Sertifikasi atau Ordonantie
A
A
A
Achmad Jainuri
Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
DUA kata judul di atas apabila dirangkai menjadi kalimat tanya akan muncul pertanyaan perbandingan: apa persamaan dan perbedaan sertifikasi dan ordonantie. Persamaan keduanya merupakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah.
Sertifikasi dikeluarkan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, sedangkan ordonantie oleh pemerintah Kolonial Belanda. Yang pertama terkait dengan kepemilikan kualifikasi kompetensi yang berimplikasi penghargaan bagi yang memiliki sertifikat.
Oleh karena itu, pemerintah berkepentingan memfasilitasi orang ataupun lembaga untuk memperoleh sertifikasi ini dalam rangka menciptakan tenaga atau tindakan yang profesional, seperti sertifikasi guru, dosen, halal, sampai sertifikasi pengadaan barang dan jasa.
Sementara yang kedua bermakna pada pembatasan dan kontrol terhadap pendapat dan prilaku yang dinilai membahayakan masyarakat maupun negara. Pemerintah Kolonial Belanda pernah memberlakukan Wilden Scholen Ordonantie (Peraturan Sekolah Liar), Koeli Ordonantie (Peraturan Buruh) untuk melindungi majikan (pemilik modal) kalau terjadi sengketa dengan buruh, dan Ordonantie mubalig untuk membatasi pengaruh mubalig yang dinilai menghasut rakyat untuk melawan pemerintah Kolonial Belanda.
Pertanyaannya, apakah Sertifikasi Khatib Jumat itu dimaksudkan untuk mencetak khatib Jumat yang profesional dengan segala konsekuensi keprofesionalitasannya, atau bentuk lain dari upaya rezim untuk membatasi dan mengontrol umat muslim.
Sebagian masyarakat mengkhawatirkan program ini merupakan bentuk lain dari kontrol dan pembatasan terhadap kekuatan kritis yang ada di masyarakat, utamanya umat muslim. Alasannya, karena sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda, kekuatan kritis yang dinilai sangat membahayakan pemerintah kolonial adalah umat muslim.
Untuk membatasi gerak mereka, pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang disebut “Politik Islam Belanda”, yakni memberikan kebebasan terhadap praktik beribadah umat muslim, namun tidak pada aspek yang berkaitan dengan politik. Terhadap kecenderungan politik ini, pemerintah Kolonial melakukan kontrol yang sangat ketat, terutama kepada para mubalig.
Pernah suatu ketika seorang mubalig, dalam ceramahnya, menyebut sebuah kitab “Sabilul Mursyidin,” yang oleh aparat keamanan kata-kata itu dinilai mengajak perang sabil melawan Belanda. Oleh Christiaan Snouck Hurgronje (pencetus politik Islam Belanda), peristiwa ini dinilai berlebihan dalam menjalankan pengawasan karena ketidakpahaman aparat terhadap ajaran Islam.
Setelah masa kemerdekaan, kebijakan terhadap umat muslim ini dilestarikan dalam “Politik Islam Penguasa”. Pada masa Orde Lama, program ini muncul dalam Nasakom (nasional, agama, dan komunis), yang merangkul sebagian kelompok umat muslim ke dalam Nasakom, dan menyingkirkan kelompok muslim lain yang dinilainya sebagai “kepala batu”, karena tidak mendukung program ini.
Di era Orde Baru, pengebirian Politik Islam dilakukan dengan menghilangkan simbol-simbol Islam, memperlemah kekuatan politik umat melalui label-label negatif, stereotipe bahwa umat muslim itu sangat berbahaya apabila berbicara tentang politik kekuasaan.
Rekayasa dan pelabelan dilakukan terhadap bahaya Islam, seperti terus diungkitnya peristiwa DI/TII sampai dengan munculnya peristiwa Komando Jihad. Ada ketakutan yang berlebihan dari rezim Orde Baru terhadap potensi Islam dan umat muslim sebagai kekuatan politik di Indonesia.
Dalam The New Yorkers yang terbit Mei 1988, dua artikel secara berturut menyarankan para pelaku bisnis Amerika di Indonesia. Jika mereka ingin berhasil disarankan untuk mendekati dua kekuatan politik yang sama-sama berbaju “hijau”.
Yang pertama adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan yang kedua adalah umat muslim; keduanya dianggap sebagai the real political power di Indonesia.
Karena saat itu yang memegang kekuasaan adalah “hijau” yang pertama, kelompok inilah yang didekati. Sementara “hijau” yang kedua menjadi objek pelemahan karena potensi politik yang dimilikinya, dan itu berlangsung hingga sekarang.
Politically, umat muslim tidak pernah bisa menyatu menjadi sebuah “kekuatan”. Mereka ini suka berselisih karena alasan kepentingan sesaat, apalagi jika perselisihan dibungkus dengan ideologi.
