Membaca Fenomena Gerakan Islam
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
SUKA tak suka, gerakan Islam kini menjadi salah satu fenomena politik yang paling banyak diperbincangkan. Mulai dari konsistensi aksinya mengawal fatwa MUI soal kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kemampuan memobilisasi massa hingga melawan kekuasaan politik yang kerap diskriminatif.
Akibat sepak terjangnya itu, gerakan Islam yang dipelopori ormas seperti FPI dan organisasi sejenisnya menjelma sebagai gerakan fenomenal yang berani tampil di panggung depan (front stage) melawan segala bentuk ketidakadilan.
Dulu gerakan ormas Islam ini tak banyak mendapat simpati, hanya sinisme yang silih berganti datang menghampiri. Namun jarum jam sejarah seakan berbalik arah menahbiskan mereka layaknya seorang “pahlawan” yang berdiri tegak menantang kekuasaan.
Satu-satunya yang menjadi “cacat bawaan” gerakan Islam ini ialah soal potret keberagamaan yang ditengarai eksklusif, beraliran keras, dan sering bertindak anarkistis sebagai pilihan melakukan gerakan sosial politik keagamaan.
Sebab itu tak jarang jika FPI maupun tokoh-tokohnya seperti Rizieq Sihab dan Bachtiar Nasir dituding sebagai sekumpulan orang dengan organisasi anarkistis dengan melegitimasi agama sebagai kekerasan. Gerakannya sering diidentikkan dengan budaya intoleran. Bahkan disudutkan sebagai gerakan yang berpotensi mengancam kebinekaan.
Memang di negara yang demokratis seperti Indonesia, ormas anarkistis sulit mendapatkan ruang simpati. Masyarakat lebih menerima gerakan sosial keagamaan dengan pola persuasi dalam menyampaikan “dakwah” politiknya. Terlebih lagi secara historis umat Islam Indonesia terbiasa menerima ajaran agama dengan cara damai.
Tentu saja kontroversi soal corak keberagamaan ormas yang memelopori gerakan Islam serta tokoh yang menyertainya bisa panjang dan tak berkesudahan.
Namun satu hal yang pasti, dalam konteks perlawanan terhadap kekuasaan yang tak adil, terutama soal kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok, gerakan politik kelompok Islam ini menemukan momentumnya. Ia mampu menyentuh alam bawah sadar masyarakat yang kian resah, mengapitalisasi agama sebagai sentimen dan bahasa perlawanan.
Dalam teorinya, gerakan sosial seperti yang dinakhodai FPI dan ormas sejenisnya terjadi lantaran adanya struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang dilihat sebagai celah melakukan perubahan.
Frasa Doug McAdam, John D McCarthy, dan Mayer N Zald dalam Comparative Perspective on Social Movements (1996) menuturkan, gerakan sosial muncul dalam ruang politik yang lebih terbuka, praktik dan norma demokrasi yang belum cukup optimal, serta lemahnya penegakan hukum.
Gerakan sosial juga muncul akibat pola hubungan antarindividu yang terorganisasi karena satu ikatan solidaritas untuk memobilisasi sumber daya seperti orang, dana, serta simbol (mobilizing structure) untuk merealisasi kepentingan politik tertentu.
Struktur kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya juga memerlukan pembingkaian (framing) isu yang memadai, yakni semacam sentimen tertentu yang mampu menumbuhkan rasa solidaritas untuk menggerakkan radikalisasi massa sehingga political opportunity dapat dimanfaatkan dengan baik.
Gerakan Islam muncul karena adanya ruang gerak yang begitu bebas untuk menyampaikan pesan perlawanan akibat supremasi hukum yang tebang pilih. Gerakan ini juga mampu membingkai sentimen agama sebagai basis solidaritas perjuangan serta memobilisasi sumber daya untuk melakukan resistensi politik.
Faktor Kemunculan
Jika dibaca secara umum, ada beberapa faktor kenapa gerakan Islam menjadi gerakan politik fenomenal dewasa ini. Pertama, kosongnya panggung perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah.
