Ironi Nirliterasi di Tengah Revolusi Media Sosial
A
A
A
Syamsul Arifin
Guru Besar dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang
HANYA dalam hitungan detik, tiga gambar dan narasi yang sama, masuk ke grup WhatsApp saya. Peristiwa seperti ini tidak hanya terjadi sekali.
Karena saya memiliki banyak grup WhatsApp—sebagian besar karena undangan menjadi anggota grup, hampir di setiap waktu selalu ada notifikasi. Sekali tempo notifikasi itu ditindaklanjuti dengan membuka pesan, terkadang dalam bentuk gambar dan sebagiannya lagi berupa narasi atau tulisan.
Tentu tidak semua pesan yang masuk terutama via WhatsApp bisa diterima sebagai suatu fakta dan kebenaran yang bisa menambah pengetahuan. Sebagian di antara kita, atau bahkan setiap dari kita, (mungkin) pernah menerima pesan dalam bentuk tulisan atau gambar yang bernada provokatif, menyesatkan, dan sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketika menerima berita-berita palsu (hoax) yang demikian itu, rasa jengkel sudah pasti kita alami.
Sayangnya, banyak tulisan atau gambar berita palsu seperti itu terus memenuhi jejaring sosial yang ada sekarang, dan ironisnya banyak orang yang memberi komentar dan mempercayainya. Padahal, sumber dan data informasi yang disajikan tak lebih dari sekadar bohong.
Mencermati fenomena yang demikian, satu pertanyaan yang patut kita ajukan, yaitu kenapa banyak orang mudah percaya terhadap berbagai berita hoax, bahkan ikut-ikutan menyebarkannya, padahal infrastruktur yang menjamin ketersediaan informasi sudah cukup berlimpah di era teknologi informasi seperti saat ini?
Peran Media Sosial
Menurut riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) 2015, terdapat 88,1 juta jiwa dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 255 juta jiwa yang hari ini terhubung dengan internet. Dari 88,1 juta netizen itu, saluran media sosial adalah yang paling banyak dikunjungi. Setiap hari ada sekitar 76 juta (87,4%) netizen yang melakukan perbincangan di jejaring sosial.
Dengan keberadaan 76 juta netizen itu, kita bisa bayangkan bagaimana sesaknya perbincangan di jejaring sosial seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, dan YouTube. Dengan sekali klik, tanpa berpikir panjang, tulisan atau gambar-gambar hoax itu diproduksi demi menaikkan peringkat situs tertentu, atau sengaja dibuat untuk menjatuhkan orang dan kelompok tertentu.
Ironisnya, setiap individu dengan mudahnya memviralkan berbagai tulisan dan gambar tersebut sehingga seringkali memicu kebencian.
Dengan demikian, hampir tidak ada batasan moral, etika, sopan, dan santun yang bisa diterapkan di dunia yang banyak digemari anak-anak muda tersebut.
Maka, tidak heran bila hari-hari ini dengan sangat mudahnya ujaran kebencian dan kata permusuhan itu kita jumpai di berbagai saluran media sosial. Yang awalnya teman lama, karena berbeda pilihan politik atau pandangan terhadap tafsir agama tertentu, kemudian menjadi saling olok dan caci maki di media sosial.
Jelas saja, penggunaan media sosial yang penuh dengan potret kebencian ini jauh dari asas kemanfaatan. Kehadiran media dalam jaringan yang mulanya bisa menjadi alat bagi masifitas gerakan sosial baru, seperti yang sudah terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah, malah belum berperan sebagaimana mestinya di Indonesia.
Masih banyak kita temukan tulisan bodong yang menyudutkan kelompok, agama, dan penganut keyakinan tertentu; serta ungkapan peyoratif yang menjatuhkan harga diri sebuah pemerintahan di jejaring sosial.
Bersemainya tulisan-tulisan bodong (terutama yang berbasiskan keagamaan) dan maraknya ujaran kebencian yang dengan mudah kita jumpai di media sosial mengindikasikan satu hal, yakni rendahnya tingkat literasi di negeri ini.
Meski berbagai infrastruktur yang mendukung, seperti perpustakaan, koran, toko buku, e-paper, dan e-journal, telah banyak tersedia, kenyataan hari ini menggambarkan masyarakat kita tetap enggan membiasakan diri melakukan pembacaan secara berulang dan menyeluruh atas setiap informasi yang diterima.
