Menafsirkan Aksi 212
A
A
A
Fauzan
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
DARI pikiran yang jernih, menafsirkan aksi 2 Desember (212) sebagai politik makar pada pemerintah adalah tafsir yang berlebihan. Namun, dengan pikiran jernih pula, memaknai 212 sebagai demonstrasi biasa, yang sepenuhnya tak berkorelasi dengan kekecewaan massa pada penguasa, juga akan menjadi tafsir yang naif.
Setiap tindakan selalu melahirkan makna tersurat dan tersirat. Makna tersuratnya jelas, banyak umat Islam kecewa dengan Ahok yang tak bisa menjaga lisannya. Ia dinilai menista agama dan karenanya harus diberi pelajaran. Hati umat Islam yang telanjur tersakiti tak mudah terobati.
Di balik makna tersurat itu, tanda tanya soal apakah aksi itu memiliki muatan lain yang sengaja disembunyikan pada publik menjadi tak terelakkan. Terlebih, aksi 212 terjadi setelah pihak kepolisian bergerak cepat menggelar kasus Ahok hingga berujung pada pemidanaan. Logikanya, jika tuntutan utama aksi 411 agar Ahok dipidanakan sudah terpenuhi, tidakkah aksi lanjutan akan melahirkan kebingungan persepsi.
Ini bukan soal keabsahan aksi 212 karena demonstrasi adalah hak warga negara yang harus dipenuhi. Tapi, ini soal efek bola salju yang sudah dan akan ditimbulkannya. Pernyataan Presiden Jokowi soal ada aktor politik di balik aksi 411 dan dugaan Kapolri Tito Karnavian soal kemungkinan terjadi makar pada aksi 212 menunjukkan bahwa pemerintah dan massa aksi berada pada arus yang berbeda haluan.
Silaturahmi Jokowi dengan tokoh-tokoh organisasi Islam terutama Muhammadiyah dan NU pasca-411 dan mediasi Polda Metro Jaya dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI menunjukkan bahwa soal menjaga perdamaian, pemerintah dan massa aksi memiliki visi seirama. Namun, itu tak berarti bahwa secara politik mereka berada di haluan yang sama.
Mediasi dilakukan untuk mengurangi ketegangan, bukan untuk menyamakan kepentingan politik. Mediasi adalah kulit muka yang tersurat, sementara kepentingan merupakan sisi tersirat yang hanya akan diketahui maknanya seiring berjalannya waktu. Kita tentu berharap, apa pun kepentingan itu, dilakukan demi kemaslahatan bangsa.
Anomali Aksi 212
Aksi 212 adalah anomali. Bukan karena aksi itu sendiri, melainkan rentetan fenomena yang mengiringinya. Ini merupakan aksi lanjutan dari demonstrasi 14 Oktober dan 4 November. Jika diperhatikan, rentang masing-masing demonstrasi berjarak tak sampai satu bulan, dengan jumlah massa yang demikian besar.
Terlebih, jika membandingkan rentetan aksi ini dengan berbagai demonstrasi berskala besar yang pernah terjadi di Indonesia, di antaranya Reformasi 1998, Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974, dan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) 1966. Tiga demonstrasi bersejarah tersebut turut dipicu faktor ekonomi, sesuatu yang tidak terjadi pada aksi 411 dan 212.
Reformasi 1998 menguat karena momentum krisis moneter yang memuncak setahun sebelumnya, demonstrasi Malari 1974 dipicu kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kukei ke Indonesia. Kala itu Jepang dinilai telah memeras ekonomi Indonesia dengan menguasai 53% ekspor dan memasok 29% impor ke Indonesia. Demikian pula Tritura 1966 yang turut didukung inflasi tak terkontrol akibat kebijakan pemotongan nilai mata uang yang membebani rakyat.