Sepuluh tahun belakangan, konfrontasi terhadap kekuasaan nyaris punah. Suara-suara kritis tak lagi terdengar, yang ada justru semua pihak merasa berada di zona nyaman.
Kelompok-kelompok aktivis Cipayung, misalnya, kiprah politiknya senyap ditelan bumi. Begitu pun eksistensi gerakan kritis dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) terancam punah di tengah situasi yang serbagaduh. Mereka absen di setiap isu sensitif kebangsaan seperti penistaan agama, kenaikan harga, dan seterusnya.
Apalagi setelah Jokowi menjadi presiden, banyak kelompok aktivis prodemokrasi yang menikmati kue kekuasaan. Praktis, nyanyian perlawanan kalangan aktivis tak lagi terdengar. Pada titik inilah kemudian panggung perlawanan yang dibentangkan gerakan Islam bersemai indah di lubuk sanubari masyarakat.
Kedua, lemahnya oposisi di parlemen berimplikasi pada check and balances yang berjalan tak seimbang. Suara-suara lantang terhadap kekuasaan perlahan sirna ditelan dominasi mayoritas penyokong pemerintah.
Sejatinya, persoalan kebangsaan seperti kasus makar, isu intoleransi hingga kasus penistaan agama yang mengancam kebinekaan bisa diselesaikan secara bijak jika kontrol di parlemen berjalan maksimal.
Ketiga, mayoritas yang diam (silent majority). Diamnya kalangan mayoritas berimplikasi pada munculnya “kelompok intoleran” yang merebut panggung perlawanan.
Akibatnya tokoh gerakan Islam seperti Habib Rizieq dianggap sebagai sosok pahlawan. Nyaris tak ada hari tanpa tausiah politik imam besar FPI ini yang tersebar secara berantai dan masif lewat media sosial.
Keempat, aktivis gerakan Islam mulai melek media sosial. Dulu mungkin tak banyak yang percaya media sosial bisa berdampak besar dalam politik. Hanya tim Jokowi dan Ahok pada Pilkada 2012 yang serius menggarap kedigdayaan media sosial sebagai alat propaganda politik yang amat ampuh.
Puncaknya adalah Pilpres 2014 menjadi bukti sahih efek dahsyat media sosial dalam politik mengantarkan Jokowi-JK sebagai pemenang pemilihan presiden.
Setelah itu secara perlahan metode kampanye politik di media sosial mulai dipelajari semua kelompok. Saat ini semua partai politik, organisasi massa, organisasi kepemudaan, dan sebagainya memiliki badan yang secara khusus ditugasi menggarap media sosial.
Tak ketinggalan ormas Islam seperti FPI juga serius menggarap media sosial. Mereka berselancar menikmati indahnya “berdakwah” melalui media sosial baru (new social media) ini. Mereka “menyekolahkan” kader-kader terbaiknya untuk menjadi ilmuwan media sosial yang andal.
Oleh karena itu, tak mengherankan jika aksi bela Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016 menjadi ajang pembuktian (moment of the truth) bagaimana media sosial dengan mudah memobilisasi jutaan umat melakukan demonstrasi.
Empat faktor di atas inilah yang membuat gerakan Islam menjadi salah satu fenomena politik mutakhir yang paling banyak diperbincangkan. Betul bahwa tokoh-tokoh gerakan Islam tersebut kontroversial, bahkan dalam banyak hal sangat ekstrem.
Namun apa yang mereka lakukan di tengah absennya kelompok kritis membuat sosoknya mulai diminati banyak kalangan. Sebab tak ada figur alternatif yang mampu menyuarakan aspirasi umat yang termarginalkan.
Tak ada organisasi kritis yang bisa diandalkan menyampaikan segenap luka dan keluh kesah umat yang sedang menjerit. Pada titik inilah umat menitipkan masa depan keadilan pada gerakan Islam yang “puritan” ini.
