Babak Akhir Amnesti Pajak
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
LONCENG pergantian tahun baru 2017 menandakan dimulainya babak baru program amnesti pajak (tax amnesty). Kini momen yang sangat-sangat langka ini telah memasuki periode terakhir.
Dalam tiga bulan ke depan, pemerintah akan melontarkan peluru-peluru terakhirnya untuk mengejar target penerimaan. Secara implisit hasil sementara yang telah terkumpul belum tampak meyakinkan, karena tren realisasi penerimaan tidak bekerja secara impresif.
Sebagai bahan kontemplasinya, jika kita bandingkan jumlah dana tebusan yang dihasilkan antara periode pertama dengan yang kedua, perbedaan keduanya tampak jelas.
Di periode pertama, nama Indonesia sudah melambung sebagai pemegang rekor baru dunia berkat penerimaan dana tebusan yang mencapai Rp97,2 triliun.
Tiga bulan berselang atau setelah periode kedua berjalan, tambahan dana tebusan hanya tercapai Rp9,87 triliun. Jika diakumulasikan sejak periode pertama, total penerimaan baru mencapai Rp107,02 triliun atau berkisar 64,86% dari total target penerimaan.
Kabar bahagianya, dana tebusan tax amnesty berhasil menyelamatkan wajah pemerintah dari ancaman defisit fiskal yang lebih besar. Dari laporan sementara realisasi APBNP 2016, total defisit fiskal berhasil ditahan “hanya” 2,46% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Angka ini lebih rendah dari proyeksi penghematan anggaran yang disusun Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebesar 2,50%. Penerimaan pajak yang terkumpul sebesar Rp1.283,6 triliun tetap menjadi elemen yang paling vital karena menyumbang 82,72% pendapatan negara. Jika kemarin hanya mengandalkan penerimaan pajak rutin, total penerimaan dari perpajakan hanya berjumlah Rp1.176,58 triliun dan defisit fiskal akan membengkak menjadi 3,32%.
Meskipun turut menghasilkan cerita-cerita membanggakan, turut terselip beberapa evaluasi yang seharusnya segera diatasi pemerintah. Sebab dari tiga indikator utama yang terdiri atas target penerimaan dana tebusan, dana repatriasi, dan deklarasi harta, hanya realisasi deklarasi harta yang hingga detik ini mampu melebihi target yang ditetapkan.
Sedangkan kedua indikator lain masih diambang kekhawatiran untuk sulit memenuhi target. Padahal jika kita simak ulang penyataan Presiden Joko Widodo dan Menkeu Sri Mulyani pada saat tahap awal peluncuran program tax amnesty, justru realisasi dana tebusan dan repatriasilah yang menjadi target paling diprioritaskan.
Realisasi dana tebusan, sedianya akan digunakan menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan melalui belanja APBN. Sedangkan dana repatriasi jika disesuaikan dengan substansi UU Pengampunan Pajak, akan mengisi pos-pos investasi potensial terutama untuk menggairahkan sektor kredit dan sektor riil.
Kalau sudut pandangnya kita perlebar lagi, banyak tujuan jangka panjang yang akan disulut melalui program tax amnesty, misalnya untuk kuantitas wajib pajak dan perluasan basis pajak. Perluasan ini sekaligus bertujuan untuk memperbaiki tingkat kepatuhan pajak serta meningkatkan tax ratio Indonesia secara simultan.
Nah momentum tax amnesty kemarin sudah berhasil meningkatkan jumlah wajib pajak meskipun sifatnya masih “merangkak”. Pada tahap pertama, Ditjen Pajak mengklaim telah menambah sekitar 15.856 wajib pajak baru setelah bergulirnya tax amnesty.
Bahkan di salah satu episode perjalanan, sempat ditemukan delapan nama orang-orang terkaya di Indonesia versi Forbes yang ternyata belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ini menunjukkan kesadaran masyarakat masih cukup prematur terhadap tanggung jawab pajak.
Selain itu, pemerintah juga dapat dikatakan lengah untuk meng-up grade basis data perpajakan, hingga nama-nama wajib pajak prominen (besar) ada yang luput dari kewajiban pajak. Sehingga sekarang tampak logis jika Menkeu mengaku heran dengan raihan tax ratio di 2016 yang masih di bawah 11%.
