Ancaman 'Media Mirip Pers' di Ruang Digital

Jum'at, 18 November 2016 - 14:58 WIB
Ancaman Media Mirip...
Ancaman 'Media Mirip Pers' di Ruang Digital
A A A
Husni Arifin
Praktisi Bidang Komunikasi

SEJAK masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, disadari atau tidak, masyarakat Indonesia terpapar oleh banjir informasi yang tak jelas kredibilitasnya dari berbagai ”media mirip pers”. Tiba-tiba saja muncul banyak sekali media yang seolah-olah media pers, dengan konten yang provokatif, tendensius, bohong, bahkan cenderung menebar fitnah.

Media-media tersebut beredar secara bebas di ranah media sosial (medsos). Konten-konten yang tak jelas fakta kebenarannya itu kemudian bergulir dengan bebasnya dari satu akun seseorang ke akun lain tanpa ada yang mencegahnya.

Hebatnya, konten fitnah dan kebencian seperti itu lalu menjadi keseharian dari masyarakat Indonesia. Bahkan, tak sedikit yang kemudian menganggap sebagai acuan sikap atas kondisi sosial politik yang sedang berkembang. Misalnya saja dalam menilai para calon kepala daerah dengan mengacu pada sumber-sumber tersebut, bisa-bisa justru meyakini fitnah dan konten kebencian yang disebarkan. Menjadi semakin kacau karena sebagian kelompok masyarakat mengaku lebih merasa yakin dengan berita-berita dari ”media mirip pers” daripada berita media pers sendiri.

Tak semua anggota masyarakat memiliki pengetahuan mengenai media pers dan ciri khas, apalagi mengenai filosofi keberadaannya sebagai pilar demokrasi. Karena itu, banyak di antara mereka yang tak ragu memilih ”media mirip pers” yang disukainya hanya karena kontennya sesuai dengan aspirasinya.

Hanya karena dia merasa tak sreg dengan seorang calon kepala daerah yang beretnis atau menganut agama yang berbeda dengannya, dia lebih percaya pada ”media mirip pers” yang getol mengembuskan isu suku, adat, ras, dan agama (SARA) terhadap si calon kepala daerah. Bisa saja ”media mirip pers” tersebut dibuat atas tujuan untuk memenangkan calon lain.

Banyak di antara ”media mirip pers” memiliki pembaca yang loyal, yang kemudian membantu menyebarkannya lagi ke kalangan yang lebih luas. Beberapa waktu lalu ada berita, ”media mirip pers” bahkan mampu meraih pendapatan sekitar Rp30 juta per bulan dari iklan Google. Hal tersebut membuktikan mereka memiliki segmen pembaca yang kuat.

Fenomena merebaknya media nonpers ini sama sekali bukan sesuatu yang baru, namun semakin lama semakin masif dan mengancam masyarakat sendiri. Selain itu, juga mengancam esensi media pers sebagai pilar keempat demokrasi, dan tentu saja rawan membelokkan makna demokrasi itu sendiri.

Masyarakat pers, kalangan penggiat masyarakat sipil, juga pengambil kebijakan di ranah media digital, pasti juga menyadari hal ini. Namun, sepertinya mereka kebingungan dalam menyikapinya.

Sudah saatnya diambil sikap yang tegas, yang berdasarkan akal sehat. Pertama, mengatur ”media mirip pers”. Tentu saja pemerintah menjadi pihak yang paling berkompeten untuk membuat peraturannya.

Belum lama berselang pemerintah pun, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga telah menutup beberapa website yang hobi menyerukan kebencian dan SARA. Aturan tentang ”media mirip pers” ini bisa saja ditempatkan sebagai kelanjutan atas kebijakan mengenai pemblokiran konten-konten negatif di media sosial yang sudah lebih dulu diterapkan.

Perlu diatur mekanisme penilaian tentang mana media yang pantas ditutup, mana pula yang layak dibiarkan. Media-media jenis ini memang banyak yang menyebarkan konten negatif. Meski begitu, banyak pula media mirip pers yang memublikasikan konten-konten positif dan bermanfaat bagi publik.

