Pelecehan Ulama
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
DALAM persidangan terdakwa pelaku penodaan agama beberapa waktu lalu, Ahok dan tim pengacaranya, secara sarkastik dan intimidatif memosisikan KH Maruf Amin seolah sebagai terdakwa.
Sang kiai diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, dicecar dan diinterogasi selama kurang lebih tujuh jam disertai berbagai ancaman dan gertakan yang tidak pantas diucapkan kepada ulama yang usianya sudah lebih dari 70 tahun. Lebih dari itu, sang kiai dituding telah memberi kesaksian palsu dan diancam akan dipidanakan dan dilaporkan kepada polisi.
Pelecehan sang kiai tersebut tak pelak menuai protes keras dari publik, khususnya warga Nahdliyin, karena Ahok dan tim pengacaranya dinilai telah melampau batas kepatutan dan kesantunan dalam memperlakukan ulama. Ulama dihina, dilecehkan, diintimidasi, dan tidak dihormati sebagai saksi yang merepresentasikan institusi keulamaan paling otoritatif di Indonesia (MUI), sekaligus pemimpin tertinggi (Syuriah) NU yang memiliki puluhan juta umat yang menjadi pengikutnya.
Kendatipun Ahok “merasa bersalah” –dan seperti biasanya—lalu meminta maaf melalui media, dibarengi “sowan” Menko Luhut Binsar Panjaitan, Kapolda, dan Pangdam Jaya ke rumah KH Maruf Amin (dan mungkin memintakan maaf kepadanya), namun kasus penistaan dan pelecehan ulama ini masih menyisakan banyak persoalan. Misalnya saja, betapa “mulut” terdakwa Ahok tidak pernah jera mengeluarkan “ujaran kebencian” (hate speech) dan kegaduhan sosial.
Publik yang berpikir objektif dan rasional sependapat bahwa sumber dan akar masalah keresahan dan kegaduhan sosial saat ini memang mengerucut pada seorang Ahok. Sayangnya, hingga saat ini, akar dan sumber masalah ini tidak diselesaikan secara adil dan tegas, misalnya dengan penahanan yang bersangkutan, agar terdakwa tidak lagi melakukan tindakan yang memicu keresahan dan kegaduhan sosial.
Sungguh kasus Ahok ini telah menguras energi bangsa, keuangan negara, dan ongkos sosial yang supermahal. Mengapa sang terdakwa penista kitab suci Alquran itu dilindungi dan dibela mati-matian oleh berbagai kekuatan dan rezim saat ini?
Publik mencium aroma tidak sedap dan tidak etis bahwa sebagian aparat pemerintah (penguasa) tidak netral lagi dan terlibat langsung dalam pemenangan Pilkada DKI untuk paslon nomor urut dua itu, dengan menghalalkan secara cara demi memuaskan syahwat kekuasaannya.
Kasus pelecehan ulama ini tidak hanya mengundang kemarahan dan kegeraman mayoritas umat Islam, tapi juga sangat potensial mengadu domba dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Pelecehan Ahok terhadap ulama juga terbukti menjadi ancaman serius terhadap integrasi dan masa depan NKRI.
Pelecehan ulama berarti menghina, menista, dan merendahkan marwahnya sebagai pemersatu dan perekat umat dan bangsa. Pelecehan ulama di ruang publik identik dengan “membunuh karakter” para pewaris Nabi (al-Ulama’ warasat al-anbiya’). Jadi, melecehkan ulama berarti melecehkan misi kenabian (Nabi) yang dibawanya.
Kasus pelecehan ulama ini juga membawa hikmah besar bagi umat Islam Indonesia, karena kesadaran dan komitmen kolektif umat untuk membela Islam dan berjihad melawan “musuh bersama” (common enemy), yaitu siapa pun pemicu keresahan dan disharmoni sosial. Pelecehan ulama adalah pelecehan umat Islam, karena yang dinistakan adalah role model dan rujukan keilmuan dan keagamaan mereka.
