Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
A
A
A
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB
INDONESIA merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau. Filipina dengan jumlah pulau 7.100 menempati peringkat kedua terbesar di dunia (Arroyo, 2012).
Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (200.000 ha) beserta kesatuan ekosistemnya (UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Atas dasar definisi tersebut, sekitar 90% dari seluruh pulau milik Indonesia berupa pulau kecil.
Selain lima pulau besar utama, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua; pulau-pulau besar lainnya antara lain adalah Sabang, Simeleu, Nias, Mentawai, Batam, Bintan, Natuna, Enggano, Bangka, Belitung, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Timor, Lembata, Rote, Buton, Ternate, Tidore, Buru, Seram, Waigeo, dan Biak.
Sebelum berdirinya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada September 1999, pemerintah kurang peduli dengan pulau-pulau kecil. Namun, sejak adanya KKP, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Kelautan; dilakukanlah pendataan pulau-pulau kecil yang meliputi luasnya, potensi pembangunan (sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan), kependudukan, kegiatan ekonomi yang ada, dan berbagai aspek lainnya.
Sejak tahun 2000 KKP menyusun naskah akademis RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Karena melibatkan begitu banyak instansi, baru pada 2007 DPR akhirnya menyetujui UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 1/2014.
Dengan anggaran terbatas KKP bekerja sama dengan Kementerian lain, lembaga nonkementerian, dan pemerintah daerah. Kerja sama ini mulai membangun infrastruktur dan fasilitas pembangunan serta menyusun dan mengimplementasikan rencana pengelolaan pembangunan sejumlah pulau kecil.
KKP juga sangat aktif mengajak investor nasional maupun internasional (asing) untuk membangun, berinvestasi, dan melakukan usaha ekonomi di pulau-pulau kecil secara produktif, inklusif, dan ramah lingkungan.
Hasilnya, pada 2012 Pemerintah RI melalui KKP dan Kementerian Luar Negeri berhasil mendaftarkan 13.466 pulau berikut namanya ke PBB, tepatnya United Nations Group of Experts on Geographic Names (UNGEGN), dan baru 2014 PBB mengesahkan seluruh pulau yang didaftarkan oleh Indonesia tersebut. Dengan demikian, hingga kini jumlah pulau yang belum resmi memiliki nama sekitar 4.038 lagi.
Selama 2017 ini pemerintah menargetkan untuk mendaftarkan 1.106 pulau lagi ke PBB. Akan tetapi, di balik kerja keras pemerintah untuk membangun pulau-pulau kecil sebagai wilayah yang lebih maju, sejahtera, nyaman, dan aman, jujur saja harus dikatakan perkembangannya boleh dibilang sangat lambat.
Betapa tidak, sampai sekarang baru 6.000 pulau (34%) yang sudah berpenghuni, dan dari tahun 2000 sampai sekarang baru 54 pulau kecil yang telah dikembangkan oleh swasta yang sebagian besar untuk pariwisata bahari, dan sebagian kecil untuk perkebunan, pertambangan, dan penampungan (storage) minyak bumi. Dari 54 pulau itu, investor 33 pulau dari luar negeri, dan investor di 21 pulau lainnya dari dalam negeri (nasional).
Sebenarnya, ketika KKP mengeluarkan kebijakan diizinkannya investor nasional maupun asing untuk berinvestasi dan mengembangkan ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia pada medio 2001, sejumlah investor dari Kuwait, Qatar, Jepang, dan Taiwan menyatakan minat.
Sayang, saat itu beberapa LSM dan tokoh nasional menolak kebijakan tersebut. Akibatnya, sejumlah investor asing dan nasional yang bonafide mengurungkan minat investasinya.
Rupanya reaksi sejumlah LSM dan tokoh nasional serupa terkait optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil yang terjadi sekitar 16 tahun lalu sekarang terulang kembali ketika di awal tahun ini Menko Maritim dan Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan rencana kebijakannya untuk mengundang pihak asing berinvestasi di pulau-pulau kecil Indonesia.