Kembali ke topik persiapan babak akhir bergulirnya tax amnesty, penulis memandang optimalisasi penerimaan dana tebusan dan repatriasi merupakan sasaran yang sulit untuk ditawar-tawar lagi. Keduanya sangat diharapkan dapat membantu mengentaskan persoalan pembangunan untuk kepentingan jangka pendek.
Berhubung keduanya masih jauh dari jangkauan target, tulisan ini akan difokuskan untuk menggelar evaluasi ringkas hasil realisasinya. Untuk mengawali pembahasan, mari kita flashback sejenak beberapa strategi utama yang telah dijalankan selama perjalanan dua periode ini.
Pertama, kejelian pemerintah akan sangat diuji di dalam strategi mengejar penerimaan dari wajib-wajib pajak potensial. Ceruk yang dapat digali ibaratnya sudah semakin mengecil karena sudah dikeruk habis-habisan di periode pertama dan kedua.
Dalam beberapa dekade terakhir para pelaku di sektor industri minyak bumi dan gas (migas) maupun yang nonmigas sudah sangat dieksploitasi. Hingga ada yang menganggap pemerintah dikatakan sedikit abai dengan eksistensi perpajakan dari profesi lainnya.
Hasilnya sudah dapat kita cetak berdasarkan fenomena di dua tahun terakhir, di mana hasil perpajakan kita sangat terpengaruh dengan kinerja di sektor industri migas maupun nonmigas. Langkah pemerintah di periode kedua untuk fokus sosialisasi pada sembilan profesi dengan kategori penghasilan mewah (di antaranya terdapat profesi dokter, notaris, pengacara, dan komisaris BUMN) dan para pelaku UMKM, sudah sangat relevan untuk kepentingan ekstentifikasi dan intensifikasi pajak.
Menkeu bahkan mengatakan 70% peserta yang terlibat di tahap kedua berasal dari para pelaku UMKM. Yang perlu kita amati sekarang, bagaimana dengan kinerja realisasinya?
Kalau dari ukuran penerimaan per wajib pajak, jelas akan sangat njomplang karena dari sembilan profesi yang dituju, dan khususnya pelaku UMKM yang berada di level prominen masih sangat langka. Sehingga ada yang mengatakan bahwa wajar kalau pendapatan tahap kedua tidak sebesar realisasi pada tahap pertama.
Namun yang perlu kita ingat lagi, kontribusi UMKM khususnya telah menyentuh sebanyak 60% terhadap pembentukan PDB. Angka tersebut bukanlah potensi yang dapat kita abaikan.Sementara ini Menkeu mengaku belum cukup puas dengan kinerja perpajakan terhadap UMKM.
Medan kesulitannya bisa saja terjadi pada tahap penghimpunan nilai pajaknya,apalagi jumlah UMKM konon mencapai puluhan juta unit dan sebagian besar berkutat di sektor informal. Oleh karena itu, beberapa kelonggaran yang sudah disediakan seperti diperbolehkannya UMKM untuk melakukan manual dengan tulis tangan, serta pendampingan dari instansi pajak dan bank persepsi yang berwenang, perlu dipertahankan.
Bahkan kalau perlu keterlibatan kelompok-kelompok yang menaungi berbagai profesi dan UMKM, perlu lebih diakomodasi untuk memperkuat modal sosial dengan objek-objek pajak di dalamnya.
Kedua, janji mengenai ide reformasi perpajakan sudah seharusnya untuk dikabarkan sejauh mana progresivitasnya. Karena ide ini sangat melekat dengan kepercayaan dan tingkat kepatuhan publik terhadap kinerja perpajakan.
Urusan reformasi tidak terbatas hanya dengan segala tetek-bengek yang berurusan langsung dengan sektor perpajakan, seperti perbaikan data base, sarana dan prasarana layanan, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Jangan sampai dilupakan berikutnya ialah faktor modal sosial antara negara dan rakyat.