Dalam dinamika perjuangan bangsa Indonesia, ulama sejati itu selalu menunjukkan komitmen dan cintanya yang tulus terhadap umat dan bangsa. Bahkan, ulama selalu terdepan dalam membela NKRI tanpa pamrih dan rela mati, karena mati di medan jihad bela negara termasuk mati syahid yang dijamin masuk surga.
Ulama sejati itu berbeda dengan mereka yang “mendompleng” dan menjadi benalu NKRI. Mereka hanya cinta dunia, harta, dan kekuasaan, sehingga aset negara pun dijual demi memuaskan syahwat kekuasaan dan kerakusannya.
Sejarah nasional membuktikan bahwa ulama tidak dapat dipisahkan dari masa lalu, masa kini, dan masa depan NKRI. Karena sejatinya ulama itu pendidik, guru bangsa sekaligus pejuang (mujahid fi sabilillah) dalam menegakkan dakwah amar makruf nahi mungkar demi terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagai pewaris Nabi, ulama selalu tampil terdepan sebagai teladan kebajikan terbaik (uswah hasanah) bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Sebagai pewaris Nabi pula, ulama memainkan peran penting dalam menyatukan umat, mencerahkan, mencerdaskan, dan memperjuangkan kemaslahatan rakyat. Jadi, ulama tidak hanya hadir di tengah masyarakat dengan memberi solusi cerdas terhadap persoalan umat, tetapi juga sebagai sumber referensi masalah-masalah sosial-keagamaan, sosial-politik, sosial-ekonomi, dan moral.
Secara historis, ulama Indonesia juga memainkan peran penting sebagai garda pembela dan pejuang keutuhan NKRI, karena sejatinya ulama itu “belahan jiwa” umara (pemerintah) yang berlaku adil dan bijaksana.
Jadi, tidak ada alasan untuk membenturkan ulama dengan umara, karena sangat kontraproduktif dan dapat mendistorsi kontribusi ulama dalam pemajuan bangsa dan negara. Hanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan pengikut komunisme yang selalu mengadu domba, memusuhi, dan membunuhi ulama.
Dengan spirit saling mengedukasi demi tegaknya kebenaran (tawashaw bi al-haqq) dan saling berkontribusi dalam mengindahkan kesabaran (tawashaw bi as-shabr), ulama tidak pernah merasa lelah dalam berkontribusi pemikiran, gagasan, dan pencerahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Simbiosis mutualisme antara ulama dan umara perlu dikembangkan atas dasar saling menghargai, menghormati, dan memberdayakan; tidak atas dasar saling mencurigai dan menista. Ulama dan umara sudah semestinya bergandeng tangan, bersinergi dan selalu hadir dalam memberikan pelayanan publik secara adil, setara, dan berpihak kepada rakyat.
Keduanya harus membangun tali silaturahmi dan forum komunikasi efektif dan produktif yang mengedepankan ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan). Karena itu, pemimpin bangsa ini harus kembali belajar sejarah nasional dan mengapresiasi peran kontributif dan solutif ulama.
Sinergi ulama dan umara dalam membangun peradaban Indonesia berkemajuan di masa depan juga sangat diperlukan. Jika tidak hendak mundur ke belakang (set back), pelecehan ulama harus diakhiri karena berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa, di samping juga dapat menyebabkan “kualat” (terkena karma) bagi sang penista atau peleceh.
Dalam memainkan peran sosialnya, ulama juga harus bersikap istikamah (konsisten dan teguh pendirian) dan berjuang sepenuh hati untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan demi terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (negeri yang gemah ripah loh jinawi dan dalam lindungan dan ampunan Allah SWT) di bumi nusantara tercinta.
Walhasil, jangan pernah melecehkan ulama karena di belakangan ulama ada sekian banyak umat yang setia kepadanya. Ulama itu pewaris para nabi dalam membela kebenaran agama dan keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jangan pula melecehkan ulama dengan tidak santun, karena berimplikasi pada disintegrasi dan disharmoni sosial. Pelecehan ulama menandakan ketidakpahaman terhadap sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan NKRI dari pengkhianatan dan persekongkolan jahat PKI di era Orde Lama.
