Farewell Tax Amnesty

Senin, 13 Maret 2017 - 07:55 WIB
Farewell Tax Amnesty
Farewell Tax Amnesty
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

DETIK-detik penutupan program pengampunan pajak (tax amnesty) semakin dekat di pelupuk mata. Sesuai rencana semula, akhir Maret ini program secara resmi berakhir.

Jadi masyarakat hanya memiliki memiliki sisa waktu kurang dari tiga minggu untuk memanfaatkan momentum kelonggaran fiskal dari pemerintah. Kita tentu berharap masa-masa akhir pemberlakuannya akan ditutup dengan rentetan hasil gemilang.

Posisi hasil sementara penerimaan belum juga menunjukkan gebrakan berarti setelah tahap pertama berakhir. Di tahap kedua dan ketiga nyaris tidak ada tambahan dana signifikan.

Dari tiga target utama penerimaan tax amnesty yang terdiri atas dana tebusan, dana repatriasi, dan deklarasi harta, tingkat realisasi yang dapat dikatakan paling aman hanya berasal dari target deklarasi harta.

Sebagaimana dilaporkan Ditjen Pajak selama delapan bulan program telah berjalan, dari total target deklarasi harta sebanyak Rp4.000 triliun, total harta yang dideklarasikan sudah tercatat sebesar Rp 4.481 triliun (termasuk repatriasi).

Sementara realisasi dana tebusan baru mencapai Rp105 triliun (63,64%). Jika dipangkas dengan perolehan pada tahap pertama, pertambahan hasil pada tahap kedua dan realisasi sementara pada tahap ketiga baru mencapai sekitar Rp12 triliun.

Padahal target yang dicanangkan pemerintah masih jauh lebih tinggi di atasnya, tepatnya Rp165 triliun. Sedangkan untuk penerimaan dana repatriasi lebih membuat nelangsa pemerintah karena dari target Rp1.000 triliun, baru terpenuhi Rp145 triliun (14,5%).

Oleh karena itu pemerintah harus memantau ulang kebijakan apa saja yang selama ini betul-betul efektif memengaruhi hasil penerimaan. Beberapa segmen utama seperti pengusaha kakap sudah digempur habis-habisan pada tahap pertama.

Jadi yang tersisa mungkin tinggal beberapa gelintir pengusaha kakap yang masih “lolos”, ditambah beberapa profesi potensial dan puluhan ribu pengusaha UMKM yang memang belum terlalu banyak digarap.

Pendekatan modal sosial yang pada periode pertama menjadi senjata paling efektif, sebetulnya sudah sempat digencarkan lagi pada periode-periode berikutnya. Proses pendekatannya dimulai dari tahap sosialisasi berkala bahkan hingga melakukan pendekatan persuasif ke pucuk-pucuk pimpinan kelompok wajib pajak (WP) potensial.

Namun mengapa hasilnya masih sangat timpang? Inilah yang perlu ditelusuri. Alasan sudah begitu banyaknya objek pajak yang tereksplorasi pada tahap pertama tentu terdengar tidak cukup koheren,mengingat basis pajak yang tersisa masih jauh lebih banyak dibandingkan jumlah sementara partisipan tax amnesty.

Menteri Keuangan menghitung jumlah peserta tax amnesty hingga akhir Februari kemarin baru mencapai sekitar 683.882 WP. Angka ini jauh di bawah total WP terdaftar yang diperkirakan berada di kisaran 32,8 juta WP. Sementara WP yang memiliki kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan sebanyak 29,3 juta WP.

Dari total WP yang wajib melaporkan SPT, itupun baru sekitar 12,6 juta WP yang melaporkannya dengan benar. Jadi sebetulnya masih tersedia sekitar 16 juta WP yang tersisa dan cukup prospektif untuk menjadi peserta tax amnesty.