Urgensi Pembangunan Pulau Kecil
Sedikitnya ada empat alasan utama bagi bangsa Indonesia untuk segera mendayagunakan pulau-pulau kecil. Pertama, dari sekitar 17.504 pulau yang kita miliki, baru sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Itu pun pola pembangunannya sebagian besar kurang produktif dan tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Hasilnya, hampir semua pulau kecil yang berpenghuni dan/atau sudah ada kegiatan pembangunan (ekonomi) di sana tetap saja tidak maju. Kebanyakan penduduknya hidup miskin dan kualitas lingkungan hidupnya buruk.
Umumnya penduduk yang menghuni pulau-pulau kecil dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote adalah para lansia, anak-anak, dan kelompok usia kerja yang kurang terdidik dan produktif.
Orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi yang terlahir di pulau kecil seperti Prof Adrianus Moy, Prof Herman Johanes, Prof Laode Kamaludin, Dr Yasona Laoly, dan Ir Saleh Husin kebanyakan hijrah ke Jakarta atau Pulau Jawa. Padahal, potensi pembangunan (ekonomi) yang terdapat di pulau-pulau kecil luar biasa besar.
Kedua, dengan membangun pulau-pulau kecil secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan. Berarti kita mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa dan tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI.
Jutaan lapangan kerja baru bakal tersedia dan kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Bila kita mampu membangun rata-rata 100 pulau baru dalam satu tahun, pertumbuhan ekonomi nasional yang sejak 2015 hanya sekitar 5% per tahun diperkirakan bisa meningkat sampai 7% per tahun. Dengan demikian, masalah utama bangsa berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan serta rendahnya daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) bakal dapat diatasi.
Demikian juga halnya dengan masalah disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang, khususnya Jawa vs luar Jawa secara otomatis akan terkoreksi. Sebab, dengan tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan baru di pulau-pulau kecil diyakini bakal mengurangi laju urbanisasi dari luar Jawa ke Jawa.
Ketiga, dengan membangun pulau-pulau kecil, terutama 111 pulau terluar (terdepan) secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan sebagai pusat pertumbuhan dan kesejahteraan baru berarti kita membangun semacam sabuk kemakmuran (prosperity belt).
Wilayah-wilayah pulau-pulau kecil terdepan yang maju dan makmur secara otomatis akan menjadi semacam sabuk pengaman (security belt) yang turut memperkokoh dan menegakkan kedaulatan NKRI.
Keempat, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh investor asing maupun nasional, seperti untuk pariwisata, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan penampungan minyak bumi sejak masa Orde Baru sampai sebelum adanya KKP hanya kecil sekali memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat lokal. Lebih dari itu, acap kali menimbulkan kerusakan lingkungan, memarginalkan masyarakat lokal, dan mengancam kedaulatan NKRI.
Karena itu, kita harus menempatkan kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI di atas segalanya dalam proses pembangunan pulau-pulau kecil, terutama ketika melibatkan investor asing. Kita harus berpedoman pada UU Nomor 27/2007 jo UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan di dalam membangun dan mengundang investor ke pulau-pulau kecil.
Pedoman Pembangunan dan Investasi
Tantangan dalam membangun pulau-pulau kecil untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa adalah bagaimana kita meramu dan mengimplementasikan paket kebijakan supaya para investor (nasional atau asing) yang bonafide mau menanamkan modalnya dan mengembangkan usaha ekonomi, dan pada saat yang sama kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI pun bisa ditegakkan. Kepentingan nasional itu antara lain berupa manfaat ekonomi bagi negara dan rakyat, kelestarian lingkungan, dan alih teknologi.
Investor dan pengusaha itu sangat penting dalam membangun ekonomi wilayah, termasuk pulau-pulau kecil. Pasalnya, fungsi utama anggaran pemerintah (APBN/APBD) di seluruh negara di dunia adalah untuk pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia (kesehatan, pendidikan, dan agama), peraturan dan perundang-undangan, dan kelembagaan.