Untuk penilaian itu mungkin perlu suatu tim, semacam KPI atau Dewan Pers, yang punya kompetensi dan kewenangan untuk menilai. Selanjutnya, biar proses penutupan punya dasar hukum yang jelas, tentu saja perlu diadakan kelengkapan instrumennya.

Kedua, edukasi kepada masyarakat awam. Mereka perlu mengetahui secara pasti perbedaan antara media yang bisa dipertanggungjawabkan materi publikasinya dan media yang tak jelas bagaimana menyajikan materi beritanya.

Dengan demikian, masyarakat bisa terhindar dari upaya fitnah, atau setidaknya tidak dibohongi oleh pihak-pihak tertentu melalui media jejaring sosial. Peran ini bisa diambil oleh lembaga masyarakat sipil, pemerintah, atau siapa saja yang peduli dengan masalah ini.

Gerakan moral oleh publik juga perlu dicoba. Era digital juga menghadirkan kesempatan yang luas bagi publik untuk menyuarakan aspirasi positif demi kebaikan bersama. Asumsinya, jika konten negatif saja bisa disebarkan, mengapa konten positif tidak.

Semakin luas gerakan ini bisa ditularkan, akan semakin kuat pula tekanan kepada pemerintah, wakil rakyat, para tokoh masyarakat, tokoh agama, juga masyarakat awam sendiri. Siapa sih yang pingin dibodohi, dibohongi, dimanfaatkan untuk menebar fitnah dan kebencian?

Ketiga, menindak tegas pelaku penebar fitnah dan kebencian. Tanpa sanksi, termasuk sanksi sosial, kejahatan akan semakin marak, bahkan bisa-bisa justru dianggap kebenaran. Banyak sekali bertebaran konten yang termasuk fitnah, kebohongan, juga melanggar norma kemasyarakatan yang disebarkan melalui ”media mirip pers”.

Jika media pers harus secara ketat menyesuaikan kontennya dengan berbagai aturan dan etika jurnalistik, ”media mirip pers” pun setidaknya melakukan hal yang sama. Jika media pers melanggar etika pers akan terkena sanksi, ”media mirip pers” pun setidaknya mendapatkan perlakukan yang sama.

Faktanya, ”media mirip pers” masih terus memproduksi konten-konten negatif secara leluasa tanpa ada sanksi. Paling pol terkena penutupan oleh pemerintah. Pengelolanya tetap tak terjamah. Dia bisa membuat ”media mirip pers” lain, dan menebar fitnah serta kebencian lagi. Apa susahnya membuat website seperti itu. Di tangan profesional, mungkin tak perlu sehari sudah akan tersaji media yang baru yang semakin mirip dengan media pers.

Teknologi digital memang telah menggeser berbagai tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Sangat cepat dampaknya. Sampai 10 tahun silam, siapa menyangka media jejaring sosial akan sedemikian memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat itu medsos tak lebih hanya sebagai sarana pamer foto dan ”mengintip” apa yang sedang dilakukan teman-teman terdekat. Kini eksistensi medsos bahkan telah memaksa kita untuk mengakui eksistensi dunia maya, sebagai dunia alternatif selain dunia yang fana ini.

Apesnya, para kreator dunia digital lebih cepat dalam menciptakan tatanan baru, meninggalkan jauh di belakang para pembuat regulasi, terutama di negeri ini. Para pengambil kebijakan, para pemuka masyarakat, pendidik, sebagian besar di antara mereka adalah generasi masa lalu yang entah sampai kapan akan digantikan.

Sementara itu, generasi yang lahir di era digital kini sudah mulai muncul dengan eksistensi digitalnya. Mereka lebih percaya apa saja konten dan informasi yang tertera di media sosialnya, di mana media pers dan ”media mirip pers” seolah tak ada bedanya. Jika tak segera terbangun kesadaran bersama untuk menyesuaikan tatanan masyarakat dengan era digital kekinian, semakin banyak keruwetan yang akan terjadi di masa depan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0750 seconds (0.1#10.140)