Potensi peningkatan jumlah peserta tax amnesty akan jauh lebih besar lagi jika dirangkum dengan objek pajak lainnya yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kalau didasarkan pada aturan penghasilan Rp4,5 juta per bulan sebagai batas maksimum Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), seharusnya jumlah penduduk yang memiliki NPWP sekitar 50-60 juta penduduk.

Sementara selama tax amnesty berjalan, pertumbuhan jumlah NPWP baru tercapai sekitar 27.000. Jadi pemerintah (khususnya Ditjen Pajak) masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengejar sisa peningkatan jumlah NPWP baru berkisar antara 17-28 juta.

Selain karena belum cukup optimalnya penarikan partisipasi WP, ada pula penyebab-penyebab lainnya yang sifatnya masih layak untuk diduga-duga. Pertama, penyebabnya bisa jadi lantaran data yang dikuasai pemerintah belum cukup valid dengan kondisi riilnya.

Hal ini mulai terungkap dari lolosnya segelintir WP besar (prominen) atas kewajiban pajaknya dalam beberapa tahun terakhir. Sesuatu yang paling fenomenal tentu yang terkait dengan beberapa nama orang-orang terkaya di Indonesia (versi Forbes), yang ternyata belum memiliki NPWP.

Jika tidak diatasi dengan langkah jitu, kekhawatiran berikutnya kejadian ini akan menular kepada WP prominen lainnya. Apalagi dalih yang digunakan 5 WP prominen tersebut karena sudah berpindah kewarganegaraan.

Apakah nantinya “strategi” ini tidak akan diikuti oleh WP prominen lainnya? Kemungkinannya masih sangat terbuka lebar.

Kedua, rendahnya realisasi target bisa juga dikaitkan karena pemerintah yang dianggap kurang kredibel. Tentu pandangan ini masih argumentatif, namun ada beberapa indikasi yang sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

Pemerintah sudah sangat tampak ngos-ngosan mengejar target yang dicanangkan sendiri. Artinya di balik proses perencanaan yang bombastis, pemerintah justru cenderung seperti tidak mampu mengenali dan mengelola kapasitas yang dimiliki.

Fatalnya lagi fenomena ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Penyesuaian (perubahan) target karena realisasi kinerja yang seringkali buntu di tengah jalan seakan-akan terus menjadi sebuah tradisi.

Entah apakah ini memang merupakan strategi gimmick yang disengaja, ataukah karena sudah bagian dari risiko sebuah proses perencanaan. Ketika pemerintah sedang membangun kredibilitas, seyogyanya kepercayaan publik harus dikompensasi dengan hasil positif dari setiap kebijakan yang telah dilaksanakan.

Proyeksi perekonomian pemerintah seharusnya mampu menjadi soko guru bagi sektor swasta untuk menentukan strategi-strategi di lingkungan mikronya.

Hasil penerimaan dana repatriasi juga dapat menjadi tolok ukur kredibilitas pemerintah. Dari total harta WNI di luar negeri yang terlapor selama program tax amnesty sebesar Rp1.162 triliun, sebanyak Rp1.017 triliun atau 87,5% di antaranya hanya sekadar dideklarasikan (tanpa direpatriasi).

Artinya sebagian besar WNI cenderung merasa lebih“aman” dengan pilihan hartanya tetap berada di luar negeri, ketimbang iming-iming investasi di Indonesia melalui produk-produk repatriasi. Sesuatu yang teramat ganjil inilah yang kemudian perlu ditelusuri.

Apakah memang daya saing investasi kita sedang dalam bargaining position yang lebih rendah? Ataukah negara lain sedang menciptakan barrier untuk menahan laju repatriasi?

Oleh karena itu, kita perlu mawas diri seraya berusaha memperbaiki celah-celah kebijakan yang ada. Sebelumnya kita harus bersepakat bahwa setiap kebijakan pemerintah seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang minimal direpresentasikan kenaikan tingkat pendapatan dan daya beli/konsumsi rumah tangga.

Kedua faktor inilah yang kemudian diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi serta tentunya dapat bermuara pada perluasan basis pajak.