Untuk mengembangkan usaha ekonomi, menggerakkan bisnis, dan modal kerja (working capital) di suatu wilayah atau negara adalah merupakan peran para investor, pengusaha, dan entrepreneur. Bagi para investor, tentu mereka ingin investasinya aman dan menghasilkan untung secara berkelanjutan.
Sesuai dengan UU Nomor 1/2014 di atas, kepentingan nasional, kedaulatan NKRI, dan kepentingan investor, maka pembangunan dan investasi pulau-pulau kecil oleh swasta nasional maupun asing seyogianya mengikuti pedoman (guidelines) sebagai berikut.
Pertama, baik swasta nasional maupun asing tidak boleh memiliki pulau, tetapi diizinkan memiliki hak guna usaha (HGU) di pulau tersebut untuk jangka waktu 35-50 tahun, dan bisa diperpanjang sesuai kesepakatan Pemerintah RI dengan pihak investor. Sebaiknya investasi dan bisnis swasta (baik nasional maupun asing) ditempatkan di pulau-pulau kecil yang tidak ada penduduknya.
Kedua, sedikitnya 40 persen dari total luas daratan pulau harus dialokasikan untuk kawasan lindung (protected area) seperti garis sempadan pantai (set back zone), hutan lindung, dan ruang terbuka hijau. Luas daratan sisanya, maksimal 60% dari total luas daratan pulau, boleh dikembangkan untuk kawasan pembangunan (usaha ekonomi), seperti pariwisata, properti dan bangunan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan industri yang ramah lingkungan.
Ketiga, semua kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis di pulau-pulau kecil harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah disusun oleh pemerintah daerah dan disetujui pemerintah pusat, didahului dengan studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), building code (bangunan tertinggi tidak boleh melebihi tingginya pohon tertinggi yang ada di pulau termaksud), menggunakan energi terbarukan (energi solar, angin, arus laut, dan lainnya), usahakan tidak membuang limbah maupun emisi gas rumah kaca dengan menerapkan teknologi 3 R (reduce, reuse, dan recycle), dan mitigasi serta adaptasi terhadap bencana alam.
Keempat, dalam memanfaatkan wilayah perairan sekitar pulau harus mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan semua ketentuan peraturan perundang-undangan RI yang relevan. Kelima, selain royalti dan pajak, pihak investor juga harus menyimpan dana jaminan (deposit money) di kas negara selama masa HGU.
Besaran dana jaminan per pulau di AS itu berkisar antara USD100 juta sampai USD1 miliar, bergantung pada luas pulau dan potensi pembangunan (ekonominya). Bayangkan, bila kita mampu menarik investor untuk 100 pulau setiap tahun, maka kita dapat dana segar antara USD10 miliar-100 miliar (Rp130 triliun–1.300 triliun) per tahun.
Keenam, tenaga kerja asing hanya boleh di bidang-bidang yang belum mampu dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia, dan jumlah tenaga kerja asing maksimal 10% dari total tenaga kerja yang dibutuhkan. Gaji atau upah karyawan harus yang bisa menyejahterakan diri dan keluarganya.
Ketujuh, untuk menjamin keamanan dan kedaulatan NKRI, Pemerintah RI bisa menempatkan polisi dan/atau tentara di pulau yang investornya dari luar negeri. Kedelapan, harus ada alih teknologi dari pihak asing kepada tenaga kerja Indonesia, dari swasta nasional kepada masyarakat lokal.
Kesembilan, seperti di Mauritius, Maldives, AS, beberapa negara di Karibia dan Pasifik Selatan yang berhasil mengelola pulau-pulau kecilnya bisa juga diterapkan konsep ’One Island, One Company’. Artinya perencanaan, investasi dan bisnis, pemasaran, dan pengelolaan satu pulau diserahkan kepada satu perusahaan dengan mengikuti kedelapan persyaratan di atas.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB
INDONESIA merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau. Filipina dengan jumlah pulau 7.100 menempati peringkat kedua terbesar di dunia (Arroyo, 2012).
Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (200.000 ha) beserta kesatuan ekosistemnya (UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Atas dasar definisi tersebut, sekitar 90% dari seluruh pulau milik Indonesia berupa pulau kecil.
Selain lima pulau besar utama, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua; pulau-pulau besar lainnya antara lain adalah Sabang, Simeleu, Nias, Mentawai, Batam, Bintan, Natuna, Enggano, Bangka, Belitung, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Timor, Lembata, Rote, Buton, Ternate, Tidore, Buru, Seram, Waigeo, dan Biak.
Sebelum berdirinya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) pada September 1999, pemerintah kurang peduli dengan pulau-pulau kecil. Namun, sejak adanya KKP, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Kelautan; dilakukanlah pendataan pulau-pulau kecil yang meliputi luasnya, potensi pembangunan (sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan), kependudukan, kegiatan ekonomi yang ada, dan berbagai aspek lainnya.
Sejak tahun 2000 KKP menyusun naskah akademis RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Karena melibatkan begitu banyak instansi, baru pada 2007 DPR akhirnya menyetujui UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 1/2014.
Dengan anggaran terbatas KKP bekerja sama dengan Kementerian lain, lembaga nonkementerian, dan pemerintah daerah. Kerja sama ini mulai membangun infrastruktur dan fasilitas pembangunan serta menyusun dan mengimplementasikan rencana pengelolaan pembangunan sejumlah pulau kecil.
KKP juga sangat aktif mengajak investor nasional maupun internasional (asing) untuk membangun, berinvestasi, dan melakukan usaha ekonomi di pulau-pulau kecil secara produktif, inklusif, dan ramah lingkungan.
Hasilnya, pada 2012 Pemerintah RI melalui KKP dan Kementerian Luar Negeri berhasil mendaftarkan 13.466 pulau berikut namanya ke PBB, tepatnya United Nations Group of Experts on Geographic Names (UNGEGN), dan baru 2014 PBB mengesahkan seluruh pulau yang didaftarkan oleh Indonesia tersebut. Dengan demikian, hingga kini jumlah pulau yang belum resmi memiliki nama sekitar 4.038 lagi.
Selama 2017 ini pemerintah menargetkan untuk mendaftarkan 1.106 pulau lagi ke PBB. Akan tetapi, di balik kerja keras pemerintah untuk membangun pulau-pulau kecil sebagai wilayah yang lebih maju, sejahtera, nyaman, dan aman, jujur saja harus dikatakan perkembangannya boleh dibilang sangat lambat.
Betapa tidak, sampai sekarang baru 6.000 pulau (34%) yang sudah berpenghuni, dan dari tahun 2000 sampai sekarang baru 54 pulau kecil yang telah dikembangkan oleh swasta yang sebagian besar untuk pariwisata bahari, dan sebagian kecil untuk perkebunan, pertambangan, dan penampungan (storage) minyak bumi. Dari 54 pulau itu, investor 33 pulau dari luar negeri, dan investor di 21 pulau lainnya dari dalam negeri (nasional).
Sebenarnya, ketika KKP mengeluarkan kebijakan diizinkannya investor nasional maupun asing untuk berinvestasi dan mengembangkan ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia pada medio 2001, sejumlah investor dari Kuwait, Qatar, Jepang, dan Taiwan menyatakan minat.
Sayang, saat itu beberapa LSM dan tokoh nasional menolak kebijakan tersebut. Akibatnya, sejumlah investor asing dan nasional yang bonafide mengurungkan minat investasinya.
Rupanya reaksi sejumlah LSM dan tokoh nasional serupa terkait optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil yang terjadi sekitar 16 tahun lalu sekarang terulang kembali ketika di awal tahun ini Menko Maritim dan Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan rencana kebijakannya untuk mengundang pihak asing berinvestasi di pulau-pulau kecil Indonesia.
