Buzzer Media Sosial dalam Politik

Senin, 07 November 2016 - 09:07 WIB
Buzzer Media Sosial...
Buzzer Media Sosial dalam Politik
A A A
Yuliandre Darwis, PhD
Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI)/Dosen Komunikasi FISIP Unand

PEMILU merupakan saat-saat penting dan bersejarah bagi masa depan masyarakat di suatu negeri. Melalui pemilu, proses transformasi pengetahuan maupun penanaman nilai-nilai serta praktik demokrasi prosedural maupun substansial terjadi pada momen politik ini. Pergantian kepemimpinan/suksesi calon kandidat, proses kontestasi dengan menggunakan berbagai sumber daya yang dipunyai, pendidikan politik warga negara hingga partisipasi pemilih adalah realitas politik dalam praktik pemilu modern.

Saat ini momen pemilu khususnya pilkada di 101 daerah di Indonesia menjadi ruang pertarungan para kandidat dengan berbagai cara, termasuk menggunakan sumber daya dimiliki. Salah satu yang menarik dibicarakan dalam pilkada adalah fenomena para buzzer yang menggunakan media sosial. Realitas buzzer media sosial semakin memanaskan suhu politik pilkada, termasuk menjelang Pilkada DKI Februari 2017.

Majalah Tempo menuliskan kelompok buzzer media sosial didesain konsultan politik dengan dukungan modal yang lumayan besar. Ini adalah mesin yang diinjeksi modal sehingga bergerak menjadi besar yang bertugas memengaruhi pola pikir masyarakat. Dengan kata lain pola gerak kelompok buzzer ini bertujuan melakukan penggiringan opini.

Kejadian tersebut mulai terjadi saat ini, yaitu mulai bermunculan akun-akun yang memberitakan salah satu calon gubernur baik positif maupun negatif atau mereka yang menyudutkan salah satu calon gubernur tersebut. Pola yang dibangun oleh buzzer ini nyaris sama, yakni menghancurkan instrumen penting demokrasi, lalu memunculkan satu tokoh yang dianggap pahlawan dan satu aktor jahat.

Para buzzer yang ditugasi ini dapat digolongkan sebagai pasukan media yang tidak memiliki ideologi dan hanya membela sang pemilik modal tersebut yang tentu saja akan membahayakan demokrasi yang sedang terkonsolidasi di negeri ini. Target mereka adalah meruntuhkan nilai-nilai dan pilar demokrasi seperti partai politik dan media massa, lalu berusaha memonopoli kebenaran. Sesungguhnya dari situlah mereka memperoleh keuntungan ekonomi.

Pasukan buzzer ini hanya melekat pada tokoh tertentu, tetapi bukan pada ideologi yang mendasari mereka. Integritas tidak lagi penting selama sang calon mencapai tujuan, bagaimanapun caranya dan apa pun bisa ditempuh. Salah satu yang paling sering dilakukan para buzzer ini adalah pembuatan akun-akun fake yang bertujuan menyebar fitnah dan menjatuhkan salah satu calon yang akan mereka lawan maupun menyebarkan berita positif mengenai calon yang mereka usung.


Kewaspadaan Buzzer Media Sosial

Fenomena buzzer yang memanfaatkan media sosial sebagai instrumen penyampaian pesan dan kepentingan-kepentingan mereka menyedot banyak perhatian publik karena dampak yang ditimbulkan gerakan buzzer ini dalam kehidupan sosial begitu luar biasa. Ini jelas memengaruhi kondisi sosio-politik kontemporer maupun kehidupan bernegara di masa depan. Sebab seperti diketahui penggunaan media sebagai alat utama kelompok buzzer dikhawatirkan memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku masyarakat.

Teori agenda setting yang dikemukakan Maxwell McCombs dan Donal L Shaw (1968) menyatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk mentransfer isu untuk memengaruhi agenda publik. Khalayak akan menganggap isu tersebut penting apabila media menganggap isu itu penting juga. Menurut DW Rajecki dalam bukunya Attitute, themes and Advence (1982), ada tiga komponen yang memengaruhi opini publik, salah satunya affect (perasaan atau emosi). Komponen ini berkaitan dengan rasa senang, suka, sayang, takut, benci, sedih, dan kebanggaan hingga muak atau bosan terhadap sesuatu sebagai akibat setelah merasakannya atau timbul setelah melihat dan mendengarkannya.

Kedua behaviour (tingkah laku). Komponen ini lebih menampilkan tingkah laku atau perilaku seseorang baik menerima maupun menolak. Komponen yang terakhir adalah cognition (pengertian atau nalar). Komponen kognisi ini berkaitan dengan penalaran seseorang untuk menilai suatu informasi, pesan fakta dan pengertian yang berkaitan dengan pendiriannya. Komponen ini menghasilkan penilaian atau pengertian dari seseorang berdasarkan rasio atau kemampuan penalarannya.

Adanya fenomena buzzer yang ramai menjelang pilkada ini tentu akan menggerus sendi-sendi kehidupan bangsa serta demokrasi yang sudah lama dibangun di negara ini. Jika buzzer tersebut bertujuan baik tentu tidak menjadi masalah, tetapi jika buzzer ini bergerak massal demi kepentingan tertentu, yang akan terjadi adalah permasalahan yang sangat pelik bagi kita semua. Oleh karena itu dibutuhkan kewaspadaan masyarakat untuk mencerna informasi, terutama saat menjelang pilkada berlangsung seperti sekarang ini di mana isu-isu calon pemimpin daerah berhamburan di media sosial.

Dengan demikian kita dapat merayakan pesta demokrasi yang sesuai dengan arah dan esensi pemilu tanpa adanya campur tangan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berada di balik momen pilkada. Tentu kita tidak ingin bersama melihat para buzzer ini menanamkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi di Indonesia yang sedang terkonsolidasi.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0798 seconds (0.1#10.140)