD Perumahan, bila dibentuk juga dapat menjadi instrumen mengurangi risiko kredit.
Sepertinya saat ini adalah momentum bagi pemerintah (pusat dan daerah) untuk mendorong kembali percepatan pembangunan perumahan bagi MBR. Terlebih, isu ini sedang bergulir dan menjadi perhatian yang serius oleh calon-calon pemimpin daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Semoga saja dengan menggelindingnya isu perumahan rakyat ini betul-betul menjadi perhatian dan komitmen tidak sekadar slogan politik.
(poe)