Urgensi Pembangunan Pulau Kecil
Sedikitnya ada empat alasan utama bagi bangsa Indonesia untuk segera mendayagunakan pulau-pulau kecil. Pertama, dari sekitar 17.504 pulau yang kita miliki, baru sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Itu pun pola pembangunannya sebagian besar kurang produktif dan tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Hasilnya, hampir semua pulau kecil yang berpenghuni dan/atau sudah ada kegiatan pembangunan (ekonomi) di sana tetap saja tidak maju. Kebanyakan penduduknya hidup miskin dan kualitas lingkungan hidupnya buruk.
Umumnya penduduk yang menghuni pulau-pulau kecil dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote adalah para lansia, anak-anak, dan kelompok usia kerja yang kurang terdidik dan produktif.
Orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi yang terlahir di pulau kecil seperti Prof Adrianus Moy, Prof Herman Johanes, Prof Laode Kamaludin, Dr Yasona Laoly, dan Ir Saleh Husin kebanyakan hijrah ke Jakarta atau Pulau Jawa. Padahal, potensi pembangunan (ekonomi) yang terdapat di pulau-pulau kecil luar biasa besar.
Kedua, dengan membangun pulau-pulau kecil secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan. Berarti kita mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa dan tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI.
Jutaan lapangan kerja baru bakal tersedia dan kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Bila kita mampu membangun rata-rata 100 pulau baru dalam satu tahun, pertumbuhan ekonomi nasional yang sejak 2015 hanya sekitar 5% per tahun diperkirakan bisa meningkat sampai 7% per tahun. Dengan demikian, masalah utama bangsa berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan serta rendahnya daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) bakal dapat diatasi.
Demikian juga halnya dengan masalah disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang, khususnya Jawa vs luar Jawa secara otomatis akan terkoreksi. Sebab, dengan tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan baru di pulau-pulau kecil diyakini bakal mengurangi laju urbanisasi dari luar Jawa ke Jawa.
Ketiga, dengan membangun pulau-pulau kecil, terutama 111 pulau terluar (terdepan) secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan sebagai pusat pertumbuhan dan kesejahteraan baru berarti kita membangun semacam sabuk kemakmuran (prosperity belt).
Wilayah-wilayah pulau-pulau kecil terdepan yang maju dan makmur secara otomatis akan menjadi semacam sabuk pengaman (security belt) yang turut memperkokoh dan menegakkan kedaulatan NKRI.
Keempat, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh investor asing maupun nasional, seperti untuk pariwisata, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan penampungan minyak bumi sejak masa Orde Baru sampai sebelum adanya KKP hanya kecil sekali memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat lokal. Lebih dari itu, acap kali menimbulkan kerusakan lingkungan, memarginalkan masyarakat lokal, dan mengancam kedaulatan NKRI.
Karena itu, kita harus menempatkan kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI di atas segalanya dalam proses pembangunan pulau-pulau kecil, terutama ketika melibatkan investor asing. Kita harus berpedoman pada UU Nomor 27/2007 jo UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan di dalam membangun dan mengundang investor ke pulau-pulau kecil.
Pedoman Pembangunan dan Investasi
Tantangan dalam membangun pulau-pulau kecil untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa adalah bagaimana kita meramu dan mengimplementasikan paket kebijakan supaya para investor (nasional atau asing) yang bonafide mau menanamkan modalnya dan mengembangkan usaha ekonomi, dan pada saat yang sama kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI pun bisa ditegakkan. Kepentingan nasional itu antara lain berupa manfaat ekonomi bagi negara dan rakyat, kelestarian lingkungan, dan alih teknologi.
Investor dan pengusaha itu sangat penting dalam membangun ekonomi wilayah, termasuk pulau-pulau kecil. Pasalnya, fungsi utama anggaran pemerintah (APBN/APBD) di seluruh negara di dunia adalah untuk pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia (kesehatan, pendidikan, dan agama), peraturan dan perundang-undangan, dan kelembagaan.