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
DALAM persidangan terdakwa pelaku penodaan agama beberapa waktu lalu, Ahok dan tim pengacaranya, secara sarkastik dan intimidatif memosisikan KH Maruf Amin seolah sebagai terdakwa.
Sang kiai diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, dicecar dan diinterogasi selama kurang lebih tujuh jam disertai berbagai ancaman dan gertakan yang tidak pantas diucapkan kepada ulama yang usianya sudah lebih dari 70 tahun. Lebih dari itu, sang kiai dituding telah memberi kesaksian palsu dan diancam akan dipidanakan dan dilaporkan kepada polisi.
Pelecehan sang kiai tersebut tak pelak menuai protes keras dari publik, khususnya warga Nahdliyin, karena Ahok dan tim pengacaranya dinilai telah melampau batas kepatutan dan kesantunan dalam memperlakukan ulama. Ulama dihina, dilecehkan, diintimidasi, dan tidak dihormati sebagai saksi yang merepresentasikan institusi keulamaan paling otoritatif di Indonesia (MUI), sekaligus pemimpin tertinggi (Syuriah) NU yang memiliki puluhan juta umat yang menjadi pengikutnya.
Kendatipun Ahok “merasa bersalah” –dan seperti biasanya—lalu meminta maaf melalui media, dibarengi “sowan” Menko Luhut Binsar Panjaitan, Kapolda, dan Pangdam Jaya ke rumah KH Maruf Amin (dan mungkin memintakan maaf kepadanya), namun kasus penistaan dan pelecehan ulama ini masih menyisakan banyak persoalan. Misalnya saja, betapa “mulut” terdakwa Ahok tidak pernah jera mengeluarkan “ujaran kebencian” (hate speech) dan kegaduhan sosial.
Publik yang berpikir objektif dan rasional sependapat bahwa sumber dan akar masalah keresahan dan kegaduhan sosial saat ini memang mengerucut pada seorang Ahok. Sayangnya, hingga saat ini, akar dan sumber masalah ini tidak diselesaikan secara adil dan tegas, misalnya dengan penahanan yang bersangkutan, agar terdakwa tidak lagi melakukan tindakan yang memicu keresahan dan kegaduhan sosial.
Sungguh kasus Ahok ini telah menguras energi bangsa, keuangan negara, dan ongkos sosial yang supermahal. Mengapa sang terdakwa penista kitab suci Alquran itu dilindungi dan dibela mati-matian oleh berbagai kekuatan dan rezim saat ini?
Publik mencium aroma tidak sedap dan tidak etis bahwa sebagian aparat pemerintah (penguasa) tidak netral lagi dan terlibat langsung dalam pemenangan Pilkada DKI untuk paslon nomor urut dua itu, dengan menghalalkan secara cara demi memuaskan syahwat kekuasaannya.
Kasus pelecehan ulama ini tidak hanya mengundang kemarahan dan kegeraman mayoritas umat Islam, tapi juga sangat potensial mengadu domba dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Pelecehan Ahok terhadap ulama juga terbukti menjadi ancaman serius terhadap integrasi dan masa depan NKRI.
Pelecehan ulama berarti menghina, menista, dan merendahkan marwahnya sebagai pemersatu dan perekat umat dan bangsa. Pelecehan ulama di ruang publik identik dengan “membunuh karakter” para pewaris Nabi (al-Ulama’ warasat al-anbiya’). Jadi, melecehkan ulama berarti melecehkan misi kenabian (Nabi) yang dibawanya.
Kasus pelecehan ulama ini juga membawa hikmah besar bagi umat Islam Indonesia, karena kesadaran dan komitmen kolektif umat untuk membela Islam dan berjihad melawan “musuh bersama” (common enemy), yaitu siapa pun pemicu keresahan dan disharmoni sosial. Pelecehan ulama adalah pelecehan umat Islam, karena yang dinistakan adalah role model dan rujukan keilmuan dan keagamaan mereka.
