Investasi Usia Dini

Rabu, 01 Februari 2017 - 14:38 WIB
Investasi Usia Dini
Investasi Usia Dini
A A A
Elfindri
Profesor Ekonomi SDM dan Direktur Center for Human and SDGs, Universitas Andalas

JIKA kita ingin memilih mana di antara prioritas pembangunan yang mesti didahulukan, apakah membangun fisik, manusia, atau ekonomi? Maka, literatur ekonomi untuk negara sedang berkembang cenderung menjawab.

Dahulukanlah pembangunan manusia ketimbang memaksakan pembangunan fisik dan ekonomi. Pembangunan fisik selain memerlukan pembiayaan besar, dinikmati oleh mereka yang berada, dan memerlukan biaya penyusutan yang juga besar. Sementara untuk membangun manusia, akan berdampak eksternalitas yang positif, berupa manfaat sosial “social benefit“ dan individu “individual benefit“.

Kenapa? Karena, pembangunan manusia akan terpenuhinya keadilan, memperkuat manusia untuk menghadapi tekanan eksternal agar tetap bisa eksis dalam hidup, dan mampu menjaga lingkungan.

Tentunya pembangunan manusia itu diyakini dengan cara investasi yang diarahkan untuk pencapaian gizi dan kesehatan seimbang, investasi untuk kognitif, psikomotorik, karakter, dan mampu hidup berdampingan “to live together“, serta investasi learning by doing. Semua investasi ini mesti dilaksanakan semasa tahapan daur hidup manusia.

Memastikan antara satu tahapan berjalan dan pindah pada tahapan selanjutnya yang lebih mantap. James Heckman, peraih Nobel Ekonomi, pada 2008 telah menemukan simulasi investasi.

Di antara daur hidup manusia, investasi manusia semasa usia 0-3 tahun memberikan tingkat pengembalian investasi tertinggi, kemudian disusul oleh investasi kesehatan, gizi, dan prasekolah untuk usia 4-5 tahun, dan masa sekolah 7-24 tahun. Cukup bagi kita bukti bahwa investasi usia dini tidak terelakkan. Investasi kesehatan dan gizi, investasi untuk akses prapendidikan usia dini (pra- PAUD) dan usia sekolah.

Capaian Gizi
Penulis baru saja mengulang kembali penelitian bagaimana capaian status gizi balita di dua kecamatan, Bonjol dan Kamang, di Sumatera Barat. Penelitian pertama pada 1991 dan diulang kembali pada desa-desa yang sama pada 2016. Hasil kajian penulis menemukan angka kurang gizi September 2016 di dua kecamatan itu sebesar 18% untuk kategori status gizi buruk (3% di bawah -3 SD) dan kurang (16% di bawah -2 SD).

Angka ini telah jauh menurun dibandingkan dengan kondisi pada 1991, pada kisaran 29%. Artinya, dalam dua puluh tahun pembangunan, angka kurang gizi buruk dan sedang dapat ditekan sebesar 11% poin.

Data yang penulis kumpulkan tidak banyak berbeda dengan data yang dikumpulkan untuk 480 kabupaten di Indonesia oleh Departemen Kesehatan Nasional. Data kurang gizi anak balita masih ditemukan sekitar 18.7%, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan di dua kecamatan.

Upaya untuk memahami penurunan angka kurang gizi jelas disebabkan manfaat laju pertumbuhan ekonomi selama lebih kurang dua puluh tahun terakhir, kemajuan pendidikan ibu, kemajuan teknologi kesehatan, perbaikan tingkah laku reproduksi dan hidup bersih masyarakat, serta semakin baiknya konsumsi gizi ibu hamil dan anak balita. Tentu masih ada agenda besar, mengingat anak-anak yang masih dalam rentang gizi buruk dan kurang masih cukup besar.

Secara nasional, perkiraan kami menemukan sekitar 4,2 juta anak di Indonesia, dari 22 juta anak usia 0-4 tahun mesti mendapatkan perhatian khusus. Agar, proses investasi dini untuk kelompok anak ini akan membuahkan hasil, berupa kesiapan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.

Integrasi BOS dan PMT-AS
Gizi inklusif menjadi agenda tersendiri pada masa yang akan datang. Prioritas untuk mencapai sasaran program kesehatan dan gizi pada 1000 hari pertama tidak saja dapat mengandalkan pada pengembangan sistem layanan kesehatan dan gizi (pengaruh teknologi) yang ada. Namun, juga pada perbaikan tingkah laku hidup bersih dan kemampuan untuk mengombinasikan pangan agar keperluan kalori sejalandenganpemenuhan zat gizi mikro; protein dan vitamin.

Upaya-upaya untuk mengampanyekan hidup bersih dan siap menjarangkan kelahiran melalui Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu instrumen proses investasi anak. Selain itu, yang paling memungkinkan adalah diperlukan kesadaran bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk mewujudkan capaian gizi yang baik adalah kondisi awal investasi dini untuk anak-anak Indonesia. Masalah gizi tidak saja pada usia 0-5 tahun, tetapi juga pada usia sekolah dasar.

Instrumen kebijakan pemerintah melalui dinas pendidikan dan kesehatan secara sinergi dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang di dalamnya termasuk pada pemenuhan sekitar 25% dari keperluan kalori dan protein anak-anak.

Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) adalah masih relevan untuk mewujudkan agar kesehatan anakanak bisa terjamin, selain dari kebersihan mereka dan lingkungan tempat mereka bermain.

Betapa di negara maju program PMT-AS masih relevan dijadikan sebagai salah satu instrumen kebijakan di sekolah. Jika di negara maju, pemenuhan gizi anak melalui siswa membiasakan untuk membawa ransumnya dari rumah dan dimakan di sekolah. Bentuk kesadaran ini datang dari sistem yang dibangun.

Untuk Indonesia, alangkah banyak manfaatnya anak-anak (kalau mungkin selektif) dapat memperoleh kesempatan ini selama mereka mendapatkan pendidikan. Prioritas dapat diwujudkan pada kelompok masyarakat yang tinggi risiko tidak terlayani oleh program pembangunan selama ini, alias kelompok inklusif.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0766 seconds (0.1#10.140)