Anomali lain adalah aktor gerakan yang saat ini tidak melibatkan mahasiswa. Sekalipun sejumlah eksponen gerakan mahasiswa ikut aksi 411 dan 212, mereka bukanlah aktor, melainkan partisipan dan simpatisan.
Pada Reformasi 1998, mahasiswa memiliki peran terbesar, di antaranya dibuktikan dengan ada tragedi Trisakti dan Semanggi. Sementara itu Malari dipelopori Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, dan Tritura di bawah koordinasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Tuntutan aksi 411 dan 212 juga sangat khas. Tak ada tendensi politik yang terbuka, melainkan dicitrakan sebagai aksi bela Islam melawan penista agama. Tak perlu banyak tafsir untuk memaknai Reformasi 1998, Malari 1974, dan Tritura 1966 karena mereka secara terbuka melakukan perlawanan politik.
Pertanda-pertanda inilah yang melahirkan banyak makna. Aksi 411 sudah tuntas, dan sebagian besar kita sepakat bahwa gerakan damai itu adalah misi mulia menjaga martabat umat Islam Indonesia.
Namun, bagaimana dengan aksi 212, apakah kasus penista agama merupakan bungkus sekaligus isi di balik misi 212 itu. Ataukah, kasus itu hanyalah pembungkus, sementara isinya, mungkin saja, ada ihwal tersirat yang belum kita temukan makna sejatinya.
Dalam konteks ini, dengan mengambil dua pemaknaan ekstrem, jika satu pihak menganggap aksi 212 sebagai jihad, sementara pihak lain meyakini itu sebagai makar, dapatlah kita asumsikan dua hal itu sebagai bentuk penafsiran yang sama-sama kemungkinan benar maknanya.
Sebagai salah satu pembaca makna, saya justru hendak menafsirkan rentetan aksi massa itu sebagai bukti terjadi krisis kepemimpinan bangsa. Rakyat tampaknya lebih mudah diarahkan oleh para pemimpin opini (opinion leaders) ketimbang pemimpin formal, yaitu penguasa.
Aksi bela Islam perlu menjadi refleksi bagi pemerintah, bukan saja soal isi tuntutan yang disampaikan, tapi lebih-lebih soal sejauh mana kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Bagi umat Islam, pemimpin itu tak hanya dilihat dari sisi kemampuan manajerial dan pengambilan kebijakannya, tapi juga perilaku dan tutur katanya sebagai teladan masyarakat. Minusnya keteladanan tak hanya berdampak bagi umat Islam, tapi juga menimbulkan keresahan bagi semua kalangan.
Ketiadaan pemimpin idaman membuat masyarakat gundah. Kegundahan yang dapat menghadirkan kegaduhan. Ada rasa kecewa tak tertahankan, yang tidak semuanya dapat tersampaikan secara tersurat.
Tugas pemerintah adalah mengelola kekecewaan itu, dan mengubahnya menjadi harapan. Kekecewaan itu tak boleh diabaikan jika tak ingin menjadi amunisi yang akan melahirkan kekecewaan lebih besar.
Keengganan Jokowi untuk menemui massa aksi 411 perlu menjadi introspeksi. Tidakkah disadarinya, akumulasi rasa kecewa bisa semakin membesar jika dibarengi sikap tak acuh. Api tak bisa dipadamkan dengan bara, tapi harus disiram air agar api itu tak menyebar ke mana-mana.
Aksi 212 adalah ujian berikutnya. Bukan lagi ujian bagi Ahok karena Ahok pun tampaknya tak begitu ambil pusing. Ini adalah ujian bagi bangsa, ujian merawat kebinekaan. Ujian bagi pemerintah, ujian memadamkan rasa kecewa untuk menghidupkan asa berbangsa.
Kita tentu berharap Jokowi beserta jajarannya dapat menghidupkan asa berbangsa itu dalam mewujudkan Indonesia berdaulat dan berkeadilan. Jika tak berharap pada pemimpin bangsa, pada siapa lagi harapan ini kita sandarkan?
