Mengontrol Ulama Melalui Sertifikasi
A
A
A
Aboe Bakar Alhabsyi
Anggota Komisi III DPR RI
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) memberikan wacana untuk melakukan sertifikasi kepada para ulama. Langkah ini didalihkan untuk menghindari adanya ceramah yang mengandung hujatan dan menghindari sikap intoleran. Karena itu, menurut Menteri Agama, dirasa perlu dirumuskan kualifikasi atau kompetensi dasar yang harus dimiliki para penceramah.
Wacana ini terlihat seperti testing the water, sebelum wacana sertifikasi terhadap ulama pernah juga diwacanakan sertifikasi untuk para penceramah. Pemberian sertifikasi ini seolah sebagai upaya pemerintah untuk mengontrol agar tidak ada kritik yang disampaikan kepada penguasa sehingga tidak ada lagi agitasi yang dilakukan terhadap masyarakat.
Wacana serupa sebenarnya pernah dilontarkan BNPT. Menurut mereka perlu dilakukan sertifikasi terhadap para ulama untuk mencegah terjadinya deradikalisasi. Dengan melakukan sertifikasi, negara akan dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal.
Ini dilakukan sebagai upaya antisipasi pertumbuhan gerakan radikal di Indonesia. Bila ditelaah, apa yang disampaikan oleh petinggi BNPT tersebut merupakan justifikasi bahwa sebenarnya selama ini ulama memiliki peran dalam penumbuhan peran radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme.
Rencana ini seolah telah menjustifikasi ulama memiliki saham dalam persoalan terorisme di Indonesia. Pengajaran agama oleh para ulama kepada para pengikutnya dianggap merupakan suatu main process lahirnya para ”pengantin” yang radikal dan siap membawa bom bunuh diri.
Akhirnya, deduksi yang diambil oleh pejabat BNPT ini adalah perlunya ada sertifikasi para ulama agar bisa mereduksi gerakan radikal dan pada akhirnya dapat menanggulangi persoalan terorisme di Indonesia.
***Apabila ditengok dalam sejarah, Islam telah masuk di Indonesia sejak abad ke-12. Karena itu, sudah lebih dari sembilan abad ajaran agama Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara.
Selama itu pula para penceramah agama Islam telah membangun peradaban yang luar biasa, baik melalui khotbah di masjid, ceramah di majelis taklim, pengajian di pesantren maupun tausiyah dalam berbagai kegiatan ibadah keislaman. Berbagai kegiatan tersebut selama ini telah tumbuh dan berkembang sesuai kondisi zaman.
Ceramah, tausiyah, atau khotbah dalam konteks ajaran Islam adalah media untuk mengedukasi umat. Ini adalah sarana untuk mengingatkan pemeluk Islam agar senantiasa mengikuti ajarannya, termasuk menaati para pemimpin.
Apalagi, untuk ceramah yang dilaksanakan dalam bagian dari ibadah, pastilah selalu dijaga kesuciannya, baik dalam hal isi maupun cara penyampaiannya. Dengan demikian, wacana untuk sertifikasi para penceramah seolah membuat tuduhan bahwa mereka selama ini menjadi sumber masalah.
Atau setidaknya, menimbulkan kesan bahwa ceramah agama ada yang halal dan tidak halal sehingga perlu disertifikasi seperti produk pangan. Tentunya ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru di Indonesia.
Alasan bahwa sertifikasi ini untuk meningkatkan kualifikasi penceramah ataupun ulama seolah menyimpulkan bahwa penceramah saat ini tidak kompeten. Atau paling tidak, Kementerian Agama melihat banyak penceramah yang tidak layak atau tidak memenuhi kualifikasi dasar.
Pasti ini akan menimbulkan kegaduhan pula, mengenai prasyarat atau standarisasi apa yang akan digunakan kementerian dalam mengatur penceramah, termasuk siapa yang berhak melakukan sertifikasi terhadap para penceramah tersebut. Apakah dalam hal ini kewenangan tersebut akan dipegang langsung oleh Kementerian Agama? Jangan sampai hal ini menjadi persoalan baru yang membuat kegaduhan yang tidak perlu.
Salah satu tujuan sertifikasi ini adalah untuk mengurangi sikap-sikap intoleran antarumat beragama. Sebenarnya ini adalah tuduhan yang cukup menyakitkan karena menganggap selama ini ceramah-ceramah yang disampaikan para pemuka Islam cenderung intoleran terhadap umat agama lain.