Pertama, pemerintah perlu melanjutkan gerakan sosialisasi dan pendekatan persuasif, terutama pada WP prominen yang tersisa, sembilan kelompok profesi yang dianggap berpenghasilan tinggi, dan puluhan juta kalangan UMKM di sisa waktu yang ada.

Tingkat partisipasi sembilan profesi yang terus dikejar semenjak periode kedua berjalan masih belum optimal. Hanya sekitar 5% analis dan pengacara yang ikut program pengampunan pajak.

Kelompok yang paling patuh mengikuti program ini adalah konsultan pajak, sekitar 42%.Khusus untuk kategori UMKM, mengingat jumlahnya yang sangat banyak Ditjen Pajak dapat menggandeng pemerintah daerah dan asosiasi UMKM untuk mengefektifkan proses persuasif.

Kedua, untuk kepentingan jangka menengah-panjang dan sekaligus menyambut hasil akhir tax amnesty, kita perlu melakukan penyegaran usaha yang sekiranya dapat menghasilkan semangat yang baru. Perbaikan kinerja institusi perpajakan dan peningkatan kesadaran masyarakat terkait perpajakan menjadi titik tolak yang paling mendesak.

Apalagi untuk tahun ini hampir dapat dipastikan akan terjadi perluasan basis pajak sebagai impact dari tax amnesty. Terkait dengan persoalan adanya tax avoidance dan tax evasion, kita tidak bisa membatasi perspektif bahwa sumbernya hanya berasal dari satu sisi (masyarakat) saja.

Melainkan juga dapat disebabkan karena akses kemudahan dan akuntabilitas pengelolaan yang (mungkin) masih dirasa sangat terbatas. Proses pengelolaan oleh Ditjen Pajak perlu mulai meyakinkan realisasi ide reformasi pajak, mulai dari perbaikan infrastruktur layanan pembayaran, perbaikan SDM, transparansi penggunaan, hingga menekan potensi pelanggaran etika perpajakan.

Ketiga, mekanisme reward and punishment harus clear dan transparan. Rekam jejak WP pribadi maupun badan harus terus dipantau untuk menanggulangi kecurangan-kecurangan serupa. Apalagi pemerintah diuntungkan dengan pemberlakuan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang secara efektif dimulai tahun depan.

Mekanisme ini ikut membantu pemerintah dalam pengawasan praktik transfer pricing yang terkadang disalahgunakan WP untuk mengakali besaran pajak. Nah yang perlu digarisbawahi di sini, sejauh mana pemerintah akan mampu bertindak tegas dan adil dalam penerapannya. Kalau sampai pemerintah lengah kembali, program tax amnesty dapat dikatakan akan berjalan sia-sia.

Keempat, perlunya kesinambungan kebijakan dari sisi fiskal dan moneter. Contoh kasus yang terdekat bisa kita lihat dari mengendapnya sebagian besar dana repatriasi sebagai dana deposito perbankan.

Posisi dana yang masih menganggur di kantong perbankan menjadi sebuah ironi di tengah landainya capaian pertumbuhan ekonomi, konsumsi, dan penerimaan perpajakan. Apalagi sektor-sektor potensial seperti pertanian, properti, dan industri justru sedang membutuhkan perbaikan akses permodalan.

Situasinya memang tidak cukup kondusif, namun pemerintah dapat berbagi tugas dengan otoritas moneter untuk mengeliminasi berbagai permasalahan secara sekaligus. Misalnya untuk menggairahkan kembali kinerja sektor kredit, BI dapat memberikan insentif berupa pemotongan tingkat suku bunga acuan.

Kemudian OJK dapat membantu dengan melakukan mitigasi dan pengawasan terhadap perilaku pasar yang cenderung destruktif. Sementara pemerintah bisa mendukung dengan memberikan kelonggaran unsur regulasi dan birokrasi, melakukan pelatihan SDM untuk tenaga kerja di sektor riil, serta menetapkan subsidi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8470 seconds (0.1#10.140)