Dosen Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
SUKA tak suka, gerakan Islam kini menjadi salah satu fenomena politik yang paling banyak diperbincangkan. Mulai dari konsistensi aksinya mengawal fatwa MUI soal kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kemampuan memobilisasi massa hingga melawan kekuasaan politik yang kerap diskriminatif.
Akibat sepak terjangnya itu, gerakan Islam yang dipelopori ormas seperti FPI dan organisasi sejenisnya menjelma sebagai gerakan fenomenal yang berani tampil di panggung depan (front stage) melawan segala bentuk ketidakadilan.
Dulu gerakan ormas Islam ini tak banyak mendapat simpati, hanya sinisme yang silih berganti datang menghampiri. Namun jarum jam sejarah seakan berbalik arah menahbiskan mereka layaknya seorang “pahlawan” yang berdiri tegak menantang kekuasaan.
Satu-satunya yang menjadi “cacat bawaan” gerakan Islam ini ialah soal potret keberagamaan yang ditengarai eksklusif, beraliran keras, dan sering bertindak anarkistis sebagai pilihan melakukan gerakan sosial politik keagamaan.
Sebab itu tak jarang jika FPI maupun tokoh-tokohnya seperti Rizieq Sihab dan Bachtiar Nasir dituding sebagai sekumpulan orang dengan organisasi anarkistis dengan melegitimasi agama sebagai kekerasan. Gerakannya sering diidentikkan dengan budaya intoleran. Bahkan disudutkan sebagai gerakan yang berpotensi mengancam kebinekaan.
Memang di negara yang demokratis seperti Indonesia, ormas anarkistis sulit mendapatkan ruang simpati. Masyarakat lebih menerima gerakan sosial keagamaan dengan pola persuasi dalam menyampaikan “dakwah” politiknya. Terlebih lagi secara historis umat Islam Indonesia terbiasa menerima ajaran agama dengan cara damai.
Tentu saja kontroversi soal corak keberagamaan ormas yang memelopori gerakan Islam serta tokoh yang menyertainya bisa panjang dan tak berkesudahan.
Namun satu hal yang pasti, dalam konteks perlawanan terhadap kekuasaan yang tak adil, terutama soal kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok, gerakan politik kelompok Islam ini menemukan momentumnya. Ia mampu menyentuh alam bawah sadar masyarakat yang kian resah, mengapitalisasi agama sebagai sentimen dan bahasa perlawanan.
Dalam teorinya, gerakan sosial seperti yang dinakhodai FPI dan ormas sejenisnya terjadi lantaran adanya struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang dilihat sebagai celah melakukan perubahan.
Frasa Doug McAdam, John D McCarthy, dan Mayer N Zald dalam Comparative Perspective on Social Movements (1996) menuturkan, gerakan sosial muncul dalam ruang politik yang lebih terbuka, praktik dan norma demokrasi yang belum cukup optimal, serta lemahnya penegakan hukum.
Gerakan sosial juga muncul akibat pola hubungan antarindividu yang terorganisasi karena satu ikatan solidaritas untuk memobilisasi sumber daya seperti orang, dana, serta simbol (mobilizing structure) untuk merealisasi kepentingan politik tertentu.
Struktur kesempatan politik dan mobilisasi sumber daya juga memerlukan pembingkaian (framing) isu yang memadai, yakni semacam sentimen tertentu yang mampu menumbuhkan rasa solidaritas untuk menggerakkan radikalisasi massa sehingga political opportunity dapat dimanfaatkan dengan baik.
Gerakan Islam muncul karena adanya ruang gerak yang begitu bebas untuk menyampaikan pesan perlawanan akibat supremasi hukum yang tebang pilih. Gerakan ini juga mampu membingkai sentimen agama sebagai basis solidaritas perjuangan serta memobilisasi sumber daya untuk melakukan resistensi politik.
Faktor Kemunculan
Jika dibaca secara umum, ada beberapa faktor kenapa gerakan Islam menjadi gerakan politik fenomenal dewasa ini. Pertama, kosongnya panggung perlawanan terhadap kekuasaan pemerintah.