Dalam hal ini, seharusnya menteri agama memberikan data-data yang menunjukkan bagaimana bentuk ceramah yang intoleran tersebut. Selain itu, seberapa banyak ceramah intoleran telah terjadi berikut pengaruhnya terhadap umat. Jangan sampai landasan berpikir yang diambil sekadar justifikasi belaka.
Perlu dipahami, hak bicara adalah bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi kita. Melakukan sertifikasi penceramah sama saja dengan membatasi hak orang untuk berbicara. Ini adalah bentuk pengekangan hak kebebasan berbicara yang diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 28 UUD 1945.
Apabila, Kemenag melakukan sertifikasi terhadap penceramah, sama saja dengan melakukan pembatasan terhadap hak tersebut. Apabila mengikuti pasal tersebut, seharusnya pemerintah dapat saja melakukan pengaturan mengenai mekanisme penyampaian pikiran dalam sebuah undang-undang. Jadi, pengaturannya tidak dapat dilakukan dengan instrumen sekelas peraturan menteri.
Pada konteks lain, bila yang disertifikasi adalah penceramah untuk kegiatan ibadah ini juga menabrak konstitusi. Kegiatan ceramah di masjid dalam salat Jumat, salat Idul Fitri, ataupun salat Idul Adha adalah bagian dari ibadah.
Apabila Kemenag melakukan pembatasan orang yang bisa mengisi khotbah adalah mereka yang telah disertifikasi, ini sama halnya dengan melakukan pembatasan terhadap orang yang akan beribadah. Ulama yang memberikan ceramah atau tausiyah dalam kerangka ajaran islam memiliki tautan yang erat dengan persoalan ibadah. Memberikan prasyarat khusus kepada mereka dalam bentuk sertifikasi sama halnya melakukan pengurangan hak dalam menjalankan ibadah.
***Hak untuk beragama atau menjalankan agama merupakan non-derogable rights, yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hal ini diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Hak beragama seperti ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Apabila dalam keadaan perang saja tidak dapat dikurangi, apalagi dalam keadaan damai seperti saat ini.
Dengan demikian, pengurangan hak dalam menjalankan ibadah adalah bentuk nyata dari pelanggaran konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlindungan terhadap kebebasan menjalankan ibadah secara utuh dan menyeluruh juga ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ceramah oleh para ulama dalam ibadah seperti khotbah Jumat telah dilakukan selama berabad-abad. Selama itu tidak pernah diberlakukan sertifikasi atau semacamnya untuk penceramah.
Namun, dapat dipastikan mereka telah memahami bagaimana ceramah yang harus disampaikan saat salat Jumat. Semisal membaca pujian kepada Allah, menyampaikan salawat atas Nabi Muhammad SAW, kemudian membaca satu atau sebagian ayat Alquran dan selalu memberikan wasiat untuk melakukan ketakwaan. Itu adalah konten ceramah yang sudah 14 abad dilakukan tanpa ada tudingan menyebabkan intoleransi ataupun semacamnya.
Karena itu, memunculkan ide untuk melakukan sertifikasi para ulama ataupun penceramah seolah mengingkari sejarah bahwa hal ini telah dilakukan tanpa menimbulkan gangguan. Padahal selama ini ceramah keagamaan telah membangun peradaban, menjaga nilai moral masyarakat, dan mengajak mereka untuk selalu dalam kondisi yang religius.
Selain itu, wacana sertifikasi ini seolah menuduh bahwa ceramah agama adalah bibit dari sikap intoleransi yang timbul di Indonesia. Ini tentunya dapat menimbulkan kegaduhan baru, misalkan saja menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa tersinggung atas kesimpulan tersebut.
Lebih dalam lagi, ide ini dapat melanggar hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat. Belum lagi dapat mengurangi hak masyarakat untuk menjalankan ibadah secara utuh dan menyeluruh.
Biarlah ulama tumbuh dan berkembang di hati masyarakat. Mereka yang mengangkat dan mengakui keulamaan seseorang dengan secara kultural. Sertifikasi bisa menjadi sebuah bentuk kontrol terhadap ulama, penceramah, ataupun tokoh keagamaan yang membawa dampak rusaknya nilai proses budaya yang selama ini sudah berlangsung.
Biarkanlah para ulama membangun karakter bangsa ini melalui ceramahnya karena selama ini peradaban dibangun di sana. Biarkah mereka menjadi pengikat moral masyarakat, menjadi kontrol etika yang selalu hadir dan disayangi masyarakat.