Kondisi ini sangat ironis, mengingat akses internet di Indonesia relatif cepat dan setiap individu senantiasa terhubung dengan mobile phone, serta ketersediaan komputer juga sangat mencukupi. Kemudian, sebagaimana data APJII 2015 bahwa hampir setiap setengah jam sekali orang memeriksa media sosial mereka.
Jadi, bukan soal ketersediaan akses mendapatkan bahan bacaan yang menjadi persoalan utama bangsa kita menjadi illiterate, tapi lebih pada sikap malas yang merajalela dan membeludaknya perilaku instan.
Tak pelak, data WorldWorlds Most Literate Nation, yang disusun oleh Central Connecticut State University belum lama ini membelalakkan mata kita semua. Laporan hasil riset tersebut menyebutkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia berada di urutan paling belakang nomor dua setelah Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika.
Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa bangsa yang masuk dalam kategori illiterate, masyarakatnya cenderung suka mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar, berperilaku brutal dan suka merusak, serta kerap melanggar hak asasi manusia. Miris karena perilaku-perilaku tersebut dengan mudah kita jumpai di negeri ini sekarang, baik yang berada di dunia nyata maupun maya.
Dengan berbagai infrastruktur yang tersedia, baik jaringan internet maupun perpustakaan dan toko buku yang berjubel, mestinya masyarakat Indonesia bisa bersanding dengan sejumlah negara yang masuk pada peringkat atas sebagai negara yang sadar literasi seperti Finlandia, Norwegia, Islandia, atau Denmark, kemudian bersikap kritis terhadap berbagai pemberitaan atau berita palsu yang beredar di media sosial.
Untuk menyikapi fenomena yang elegis ini, ada baiknya kita kembali mempelajari filsafat fenomenologi, yang mengajarkan kepada kita supaya senantiasa bersikap kritis dan konfirmatif terhadap setiap informasi, pandangan dan paradigma pemikiran yang kita terima.
Sebagaimana ungkapan Edmund Husserl yang diterima secara luas oleh kalangan fenomenolog bahwa setiap pandangan pertama yang kita terima mesti diikuti dengan pandangan kedua; setiap first look harus diikuti dengan second look supaya kita dapat menyingkap hijab-hijab kebenaran yang dimaksud.
Sayangnya, kita tidak menggubris Edmund Husserl. Akibat itu, alih-alih handphone, bahkan tanpa kita sadari, pikiran kita berubah fungsi menjadi tong sampah beragam informasi yang tidak bermutu.
Guru Besar dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang
HANYA dalam hitungan detik, tiga gambar dan narasi yang sama, masuk ke grup WhatsApp saya. Peristiwa seperti ini tidak hanya terjadi sekali.
Karena saya memiliki banyak grup WhatsApp—sebagian besar karena undangan menjadi anggota grup, hampir di setiap waktu selalu ada notifikasi. Sekali tempo notifikasi itu ditindaklanjuti dengan membuka pesan, terkadang dalam bentuk gambar dan sebagiannya lagi berupa narasi atau tulisan.
Tentu tidak semua pesan yang masuk terutama via WhatsApp bisa diterima sebagai suatu fakta dan kebenaran yang bisa menambah pengetahuan. Sebagian di antara kita, atau bahkan setiap dari kita, (mungkin) pernah menerima pesan dalam bentuk tulisan atau gambar yang bernada provokatif, menyesatkan, dan sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ketika menerima berita-berita palsu (hoax) yang demikian itu, rasa jengkel sudah pasti kita alami.
Sayangnya, banyak tulisan atau gambar berita palsu seperti itu terus memenuhi jejaring sosial yang ada sekarang, dan ironisnya banyak orang yang memberi komentar dan mempercayainya. Padahal, sumber dan data informasi yang disajikan tak lebih dari sekadar bohong.
Mencermati fenomena yang demikian, satu pertanyaan yang patut kita ajukan, yaitu kenapa banyak orang mudah percaya terhadap berbagai berita hoax, bahkan ikut-ikutan menyebarkannya, padahal infrastruktur yang menjamin ketersediaan informasi sudah cukup berlimpah di era teknologi informasi seperti saat ini?
Peran Media Sosial
Menurut riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) 2015, terdapat 88,1 juta jiwa dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 255 juta jiwa yang hari ini terhubung dengan internet. Dari 88,1 juta netizen itu, saluran media sosial adalah yang paling banyak dikunjungi. Setiap hari ada sekitar 76 juta (87,4%) netizen yang melakukan perbincangan di jejaring sosial.