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
DARI pikiran yang jernih, menafsirkan aksi 2 Desember (212) sebagai politik makar pada pemerintah adalah tafsir yang berlebihan. Namun, dengan pikiran jernih pula, memaknai 212 sebagai demonstrasi biasa, yang sepenuhnya tak berkorelasi dengan kekecewaan massa pada penguasa, juga akan menjadi tafsir yang naif.
Setiap tindakan selalu melahirkan makna tersurat dan tersirat. Makna tersuratnya jelas, banyak umat Islam kecewa dengan Ahok yang tak bisa menjaga lisannya. Ia dinilai menista agama dan karenanya harus diberi pelajaran. Hati umat Islam yang telanjur tersakiti tak mudah terobati.
Di balik makna tersurat itu, tanda tanya soal apakah aksi itu memiliki muatan lain yang sengaja disembunyikan pada publik menjadi tak terelakkan. Terlebih, aksi 212 terjadi setelah pihak kepolisian bergerak cepat menggelar kasus Ahok hingga berujung pada pemidanaan. Logikanya, jika tuntutan utama aksi 411 agar Ahok dipidanakan sudah terpenuhi, tidakkah aksi lanjutan akan melahirkan kebingungan persepsi.
Ini bukan soal keabsahan aksi 212 karena demonstrasi adalah hak warga negara yang harus dipenuhi. Tapi, ini soal efek bola salju yang sudah dan akan ditimbulkannya. Pernyataan Presiden Jokowi soal ada aktor politik di balik aksi 411 dan dugaan Kapolri Tito Karnavian soal kemungkinan terjadi makar pada aksi 212 menunjukkan bahwa pemerintah dan massa aksi berada pada arus yang berbeda haluan.
Silaturahmi Jokowi dengan tokoh-tokoh organisasi Islam terutama Muhammadiyah dan NU pasca-411 dan mediasi Polda Metro Jaya dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI menunjukkan bahwa soal menjaga perdamaian, pemerintah dan massa aksi memiliki visi seirama. Namun, itu tak berarti bahwa secara politik mereka berada di haluan yang sama.
Mediasi dilakukan untuk mengurangi ketegangan, bukan untuk menyamakan kepentingan politik. Mediasi adalah kulit muka yang tersurat, sementara kepentingan merupakan sisi tersirat yang hanya akan diketahui maknanya seiring berjalannya waktu. Kita tentu berharap, apa pun kepentingan itu, dilakukan demi kemaslahatan bangsa.
Anomali Aksi 212
Aksi 212 adalah anomali. Bukan karena aksi itu sendiri, melainkan rentetan fenomena yang mengiringinya. Ini merupakan aksi lanjutan dari demonstrasi 14 Oktober dan 4 November. Jika diperhatikan, rentang masing-masing demonstrasi berjarak tak sampai satu bulan, dengan jumlah massa yang demikian besar.
Terlebih, jika membandingkan rentetan aksi ini dengan berbagai demonstrasi berskala besar yang pernah terjadi di Indonesia, di antaranya Reformasi 1998, Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974, dan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) 1966. Tiga demonstrasi bersejarah tersebut turut dipicu faktor ekonomi, sesuatu yang tidak terjadi pada aksi 411 dan 212.
Reformasi 1998 menguat karena momentum krisis moneter yang memuncak setahun sebelumnya, demonstrasi Malari 1974 dipicu kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kukei ke Indonesia. Kala itu Jepang dinilai telah memeras ekonomi Indonesia dengan menguasai 53% ekspor dan memasok 29% impor ke Indonesia. Demikian pula Tritura 1966 yang turut didukung inflasi tak terkontrol akibat kebijakan pemotongan nilai mata uang yang membebani rakyat.
Anomali lain adalah aktor gerakan yang saat ini tidak melibatkan mahasiswa. Sekalipun sejumlah eksponen gerakan mahasiswa ikut aksi 411 dan 212, mereka bukanlah aktor, melainkan partisipan dan simpatisan.