Anggota Komisi III DPR RI
KEMENTERIAN Agama (Kemenag) memberikan wacana untuk melakukan sertifikasi kepada para ulama. Langkah ini didalihkan untuk menghindari adanya ceramah yang mengandung hujatan dan menghindari sikap intoleran. Karena itu, menurut Menteri Agama, dirasa perlu dirumuskan kualifikasi atau kompetensi dasar yang harus dimiliki para penceramah.
Wacana ini terlihat seperti testing the water, sebelum wacana sertifikasi terhadap ulama pernah juga diwacanakan sertifikasi untuk para penceramah. Pemberian sertifikasi ini seolah sebagai upaya pemerintah untuk mengontrol agar tidak ada kritik yang disampaikan kepada penguasa sehingga tidak ada lagi agitasi yang dilakukan terhadap masyarakat.
Wacana serupa sebenarnya pernah dilontarkan BNPT. Menurut mereka perlu dilakukan sertifikasi terhadap para ulama untuk mencegah terjadinya deradikalisasi. Dengan melakukan sertifikasi, negara akan dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal.
Ini dilakukan sebagai upaya antisipasi pertumbuhan gerakan radikal di Indonesia. Bila ditelaah, apa yang disampaikan oleh petinggi BNPT tersebut merupakan justifikasi bahwa sebenarnya selama ini ulama memiliki peran dalam penumbuhan peran radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme.
Rencana ini seolah telah menjustifikasi ulama memiliki saham dalam persoalan terorisme di Indonesia. Pengajaran agama oleh para ulama kepada para pengikutnya dianggap merupakan suatu main process lahirnya para ”pengantin” yang radikal dan siap membawa bom bunuh diri.
Akhirnya, deduksi yang diambil oleh pejabat BNPT ini adalah perlunya ada sertifikasi para ulama agar bisa mereduksi gerakan radikal dan pada akhirnya dapat menanggulangi persoalan terorisme di Indonesia.
***Apabila ditengok dalam sejarah, Islam telah masuk di Indonesia sejak abad ke-12. Karena itu, sudah lebih dari sembilan abad ajaran agama Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara.
Selama itu pula para penceramah agama Islam telah membangun peradaban yang luar biasa, baik melalui khotbah di masjid, ceramah di majelis taklim, pengajian di pesantren maupun tausiyah dalam berbagai kegiatan ibadah keislaman. Berbagai kegiatan tersebut selama ini telah tumbuh dan berkembang sesuai kondisi zaman.
Ceramah, tausiyah, atau khotbah dalam konteks ajaran Islam adalah media untuk mengedukasi umat. Ini adalah sarana untuk mengingatkan pemeluk Islam agar senantiasa mengikuti ajarannya, termasuk menaati para pemimpin.
Apalagi, untuk ceramah yang dilaksanakan dalam bagian dari ibadah, pastilah selalu dijaga kesuciannya, baik dalam hal isi maupun cara penyampaiannya. Dengan demikian, wacana untuk sertifikasi para penceramah seolah membuat tuduhan bahwa mereka selama ini menjadi sumber masalah.
Atau setidaknya, menimbulkan kesan bahwa ceramah agama ada yang halal dan tidak halal sehingga perlu disertifikasi seperti produk pangan. Tentunya ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru di Indonesia.
Alasan bahwa sertifikasi ini untuk meningkatkan kualifikasi penceramah ataupun ulama seolah menyimpulkan bahwa penceramah saat ini tidak kompeten. Atau paling tidak, Kementerian Agama melihat banyak penceramah yang tidak layak atau tidak memenuhi kualifikasi dasar.
Pasti ini akan menimbulkan kegaduhan pula, mengenai prasyarat atau standarisasi apa yang akan digunakan kementerian dalam mengatur penceramah, termasuk siapa yang berhak melakukan sertifikasi terhadap para penceramah tersebut. Apakah dalam hal ini kewenangan tersebut akan dipegang langsung oleh Kementerian Agama? Jangan sampai hal ini menjadi persoalan baru yang membuat kegaduhan yang tidak perlu.
Salah satu tujuan sertifikasi ini adalah untuk mengurangi sikap-sikap intoleran antarumat beragama. Sebenarnya ini adalah tuduhan yang cukup menyakitkan karena menganggap selama ini ceramah-ceramah yang disampaikan para pemuka Islam cenderung intoleran terhadap umat agama lain.