Dalam dinamika perjuangan bangsa Indonesia, ulama sejati itu selalu menunjukkan komitmen dan cintanya yang tulus terhadap umat dan bangsa. Bahkan, ulama selalu terdepan dalam membela NKRI tanpa pamrih dan rela mati, karena mati di medan jihad bela negara termasuk mati syahid yang dijamin masuk surga.
Ulama sejati itu berbeda dengan mereka yang “mendompleng” dan menjadi benalu NKRI. Mereka hanya cinta dunia, harta, dan kekuasaan, sehingga aset negara pun dijual demi memuaskan syahwat kekuasaan dan kerakusannya.
Sejarah nasional membuktikan bahwa ulama tidak dapat dipisahkan dari masa lalu, masa kini, dan masa depan NKRI. Karena sejatinya ulama itu pendidik, guru bangsa sekaligus pejuang (mujahid fi sabilillah) dalam menegakkan dakwah amar makruf nahi mungkar demi terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebagai pewaris Nabi, ulama selalu tampil terdepan sebagai teladan kebajikan terbaik (uswah hasanah) bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Sebagai pewaris Nabi pula, ulama memainkan peran penting dalam menyatukan umat, mencerahkan, mencerdaskan, dan memperjuangkan kemaslahatan rakyat. Jadi, ulama tidak hanya hadir di tengah masyarakat dengan memberi solusi cerdas terhadap persoalan umat, tetapi juga sebagai sumber referensi masalah-masalah sosial-keagamaan, sosial-politik, sosial-ekonomi, dan moral.
Secara historis, ulama Indonesia juga memainkan peran penting sebagai garda pembela dan pejuang keutuhan NKRI, karena sejatinya ulama itu “belahan jiwa” umara (pemerintah) yang berlaku adil dan bijaksana.
Jadi, tidak ada alasan untuk membenturkan ulama dengan umara, karena sangat kontraproduktif dan dapat mendistorsi kontribusi ulama dalam pemajuan bangsa dan negara. Hanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan pengikut komunisme yang selalu mengadu domba, memusuhi, dan membunuhi ulama.
Dengan spirit saling mengedukasi demi tegaknya kebenaran (tawashaw bi al-haqq) dan saling berkontribusi dalam mengindahkan kesabaran (tawashaw bi as-shabr), ulama tidak pernah merasa lelah dalam berkontribusi pemikiran, gagasan, dan pencerahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Simbiosis mutualisme antara ulama dan umara perlu dikembangkan atas dasar saling menghargai, menghormati, dan memberdayakan; tidak atas dasar saling mencurigai dan menista. Ulama dan umara sudah semestinya bergandeng tangan, bersinergi dan selalu hadir dalam memberikan pelayanan publik secara adil, setara, dan berpihak kepada rakyat.
Keduanya harus membangun tali silaturahmi dan forum komunikasi efektif dan produktif yang mengedepankan ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan). Karena itu, pemimpin bangsa ini harus kembali belajar sejarah nasional dan mengapresiasi peran kontributif dan solutif ulama.
Sinergi ulama dan umara dalam membangun peradaban Indonesia berkemajuan di masa depan juga sangat diperlukan. Jika tidak hendak mundur ke belakang (set back), pelecehan ulama harus diakhiri karena berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa, di samping juga dapat menyebabkan “kualat” (terkena karma) bagi sang penista atau peleceh.
Dalam memainkan peran sosialnya, ulama juga harus bersikap istikamah (konsisten dan teguh pendirian) dan berjuang sepenuh hati untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan demi terwujudnya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (negeri yang gemah ripah loh jinawi dan dalam lindungan dan ampunan Allah SWT) di bumi nusantara tercinta.
Walhasil, jangan pernah melecehkan ulama karena di belakangan ulama ada sekian banyak umat yang setia kepadanya. Ulama itu pewaris para nabi dalam membela kebenaran agama dan keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jangan pula melecehkan ulama dengan tidak santun, karena berimplikasi pada disintegrasi dan disharmoni sosial. Pelecehan ulama menandakan ketidakpahaman terhadap sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan NKRI dari pengkhianatan dan persekongkolan jahat PKI di era Orde Lama.
(poe)