Apalagi banyak “luka” yang menganga cukup lebar karena kapasitas pemerintah yang sangat terbatas untuk merawat kepercayaan publik. Hambatannya sering muncul dari adanya perilaku koruptif, perencanaan dan pengelolaan keuangan negara yang kurang kredibel, kebijakan yang “mengancam” daya beli, serta politik utang luar negeri yang penuh polemik, dan poin-poin tersebut mayoritas berada di pundak kekuasaan pemerintah.
Ide pengetatan punishment akan berjalan sia-sia jika modal sosial yang ada belum cukup menggambarkan hubungan kolaborasi yang cukup ideal. Gejala rendahnya tingkat modal sosial sebenarnya sudah tampak akut dan gamblang.
Asumsi terbaru bisa kita lihat dari rendahnya persentase dana repatriasi dan jumlah wajib pajak yang terlibat selama program tax amnesty. Baik Presiden maupun Menkeu sama-sama mengatakan partisipasi wajib pajak masih cukup minim karena berada di rentang 2-3% dari total wajib pajak.
Dan ketiga, realisasi dana repatriasi harus segera diputar untuk membiayai berbagai pos-pos investasi. Langkah ini akan mendorong eskalasi tingkat kepercayaan publik dan ide-ide yang bermuara pada penguatan daya beli dalam satu jalan sekaligus.
Rendahnya penerimaan dana repatriasi bisa jadi karena para wajib pajak belum merasa aman dengan proyeksi investasi yang diberikan pemerintah. Terlebih lagi hingga saat ini, dana repatriasi yang sudah di atas Rp100 triliun masih mengambang di brangkas lembaga keuangan Indonesia alias belum mengalir ke sektor permodalan.
Dengan likuiditas perbankan yang sedianya semakin longgar, perlu segera dialirkan ke sektor-sektor yang membutuhkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan konsumsinya yang sedang terbelenggu. Pertandanya dapat kita lihat dari perolehan pajak pertambahan nilai (PPN) yang realisasinya di 2016 terhitung mengalami kontraksi. Hasil ini menunjukkan ada kegiatan produksi/konsumsi yang tengah tertahan.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
LONCENG pergantian tahun baru 2017 menandakan dimulainya babak baru program amnesti pajak (tax amnesty). Kini momen yang sangat-sangat langka ini telah memasuki periode terakhir.
Dalam tiga bulan ke depan, pemerintah akan melontarkan peluru-peluru terakhirnya untuk mengejar target penerimaan. Secara implisit hasil sementara yang telah terkumpul belum tampak meyakinkan, karena tren realisasi penerimaan tidak bekerja secara impresif.
Sebagai bahan kontemplasinya, jika kita bandingkan jumlah dana tebusan yang dihasilkan antara periode pertama dengan yang kedua, perbedaan keduanya tampak jelas.
Di periode pertama, nama Indonesia sudah melambung sebagai pemegang rekor baru dunia berkat penerimaan dana tebusan yang mencapai Rp97,2 triliun.
Tiga bulan berselang atau setelah periode kedua berjalan, tambahan dana tebusan hanya tercapai Rp9,87 triliun. Jika diakumulasikan sejak periode pertama, total penerimaan baru mencapai Rp107,02 triliun atau berkisar 64,86% dari total target penerimaan.
Kabar bahagianya, dana tebusan tax amnesty berhasil menyelamatkan wajah pemerintah dari ancaman defisit fiskal yang lebih besar. Dari laporan sementara realisasi APBNP 2016, total defisit fiskal berhasil ditahan “hanya” 2,46% produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Angka ini lebih rendah dari proyeksi penghematan anggaran yang disusun Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebesar 2,50%. Penerimaan pajak yang terkumpul sebesar Rp1.283,6 triliun tetap menjadi elemen yang paling vital karena menyumbang 82,72% pendapatan negara. Jika kemarin hanya mengandalkan penerimaan pajak rutin, total penerimaan dari perpajakan hanya berjumlah Rp1.176,58 triliun dan defisit fiskal akan membengkak menjadi 3,32%.