Sepuluh tahun belakangan, konfrontasi terhadap kekuasaan nyaris punah. Suara-suara kritis tak lagi terdengar, yang ada justru semua pihak merasa berada di zona nyaman.
Kelompok-kelompok aktivis Cipayung, misalnya, kiprah politiknya senyap ditelan bumi. Begitu pun eksistensi gerakan kritis dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) terancam punah di tengah situasi yang serbagaduh. Mereka absen di setiap isu sensitif kebangsaan seperti penistaan agama, kenaikan harga, dan seterusnya.
Apalagi setelah Jokowi menjadi presiden, banyak kelompok aktivis prodemokrasi yang menikmati kue kekuasaan. Praktis, nyanyian perlawanan kalangan aktivis tak lagi terdengar. Pada titik inilah kemudian panggung perlawanan yang dibentangkan gerakan Islam bersemai indah di lubuk sanubari masyarakat.
Kedua, lemahnya oposisi di parlemen berimplikasi pada check and balances yang berjalan tak seimbang. Suara-suara lantang terhadap kekuasaan perlahan sirna ditelan dominasi mayoritas penyokong pemerintah.
Sejatinya, persoalan kebangsaan seperti kasus makar, isu intoleransi hingga kasus penistaan agama yang mengancam kebinekaan bisa diselesaikan secara bijak jika kontrol di parlemen berjalan maksimal.
Ketiga, mayoritas yang diam (silent majority). Diamnya kalangan mayoritas berimplikasi pada munculnya “kelompok intoleran” yang merebut panggung perlawanan.
Akibatnya tokoh gerakan Islam seperti Habib Rizieq dianggap sebagai sosok pahlawan. Nyaris tak ada hari tanpa tausiah politik imam besar FPI ini yang tersebar secara berantai dan masif lewat media sosial.
Keempat, aktivis gerakan Islam mulai melek media sosial. Dulu mungkin tak banyak yang percaya media sosial bisa berdampak besar dalam politik. Hanya tim Jokowi dan Ahok pada Pilkada 2012 yang serius menggarap kedigdayaan media sosial sebagai alat propaganda politik yang amat ampuh.
Puncaknya adalah Pilpres 2014 menjadi bukti sahih efek dahsyat media sosial dalam politik mengantarkan Jokowi-JK sebagai pemenang pemilihan presiden.
Setelah itu secara perlahan metode kampanye politik di media sosial mulai dipelajari semua kelompok. Saat ini semua partai politik, organisasi massa, organisasi kepemudaan, dan sebagainya memiliki badan yang secara khusus ditugasi menggarap media sosial.
Tak ketinggalan ormas Islam seperti FPI juga serius menggarap media sosial. Mereka berselancar menikmati indahnya “berdakwah” melalui media sosial baru (new social media) ini. Mereka “menyekolahkan” kader-kader terbaiknya untuk menjadi ilmuwan media sosial yang andal.
Oleh karena itu, tak mengherankan jika aksi bela Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016 menjadi ajang pembuktian (moment of the truth) bagaimana media sosial dengan mudah memobilisasi jutaan umat melakukan demonstrasi.
Empat faktor di atas inilah yang membuat gerakan Islam menjadi salah satu fenomena politik mutakhir yang paling banyak diperbincangkan. Betul bahwa tokoh-tokoh gerakan Islam tersebut kontroversial, bahkan dalam banyak hal sangat ekstrem.
Namun apa yang mereka lakukan di tengah absennya kelompok kritis membuat sosoknya mulai diminati banyak kalangan. Sebab tak ada figur alternatif yang mampu menyuarakan aspirasi umat yang termarginalkan.
Tak ada organisasi kritis yang bisa diandalkan menyampaikan segenap luka dan keluh kesah umat yang sedang menjerit. Pada titik inilah umat menitipkan masa depan keadilan pada gerakan Islam yang “puritan” ini.
(poe)