Dengan keberadaan 76 juta netizen itu, kita bisa bayangkan bagaimana sesaknya perbincangan di jejaring sosial seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, dan YouTube. Dengan sekali klik, tanpa berpikir panjang, tulisan atau gambar-gambar hoax itu diproduksi demi menaikkan peringkat situs tertentu, atau sengaja dibuat untuk menjatuhkan orang dan kelompok tertentu.
Ironisnya, setiap individu dengan mudahnya memviralkan berbagai tulisan dan gambar tersebut sehingga seringkali memicu kebencian.
Dengan demikian, hampir tidak ada batasan moral, etika, sopan, dan santun yang bisa diterapkan di dunia yang banyak digemari anak-anak muda tersebut.
Maka, tidak heran bila hari-hari ini dengan sangat mudahnya ujaran kebencian dan kata permusuhan itu kita jumpai di berbagai saluran media sosial. Yang awalnya teman lama, karena berbeda pilihan politik atau pandangan terhadap tafsir agama tertentu, kemudian menjadi saling olok dan caci maki di media sosial.
Jelas saja, penggunaan media sosial yang penuh dengan potret kebencian ini jauh dari asas kemanfaatan. Kehadiran media dalam jaringan yang mulanya bisa menjadi alat bagi masifitas gerakan sosial baru, seperti yang sudah terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah, malah belum berperan sebagaimana mestinya di Indonesia.
Masih banyak kita temukan tulisan bodong yang menyudutkan kelompok, agama, dan penganut keyakinan tertentu; serta ungkapan peyoratif yang menjatuhkan harga diri sebuah pemerintahan di jejaring sosial.
Bersemainya tulisan-tulisan bodong (terutama yang berbasiskan keagamaan) dan maraknya ujaran kebencian yang dengan mudah kita jumpai di media sosial mengindikasikan satu hal, yakni rendahnya tingkat literasi di negeri ini.
Meski berbagai infrastruktur yang mendukung, seperti perpustakaan, koran, toko buku, e-paper, dan e-journal, telah banyak tersedia, kenyataan hari ini menggambarkan masyarakat kita tetap enggan membiasakan diri melakukan pembacaan secara berulang dan menyeluruh atas setiap informasi yang diterima.
Kondisi ini sangat ironis, mengingat akses internet di Indonesia relatif cepat dan setiap individu senantiasa terhubung dengan mobile phone, serta ketersediaan komputer juga sangat mencukupi. Kemudian, sebagaimana data APJII 2015 bahwa hampir setiap setengah jam sekali orang memeriksa media sosial mereka.
Jadi, bukan soal ketersediaan akses mendapatkan bahan bacaan yang menjadi persoalan utama bangsa kita menjadi illiterate, tapi lebih pada sikap malas yang merajalela dan membeludaknya perilaku instan.
Tak pelak, data WorldWorlds Most Literate Nation, yang disusun oleh Central Connecticut State University belum lama ini membelalakkan mata kita semua. Laporan hasil riset tersebut menyebutkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Indonesia berada di urutan paling belakang nomor dua setelah Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika.
Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa bangsa yang masuk dalam kategori illiterate, masyarakatnya cenderung suka mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar, berperilaku brutal dan suka merusak, serta kerap melanggar hak asasi manusia. Miris karena perilaku-perilaku tersebut dengan mudah kita jumpai di negeri ini sekarang, baik yang berada di dunia nyata maupun maya.
Dengan berbagai infrastruktur yang tersedia, baik jaringan internet maupun perpustakaan dan toko buku yang berjubel, mestinya masyarakat Indonesia bisa bersanding dengan sejumlah negara yang masuk pada peringkat atas sebagai negara yang sadar literasi seperti Finlandia, Norwegia, Islandia, atau Denmark, kemudian bersikap kritis terhadap berbagai pemberitaan atau berita palsu yang beredar di media sosial.
Untuk menyikapi fenomena yang elegis ini, ada baiknya kita kembali mempelajari filsafat fenomenologi, yang mengajarkan kepada kita supaya senantiasa bersikap kritis dan konfirmatif terhadap setiap informasi, pandangan dan paradigma pemikiran yang kita terima.
Sebagaimana ungkapan Edmund Husserl yang diterima secara luas oleh kalangan fenomenolog bahwa setiap pandangan pertama yang kita terima mesti diikuti dengan pandangan kedua; setiap first look harus diikuti dengan second look supaya kita dapat menyingkap hijab-hijab kebenaran yang dimaksud.
Sayangnya, kita tidak menggubris Edmund Husserl. Akibat itu, alih-alih handphone, bahkan tanpa kita sadari, pikiran kita berubah fungsi menjadi tong sampah beragam informasi yang tidak bermutu.
(poe)