Meskipun turut menghasilkan cerita-cerita membanggakan, turut terselip beberapa evaluasi yang seharusnya segera diatasi pemerintah. Sebab dari tiga indikator utama yang terdiri atas target penerimaan dana tebusan, dana repatriasi, dan deklarasi harta, hanya realisasi deklarasi harta yang hingga detik ini mampu melebihi target yang ditetapkan.
Sedangkan kedua indikator lain masih diambang kekhawatiran untuk sulit memenuhi target. Padahal jika kita simak ulang penyataan Presiden Joko Widodo dan Menkeu Sri Mulyani pada saat tahap awal peluncuran program tax amnesty, justru realisasi dana tebusan dan repatriasilah yang menjadi target paling diprioritaskan.
Realisasi dana tebusan, sedianya akan digunakan menutupi kebutuhan pembiayaan pembangunan melalui belanja APBN. Sedangkan dana repatriasi jika disesuaikan dengan substansi UU Pengampunan Pajak, akan mengisi pos-pos investasi potensial terutama untuk menggairahkan sektor kredit dan sektor riil.
Kalau sudut pandangnya kita perlebar lagi, banyak tujuan jangka panjang yang akan disulut melalui program tax amnesty, misalnya untuk kuantitas wajib pajak dan perluasan basis pajak. Perluasan ini sekaligus bertujuan untuk memperbaiki tingkat kepatuhan pajak serta meningkatkan tax ratio Indonesia secara simultan.
Nah momentum tax amnesty kemarin sudah berhasil meningkatkan jumlah wajib pajak meskipun sifatnya masih “merangkak”. Pada tahap pertama, Ditjen Pajak mengklaim telah menambah sekitar 15.856 wajib pajak baru setelah bergulirnya tax amnesty.
Bahkan di salah satu episode perjalanan, sempat ditemukan delapan nama orang-orang terkaya di Indonesia versi Forbes yang ternyata belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ini menunjukkan kesadaran masyarakat masih cukup prematur terhadap tanggung jawab pajak.
Selain itu, pemerintah juga dapat dikatakan lengah untuk meng-up grade basis data perpajakan, hingga nama-nama wajib pajak prominen (besar) ada yang luput dari kewajiban pajak. Sehingga sekarang tampak logis jika Menkeu mengaku heran dengan raihan tax ratio di 2016 yang masih di bawah 11%.
Kembali ke topik persiapan babak akhir bergulirnya tax amnesty, penulis memandang optimalisasi penerimaan dana tebusan dan repatriasi merupakan sasaran yang sulit untuk ditawar-tawar lagi. Keduanya sangat diharapkan dapat membantu mengentaskan persoalan pembangunan untuk kepentingan jangka pendek.
Berhubung keduanya masih jauh dari jangkauan target, tulisan ini akan difokuskan untuk menggelar evaluasi ringkas hasil realisasinya. Untuk mengawali pembahasan, mari kita flashback sejenak beberapa strategi utama yang telah dijalankan selama perjalanan dua periode ini.
Pertama, kejelian pemerintah akan sangat diuji di dalam strategi mengejar penerimaan dari wajib-wajib pajak potensial. Ceruk yang dapat digali ibaratnya sudah semakin mengecil karena sudah dikeruk habis-habisan di periode pertama dan kedua.
Dalam beberapa dekade terakhir para pelaku di sektor industri minyak bumi dan gas (migas) maupun yang nonmigas sudah sangat dieksploitasi. Hingga ada yang menganggap pemerintah dikatakan sedikit abai dengan eksistensi perpajakan dari profesi lainnya.
Hasilnya sudah dapat kita cetak berdasarkan fenomena di dua tahun terakhir, di mana hasil perpajakan kita sangat terpengaruh dengan kinerja di sektor industri migas maupun nonmigas. Langkah pemerintah di periode kedua untuk fokus sosialisasi pada sembilan profesi dengan kategori penghasilan mewah (di antaranya terdapat profesi dokter, notaris, pengacara, dan komisaris BUMN) dan para pelaku UMKM, sudah sangat relevan untuk kepentingan ekstentifikasi dan intensifikasi pajak.
Menkeu bahkan mengatakan 70% peserta yang terlibat di tahap kedua berasal dari para pelaku UMKM. Yang perlu kita amati sekarang, bagaimana dengan kinerja realisasinya?