Untuk mengembangkan usaha ekonomi, menggerakkan bisnis, dan modal kerja (working capital) di suatu wilayah atau negara adalah merupakan peran para investor, pengusaha, dan entrepreneur. Bagi para investor, tentu mereka ingin investasinya aman dan menghasilkan untung secara berkelanjutan.
Sesuai dengan UU Nomor 1/2014 di atas, kepentingan nasional, kedaulatan NKRI, dan kepentingan investor, maka pembangunan dan investasi pulau-pulau kecil oleh swasta nasional maupun asing seyogianya mengikuti pedoman (guidelines) sebagai berikut.
Pertama, baik swasta nasional maupun asing tidak boleh memiliki pulau, tetapi diizinkan memiliki hak guna usaha (HGU) di pulau tersebut untuk jangka waktu 35-50 tahun, dan bisa diperpanjang sesuai kesepakatan Pemerintah RI dengan pihak investor. Sebaiknya investasi dan bisnis swasta (baik nasional maupun asing) ditempatkan di pulau-pulau kecil yang tidak ada penduduknya.
Kedua, sedikitnya 40 persen dari total luas daratan pulau harus dialokasikan untuk kawasan lindung (protected area) seperti garis sempadan pantai (set back zone), hutan lindung, dan ruang terbuka hijau. Luas daratan sisanya, maksimal 60% dari total luas daratan pulau, boleh dikembangkan untuk kawasan pembangunan (usaha ekonomi), seperti pariwisata, properti dan bangunan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan industri yang ramah lingkungan.
Ketiga, semua kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis di pulau-pulau kecil harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah disusun oleh pemerintah daerah dan disetujui pemerintah pusat, didahului dengan studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), building code (bangunan tertinggi tidak boleh melebihi tingginya pohon tertinggi yang ada di pulau termaksud), menggunakan energi terbarukan (energi solar, angin, arus laut, dan lainnya), usahakan tidak membuang limbah maupun emisi gas rumah kaca dengan menerapkan teknologi 3 R (reduce, reuse, dan recycle), dan mitigasi serta adaptasi terhadap bencana alam.
Keempat, dalam memanfaatkan wilayah perairan sekitar pulau harus mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan semua ketentuan peraturan perundang-undangan RI yang relevan. Kelima, selain royalti dan pajak, pihak investor juga harus menyimpan dana jaminan (deposit money) di kas negara selama masa HGU.
Besaran dana jaminan per pulau di AS itu berkisar antara USD100 juta sampai USD1 miliar, bergantung pada luas pulau dan potensi pembangunan (ekonominya). Bayangkan, bila kita mampu menarik investor untuk 100 pulau setiap tahun, maka kita dapat dana segar antara USD10 miliar-100 miliar (Rp130 triliun–1.300 triliun) per tahun.
Keenam, tenaga kerja asing hanya boleh di bidang-bidang yang belum mampu dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia, dan jumlah tenaga kerja asing maksimal 10% dari total tenaga kerja yang dibutuhkan. Gaji atau upah karyawan harus yang bisa menyejahterakan diri dan keluarganya.
Ketujuh, untuk menjamin keamanan dan kedaulatan NKRI, Pemerintah RI bisa menempatkan polisi dan/atau tentara di pulau yang investornya dari luar negeri. Kedelapan, harus ada alih teknologi dari pihak asing kepada tenaga kerja Indonesia, dari swasta nasional kepada masyarakat lokal.
Kesembilan, seperti di Mauritius, Maldives, AS, beberapa negara di Karibia dan Pasifik Selatan yang berhasil mengelola pulau-pulau kecilnya bisa juga diterapkan konsep ’One Island, One Company’. Artinya perencanaan, investasi dan bisnis, pemasaran, dan pengelolaan satu pulau diserahkan kepada satu perusahaan dengan mengikuti kedelapan persyaratan di atas.
(poe)