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, isu radikalisme dan terorisme dimanfaatkan untuk memperlemah potensi politik umat muslim. Rezim penguasa ini juga pernah mewacanakan sertifikasi ulama. Namun, rencana itu dibatalkan karena reaksi masyarakat luas menentang kebijakan yang dinilai akan menjadi alat kontrol terhadap ulama.
Sertifikasi ini juga ditengarai untuk membatasi gerak dan pendapat para ulama atas kebebasan berpendapat yang selama ini dinikmatinya. Di antara alasan rezim penguasa merencanakan program itu adalah karena kebijakan yang sama juga dilaksanakan di beberapa negara muslim, seperti Malaysia dan Arab Saudi. Namun, pemerintah lupa bahwa di dua negara yang dimaksud agama masuk dalam struktur negara, artinya ada paham resmi agama yang dianut oleh negara.
Di Indonesia tidak dikenal paham resmi negara, negara menjunjung tinggi pluralisme total. Karena itu, negara tidak ikut campur urusan ibadah umat beragama. Jika ada pembatasan-pembatasan terhadap praktik keagamaan formal, tidak hanya bertentangan dengan Bhineka Tunggal Eka, tetapi juga dinilai sebagai melestarikan politik pelemahan terhadap umat beragama dari pemerintah.
Atas dasar pengalaman di atas itulah beberapa kalangan yang tidak setuju merasa khawatir praktik sertifikasi mubalig itu akan mengarah pada pembatasan dan kontrol terhadap Islam dan umat muslim. Indikasi kekhawatiran ini didukung oleh gencarnya rezim penguasa mengooptasi semua kekuatan untuk mendukung misi pemerintah.
Merangkul kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok yang lain, membatasi gerak suatu kelompok untuk menyuarakan aspirasi (411 dan 212), dan memberikan kelonggaran kelompok lain dalam melakukan hal serupa (412).
Kalau alasan diwacanakannya kebijakan ini karena tengara adanya indikasi khatib lupa menyampaikan nasihat yang semestinya (menteri agama), bertentangan dengan budaya setempat dan membawa budaya lain (dirjen Bimas Islam), maka sesungguhnya masyarakat sudah memiliki filter dengan tidak mengundang mubalig seperti ini di tempat masing-masing.
Mubalig yang seperti ini termasuk yang menjadi sasaran pembinaan Kementerian Agama, sebagai fasilitator, melalui penataran dan sejenisnya untuk menjadi lebih profesional.
Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
DUA kata judul di atas apabila dirangkai menjadi kalimat tanya akan muncul pertanyaan perbandingan: apa persamaan dan perbedaan sertifikasi dan ordonantie. Persamaan keduanya merupakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah.
Sertifikasi dikeluarkan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, sedangkan ordonantie oleh pemerintah Kolonial Belanda. Yang pertama terkait dengan kepemilikan kualifikasi kompetensi yang berimplikasi penghargaan bagi yang memiliki sertifikat.
Oleh karena itu, pemerintah berkepentingan memfasilitasi orang ataupun lembaga untuk memperoleh sertifikasi ini dalam rangka menciptakan tenaga atau tindakan yang profesional, seperti sertifikasi guru, dosen, halal, sampai sertifikasi pengadaan barang dan jasa.
Sementara yang kedua bermakna pada pembatasan dan kontrol terhadap pendapat dan prilaku yang dinilai membahayakan masyarakat maupun negara. Pemerintah Kolonial Belanda pernah memberlakukan Wilden Scholen Ordonantie (Peraturan Sekolah Liar), Koeli Ordonantie (Peraturan Buruh) untuk melindungi majikan (pemilik modal) kalau terjadi sengketa dengan buruh, dan Ordonantie mubalig untuk membatasi pengaruh mubalig yang dinilai menghasut rakyat untuk melawan pemerintah Kolonial Belanda.
Pertanyaannya, apakah Sertifikasi Khatib Jumat itu dimaksudkan untuk mencetak khatib Jumat yang profesional dengan segala konsekuensi keprofesionalitasannya, atau bentuk lain dari upaya rezim untuk membatasi dan mengontrol umat muslim.
Sebagian masyarakat mengkhawatirkan program ini merupakan bentuk lain dari kontrol dan pembatasan terhadap kekuatan kritis yang ada di masyarakat, utamanya umat muslim. Alasannya, karena sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda, kekuatan kritis yang dinilai sangat membahayakan pemerintah kolonial adalah umat muslim.
Untuk membatasi gerak mereka, pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang disebut “Politik Islam Belanda”, yakni memberikan kebebasan terhadap praktik beribadah umat muslim, namun tidak pada aspek yang berkaitan dengan politik. Terhadap kecenderungan politik ini, pemerintah Kolonial melakukan kontrol yang sangat ketat, terutama kepada para mubalig.