Dalam hal ini, seharusnya menteri agama memberikan data-data yang menunjukkan bagaimana bentuk ceramah yang intoleran tersebut. Selain itu, seberapa banyak ceramah intoleran telah terjadi berikut pengaruhnya terhadap umat. Jangan sampai landasan berpikir yang diambil sekadar justifikasi belaka.
Perlu dipahami, hak bicara adalah bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi kita. Melakukan sertifikasi penceramah sama saja dengan membatasi hak orang untuk berbicara. Ini adalah bentuk pengekangan hak kebebasan berbicara yang diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 28 UUD 1945.
Apabila, Kemenag melakukan sertifikasi terhadap penceramah, sama saja dengan melakukan pembatasan terhadap hak tersebut. Apabila mengikuti pasal tersebut, seharusnya pemerintah dapat saja melakukan pengaturan mengenai mekanisme penyampaian pikiran dalam sebuah undang-undang. Jadi, pengaturannya tidak dapat dilakukan dengan instrumen sekelas peraturan menteri.
Pada konteks lain, bila yang disertifikasi adalah penceramah untuk kegiatan ibadah ini juga menabrak konstitusi. Kegiatan ceramah di masjid dalam salat Jumat, salat Idul Fitri, ataupun salat Idul Adha adalah bagian dari ibadah.
Apabila Kemenag melakukan pembatasan orang yang bisa mengisi khotbah adalah mereka yang telah disertifikasi, ini sama halnya dengan melakukan pembatasan terhadap orang yang akan beribadah. Ulama yang memberikan ceramah atau tausiyah dalam kerangka ajaran islam memiliki tautan yang erat dengan persoalan ibadah. Memberikan prasyarat khusus kepada mereka dalam bentuk sertifikasi sama halnya melakukan pengurangan hak dalam menjalankan ibadah.
***Hak untuk beragama atau menjalankan agama merupakan non-derogable rights, yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hal ini diatur dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Hak beragama seperti ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Apabila dalam keadaan perang saja tidak dapat dikurangi, apalagi dalam keadaan damai seperti saat ini.
Dengan demikian, pengurangan hak dalam menjalankan ibadah adalah bentuk nyata dari pelanggaran konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlindungan terhadap kebebasan menjalankan ibadah secara utuh dan menyeluruh juga ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ceramah oleh para ulama dalam ibadah seperti khotbah Jumat telah dilakukan selama berabad-abad. Selama itu tidak pernah diberlakukan sertifikasi atau semacamnya untuk penceramah.
Namun, dapat dipastikan mereka telah memahami bagaimana ceramah yang harus disampaikan saat salat Jumat. Semisal membaca pujian kepada Allah, menyampaikan salawat atas Nabi Muhammad SAW, kemudian membaca satu atau sebagian ayat Alquran dan selalu memberikan wasiat untuk melakukan ketakwaan. Itu adalah konten ceramah yang sudah 14 abad dilakukan tanpa ada tudingan menyebabkan intoleransi ataupun semacamnya.
Karena itu, memunculkan ide untuk melakukan sertifikasi para ulama ataupun penceramah seolah mengingkari sejarah bahwa hal ini telah dilakukan tanpa menimbulkan gangguan. Padahal selama ini ceramah keagamaan telah membangun peradaban, menjaga nilai moral masyarakat, dan mengajak mereka untuk selalu dalam kondisi yang religius.
Selain itu, wacana sertifikasi ini seolah menuduh bahwa ceramah agama adalah bibit dari sikap intoleransi yang timbul di Indonesia. Ini tentunya dapat menimbulkan kegaduhan baru, misalkan saja menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa tersinggung atas kesimpulan tersebut.
Lebih dalam lagi, ide ini dapat melanggar hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat. Belum lagi dapat mengurangi hak masyarakat untuk menjalankan ibadah secara utuh dan menyeluruh.
Biarlah ulama tumbuh dan berkembang di hati masyarakat. Mereka yang mengangkat dan mengakui keulamaan seseorang dengan secara kultural. Sertifikasi bisa menjadi sebuah bentuk kontrol terhadap ulama, penceramah, ataupun tokoh keagamaan yang membawa dampak rusaknya nilai proses budaya yang selama ini sudah berlangsung.
Biarkanlah para ulama membangun karakter bangsa ini melalui ceramahnya karena selama ini peradaban dibangun di sana. Biarkah mereka menjadi pengikat moral masyarakat, menjadi kontrol etika yang selalu hadir dan disayangi masyarakat.
(poe)