Pada Reformasi 1998, mahasiswa memiliki peran terbesar, di antaranya dibuktikan dengan ada tragedi Trisakti dan Semanggi. Sementara itu Malari dipelopori Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, dan Tritura di bawah koordinasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Tuntutan aksi 411 dan 212 juga sangat khas. Tak ada tendensi politik yang terbuka, melainkan dicitrakan sebagai aksi bela Islam melawan penista agama. Tak perlu banyak tafsir untuk memaknai Reformasi 1998, Malari 1974, dan Tritura 1966 karena mereka secara terbuka melakukan perlawanan politik.
Pertanda-pertanda inilah yang melahirkan banyak makna. Aksi 411 sudah tuntas, dan sebagian besar kita sepakat bahwa gerakan damai itu adalah misi mulia menjaga martabat umat Islam Indonesia.
Namun, bagaimana dengan aksi 212, apakah kasus penista agama merupakan bungkus sekaligus isi di balik misi 212 itu. Ataukah, kasus itu hanyalah pembungkus, sementara isinya, mungkin saja, ada ihwal tersirat yang belum kita temukan makna sejatinya.
Dalam konteks ini, dengan mengambil dua pemaknaan ekstrem, jika satu pihak menganggap aksi 212 sebagai jihad, sementara pihak lain meyakini itu sebagai makar, dapatlah kita asumsikan dua hal itu sebagai bentuk penafsiran yang sama-sama kemungkinan benar maknanya.
Sebagai salah satu pembaca makna, saya justru hendak menafsirkan rentetan aksi massa itu sebagai bukti terjadi krisis kepemimpinan bangsa. Rakyat tampaknya lebih mudah diarahkan oleh para pemimpin opini (opinion leaders) ketimbang pemimpin formal, yaitu penguasa.
Aksi bela Islam perlu menjadi refleksi bagi pemerintah, bukan saja soal isi tuntutan yang disampaikan, tapi lebih-lebih soal sejauh mana kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Bagi umat Islam, pemimpin itu tak hanya dilihat dari sisi kemampuan manajerial dan pengambilan kebijakannya, tapi juga perilaku dan tutur katanya sebagai teladan masyarakat. Minusnya keteladanan tak hanya berdampak bagi umat Islam, tapi juga menimbulkan keresahan bagi semua kalangan.
Ketiadaan pemimpin idaman membuat masyarakat gundah. Kegundahan yang dapat menghadirkan kegaduhan. Ada rasa kecewa tak tertahankan, yang tidak semuanya dapat tersampaikan secara tersurat.
Tugas pemerintah adalah mengelola kekecewaan itu, dan mengubahnya menjadi harapan. Kekecewaan itu tak boleh diabaikan jika tak ingin menjadi amunisi yang akan melahirkan kekecewaan lebih besar.
Keengganan Jokowi untuk menemui massa aksi 411 perlu menjadi introspeksi. Tidakkah disadarinya, akumulasi rasa kecewa bisa semakin membesar jika dibarengi sikap tak acuh. Api tak bisa dipadamkan dengan bara, tapi harus disiram air agar api itu tak menyebar ke mana-mana.
Aksi 212 adalah ujian berikutnya. Bukan lagi ujian bagi Ahok karena Ahok pun tampaknya tak begitu ambil pusing. Ini adalah ujian bagi bangsa, ujian merawat kebinekaan. Ujian bagi pemerintah, ujian memadamkan rasa kecewa untuk menghidupkan asa berbangsa.
Kita tentu berharap Jokowi beserta jajarannya dapat menghidupkan asa berbangsa itu dalam mewujudkan Indonesia berdaulat dan berkeadilan. Jika tak berharap pada pemimpin bangsa, pada siapa lagi harapan ini kita sandarkan?
(poe)