Pernah suatu ketika seorang mubalig, dalam ceramahnya, menyebut sebuah kitab “Sabilul Mursyidin,” yang oleh aparat keamanan kata-kata itu dinilai mengajak perang sabil melawan Belanda. Oleh Christiaan Snouck Hurgronje (pencetus politik Islam Belanda), peristiwa ini dinilai berlebihan dalam menjalankan pengawasan karena ketidakpahaman aparat terhadap ajaran Islam.
Setelah masa kemerdekaan, kebijakan terhadap umat muslim ini dilestarikan dalam “Politik Islam Penguasa”. Pada masa Orde Lama, program ini muncul dalam Nasakom (nasional, agama, dan komunis), yang merangkul sebagian kelompok umat muslim ke dalam Nasakom, dan menyingkirkan kelompok muslim lain yang dinilainya sebagai “kepala batu”, karena tidak mendukung program ini.
Di era Orde Baru, pengebirian Politik Islam dilakukan dengan menghilangkan simbol-simbol Islam, memperlemah kekuatan politik umat melalui label-label negatif, stereotipe bahwa umat muslim itu sangat berbahaya apabila berbicara tentang politik kekuasaan.
Rekayasa dan pelabelan dilakukan terhadap bahaya Islam, seperti terus diungkitnya peristiwa DI/TII sampai dengan munculnya peristiwa Komando Jihad. Ada ketakutan yang berlebihan dari rezim Orde Baru terhadap potensi Islam dan umat muslim sebagai kekuatan politik di Indonesia.
Dalam The New Yorkers yang terbit Mei 1988, dua artikel secara berturut menyarankan para pelaku bisnis Amerika di Indonesia. Jika mereka ingin berhasil disarankan untuk mendekati dua kekuatan politik yang sama-sama berbaju “hijau”.
Yang pertama adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan yang kedua adalah umat muslim; keduanya dianggap sebagai the real political power di Indonesia.
Karena saat itu yang memegang kekuasaan adalah “hijau” yang pertama, kelompok inilah yang didekati. Sementara “hijau” yang kedua menjadi objek pelemahan karena potensi politik yang dimilikinya, dan itu berlangsung hingga sekarang.
Politically, umat muslim tidak pernah bisa menyatu menjadi sebuah “kekuatan”. Mereka ini suka berselisih karena alasan kepentingan sesaat, apalagi jika perselisihan dibungkus dengan ideologi.
Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, isu radikalisme dan terorisme dimanfaatkan untuk memperlemah potensi politik umat muslim. Rezim penguasa ini juga pernah mewacanakan sertifikasi ulama. Namun, rencana itu dibatalkan karena reaksi masyarakat luas menentang kebijakan yang dinilai akan menjadi alat kontrol terhadap ulama.
Sertifikasi ini juga ditengarai untuk membatasi gerak dan pendapat para ulama atas kebebasan berpendapat yang selama ini dinikmatinya. Di antara alasan rezim penguasa merencanakan program itu adalah karena kebijakan yang sama juga dilaksanakan di beberapa negara muslim, seperti Malaysia dan Arab Saudi. Namun, pemerintah lupa bahwa di dua negara yang dimaksud agama masuk dalam struktur negara, artinya ada paham resmi agama yang dianut oleh negara.
Di Indonesia tidak dikenal paham resmi negara, negara menjunjung tinggi pluralisme total. Karena itu, negara tidak ikut campur urusan ibadah umat beragama. Jika ada pembatasan-pembatasan terhadap praktik keagamaan formal, tidak hanya bertentangan dengan Bhineka Tunggal Eka, tetapi juga dinilai sebagai melestarikan politik pelemahan terhadap umat beragama dari pemerintah.
Atas dasar pengalaman di atas itulah beberapa kalangan yang tidak setuju merasa khawatir praktik sertifikasi mubalig itu akan mengarah pada pembatasan dan kontrol terhadap Islam dan umat muslim. Indikasi kekhawatiran ini didukung oleh gencarnya rezim penguasa mengooptasi semua kekuatan untuk mendukung misi pemerintah.
Merangkul kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok yang lain, membatasi gerak suatu kelompok untuk menyuarakan aspirasi (411 dan 212), dan memberikan kelonggaran kelompok lain dalam melakukan hal serupa (412).
Kalau alasan diwacanakannya kebijakan ini karena tengara adanya indikasi khatib lupa menyampaikan nasihat yang semestinya (menteri agama), bertentangan dengan budaya setempat dan membawa budaya lain (dirjen Bimas Islam), maka sesungguhnya masyarakat sudah memiliki filter dengan tidak mengundang mubalig seperti ini di tempat masing-masing.
Mubalig yang seperti ini termasuk yang menjadi sasaran pembinaan Kementerian Agama, sebagai fasilitator, melalui penataran dan sejenisnya untuk menjadi lebih profesional.
(poe)