Kalau dari ukuran penerimaan per wajib pajak, jelas akan sangat njomplang karena dari sembilan profesi yang dituju, dan khususnya pelaku UMKM yang berada di level prominen masih sangat langka. Sehingga ada yang mengatakan bahwa wajar kalau pendapatan tahap kedua tidak sebesar realisasi pada tahap pertama.
Namun yang perlu kita ingat lagi, kontribusi UMKM khususnya telah menyentuh sebanyak 60% terhadap pembentukan PDB. Angka tersebut bukanlah potensi yang dapat kita abaikan.Sementara ini Menkeu mengaku belum cukup puas dengan kinerja perpajakan terhadap UMKM.
Medan kesulitannya bisa saja terjadi pada tahap penghimpunan nilai pajaknya,apalagi jumlah UMKM konon mencapai puluhan juta unit dan sebagian besar berkutat di sektor informal. Oleh karena itu, beberapa kelonggaran yang sudah disediakan seperti diperbolehkannya UMKM untuk melakukan manual dengan tulis tangan, serta pendampingan dari instansi pajak dan bank persepsi yang berwenang, perlu dipertahankan.
Bahkan kalau perlu keterlibatan kelompok-kelompok yang menaungi berbagai profesi dan UMKM, perlu lebih diakomodasi untuk memperkuat modal sosial dengan objek-objek pajak di dalamnya.
Kedua, janji mengenai ide reformasi perpajakan sudah seharusnya untuk dikabarkan sejauh mana progresivitasnya. Karena ide ini sangat melekat dengan kepercayaan dan tingkat kepatuhan publik terhadap kinerja perpajakan.
Urusan reformasi tidak terbatas hanya dengan segala tetek-bengek yang berurusan langsung dengan sektor perpajakan, seperti perbaikan data base, sarana dan prasarana layanan, dan kebijakan-kebijakan lainnya. Jangan sampai dilupakan berikutnya ialah faktor modal sosial antara negara dan rakyat.
Apalagi banyak “luka” yang menganga cukup lebar karena kapasitas pemerintah yang sangat terbatas untuk merawat kepercayaan publik. Hambatannya sering muncul dari adanya perilaku koruptif, perencanaan dan pengelolaan keuangan negara yang kurang kredibel, kebijakan yang “mengancam” daya beli, serta politik utang luar negeri yang penuh polemik, dan poin-poin tersebut mayoritas berada di pundak kekuasaan pemerintah.
Ide pengetatan punishment akan berjalan sia-sia jika modal sosial yang ada belum cukup menggambarkan hubungan kolaborasi yang cukup ideal. Gejala rendahnya tingkat modal sosial sebenarnya sudah tampak akut dan gamblang.
Asumsi terbaru bisa kita lihat dari rendahnya persentase dana repatriasi dan jumlah wajib pajak yang terlibat selama program tax amnesty. Baik Presiden maupun Menkeu sama-sama mengatakan partisipasi wajib pajak masih cukup minim karena berada di rentang 2-3% dari total wajib pajak.
Dan ketiga, realisasi dana repatriasi harus segera diputar untuk membiayai berbagai pos-pos investasi. Langkah ini akan mendorong eskalasi tingkat kepercayaan publik dan ide-ide yang bermuara pada penguatan daya beli dalam satu jalan sekaligus.
Rendahnya penerimaan dana repatriasi bisa jadi karena para wajib pajak belum merasa aman dengan proyeksi investasi yang diberikan pemerintah. Terlebih lagi hingga saat ini, dana repatriasi yang sudah di atas Rp100 triliun masih mengambang di brangkas lembaga keuangan Indonesia alias belum mengalir ke sektor permodalan.
Dengan likuiditas perbankan yang sedianya semakin longgar, perlu segera dialirkan ke sektor-sektor yang membutuhkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan konsumsinya yang sedang terbelenggu. Pertandanya dapat kita lihat dari perolehan pajak pertambahan nilai (PPN) yang realisasinya di 2016 terhitung mengalami kontraksi. Hasil ini menunjukkan ada kegiatan produksi/konsumsi yang tengah tertahan.
(poe)