Sampah

Jum'at, 24 Februari 2017 - 08:00 WIB
Sampah
Sampah
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

ADA kesamaan antara tubuh, rumah, dan kota. Kesemuanya tak bisa lepas dari kotoran, sejak dari debu sampai sampah. Sekalipun kita rutin mandi dua kali sehari, tetap saja terdapat kotoran yang melekat. Belum lagi sampah-sampah yang melekat pada saluran makanan dan saluran darah di dalam pencernaan tubuh.

Orang yang terserang jantung biasanya saluran darahnya menyempit tertutup oleh kolesterol. Semacam lemak sisa-sisa makanan yang menempel pada dinding vaskuler.

Akibatnya pembagian darah tidak merata karena tekanan pompa jantung melemah dan saluran tersumbat. Akibat lebih lanjut, seseorang bisa terkena stroke.

Begitu pun kondisi rumah, kota, dan masyarakat, selalu saja ada sampah yang membuat saluran mampat sehingga menimbulkan kerisihan dan penyakit. Bangunan rumah yang setiap hari disapu dan disedot dengan menggunakan mesin modern tetap saja menyisakan kotoran di sudut-sudut ruang, di bawah lipatan karpet, dan saluran air.

Yang paling disadari adalah kotoran di WC sehingga memerlukan ekstra-perhatian agar tidak menimbulkan bau ke mana-mana. Lebih parah lagi jika penghuninya jorok dan malas membersihkan rumah.

Soal sampah ini lebih tak terelakkan lagi dalam sebuah kota besar semacam Jakarta. Setiap hari memunculkan ribuan ton sampah sehingga menjadi problem serius ke mana mesti dibuang atau bagaimana menghancurkannya agar tidak memperburuk pemandangan dan menjadi sumber penyakit.

Bagi negara maju, dengan teknologi modern sampah bisa diolah menjadi pupuk pertanian. Tapi di Jakarta, sampah sampai hari ini masih dianggap sebagai beban dan masalah.

Lalu bagaimana dengan ungkapan sampah masyarakat? Sebagaimana dalam tubuh, rumah, dan kota, semakin banyak penduduk pasti semakin bertambah jumlah orang yang dianggap sebagai sumber masalah.

Mereka diberi label sebagai sampah masyarakat. Label ini memang terasa keras dan pedas. Tapi begitulah keadaannya. Misalnya saja komunitas pengedar dan pengguna narkoba.

Mereka jadi beban dan sumber penyakit sosial. Atau para penjahat yang sudah parah oleh masyarakat dicap sebagai sampah.

Di samping sampah, ada lagi koruptor yang disebut sebagai ulat, rayap atau tikus yang menggerogoti sendi-sendi birokrasi pemerintah yang mengakibatkan rapuh, yang meskipun dari luar terlihat mulus tak ada masalah, tiba-tiba bisa roboh.

Para koruptor itu lebih busuk daripada sampah karena memiliki daya rusak yang kreatif dan sangat membahayakan negara dan pemerintah. Namun, bagaimanapun, yang namanya sampah dan sejenisnya, jika itu dianalogikan dengan seseorang, tetaplah merupakan sumber penyakit yang mesti dibersihkan dan dibasmi.

Bayangkan apa jadinya kalau ada politisi atau pejabat sampah? Kalaupun bukan sampah, mungkin yang lebih tepat adalah benalu.

Jadi pada korps atau komunitas mana pun akan ditemukan orang yang dianggap menyimpang, keberadaannya tidak dikehendaki karena membuat kotor kelompoknya. Kapan pun serta di mana pun akan tetap ada sebagaimana sampah atau kotoran akan selalu ditemukan dalam rumah kita.

Bayangkan saja, sekalipun tubuh ini kita bungkus dengan pakaian mahal dan disemprot minyak wangi, di dalamnya pasti terdapat kotoran dan benih penyakit. Semakin tua usia seseorang, semakin banyak sampah sisa-sisa makanan yang menempel pada saluran darah dan pencernaan.

Kalau sampah itu berupa benda, teknologi modern bisa mengubahnya. Tapi jika kata sampah itu melekat pada kualitas seseorang, tidak mudah dan tidak murah biaya untuk membersihkannya. Meski begitu, karena sampah itu tidak mungkin dibasmi, karena telah menjadi bagian integral dari keberadaan kita, kita sikapi dengan damai saja.

Hitung-hitung memberi peluang pekerjaan dan profesi manajemen sampah. Juga mendorong munculnya kreativitas baru bagaimana menangani sampah, termasuk sampah masyarakat.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0913 seconds (0.1#10.140)