Demo dan Ritual Demokrasi
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
ADA ungkapan klasik. Democracy is noisy and restless. Demokrasi itu gaduh dan tak pernah tenang. Selalu saja ribut.
Maklum, sejak dari awal yang namanya demokrasi memang dirancang untuk menampung dan mendengarkan suara dan aspirasi yang berbeda-beda. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, pilihan demokrasi paling cocok, untuk mengakomodasi pluralitas aspirasi dan kehendak dalam rangka membangun dan mengisi kemerdekaan.
Konsekuensinya, bermunculan parpol, ormas dan lembaga swadaya masyarakat sebagai wadah penyaluran aspirasi dan partisipasi masyarakat untuk memajukan bangsa. Repotnya jika yang lebih dominan hanyalah kebebasan berekspresi, tetapi kurang menghargai supremasi hukum dan kerja produktif, maka demokrasi di mata masyarakat hanyalah keributan dan debat, tetapi ekonomi dan lapangan kerja semakin susah, pendidikan mahal, ujungnya hanyalah memperoleh ijazah.
Salah satu ciri demokrasi adalah adanya keterwakilan dan partisisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Lebih dari itu adalah kebebasan untuk mengritik pemerintah. Sekarang ini ruang dan saluran kritik rakyat terhadap pemerintah terbuka lebar, baik melalui surat kabar, mimbar televisi, media sosial ataupun demonstrasi. Isu yang masih sensitif adalah soal agama.
Sekalipun Ahok belum sampai di meja pengadilan, adakah dia sudah memenuhi persyaratan sebagai penista agama, namun masyarakat sudah menjatuhkan hukuman bahwa dia telah menistakan Alquran sehingga polisi harus segera mencekalnya dan memproses ke meja pengadilan dan masuk tahanan. Namun prosesnya tentu saja tidak semudah itu karena diperlukan proses dan tahapan yang lazim dalam dunia peradilan.
Mengamati dinamika sosial politik yang tengah terjadi, satu hal yang fenomenal adalah peran agama yang sangat signifikan sebagai alat pemersatu ketika martabat agama dilecehkan. Para pengamat Barat sudah lama mengingatkan, misalnya Wilfred Cantwell Smith dari Universitas Harvard, bahwa umat Islam di seluruh dunia pasti akan marah jika Nabi Muhammad dan Alquran dilecehkan.
Dalam hal ini Ahok telah terpeleset membawa-bawa ayat suci Alquran untuk kepentingan politik. Akibat dari sebuah peristiwa ucapan dalam durasi yang amat pendek, dia mesti membayar akibat yang ditimbulkan teramat besar. Yang membayar tidak hanya dia sendiri, tetapi aparat keamanan dan masyarakat dibuatnya sibuk. Muncul pro-kontra dalam masyarakat Indonesia.
Sekali lagi, ini menunjukkan betapa isu, simbol dan tokoh agama telah memenuhi ruang publik. Hari-hari ini wacana agama yang berkaitan dengan pilkada memenuhi pemberintaan, obrolan, diskusi, khotbah jumat dan lain sebagainya. Ini kenyataan sosiologis yang tak terbantahkan.
Tetapi jika isu agama mengambil dosis paling tinggi, lalu memandang kecil pembangunan bidang ekonomi, sains, pendidikan dan infrastruktur, maka sulit bangsa ini untuk maju bersaing dengan negara-negara lain.
Dengan kata lain, agama jangan hanya menonjol sebagai ideologi dan kekuatan fight against, tetapi juga berperan aktif konstruktif sebagai kekuatan fight for. Artinya, agama mesti berperan sebagai kekuatan konstruktif-produktif untuk mendukung pembangunan peradaban, bukan semata sebagai kekuatan oposisi, fight against.
Dalam ungkapan konvensional, agama mesti punya keseimbangan agenda amar ma'ruf dan nahi munkar. Mengajak dan memberi contoh aktif sebagai kekuatan konstruktif, baru kemudian diikuti agenda mencegah kemungkaran.
Demo hari ini merupakan ekspresi keprihatinan sebagian umat Islam untuk menjaga martabat agama, utamanya kemuliaan Alquran, dengan turun ke jalan, gara-gara ucapan Ahok yang dinilai melecehkan Alquran. Dari segi hukum, biarlah polisi yang memproses.
Demo itu merupakan hak konstitusional warga negara yang mesti dihargai. Sementara itu pihak kepolisian memiliki hak dan kewajiban untuk menertibkan para demonstran. Lalu masyarakat umum pengguna jalan raya juga memiliki hak dari gangguan demonstran jangan sampai membuat macet.
Jadi, kalau masing-masing pihak saling menghargai hak orang lain, maka demo akan berjalan meriah, tertib dan damai. Jika ini terwujud, maka kepercayaan rakyat pada parpol, polisi dan demokrasi akan naik. Tetapi jika lepas kendali, semoga saja tidak terjadi, harapan yang mulai tumbuh terhadap demokrasi dan pilkada akan buyar. Kita semua yang merugi.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
ADA ungkapan klasik. Democracy is noisy and restless. Demokrasi itu gaduh dan tak pernah tenang. Selalu saja ribut.
Maklum, sejak dari awal yang namanya demokrasi memang dirancang untuk menampung dan mendengarkan suara dan aspirasi yang berbeda-beda. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, pilihan demokrasi paling cocok, untuk mengakomodasi pluralitas aspirasi dan kehendak dalam rangka membangun dan mengisi kemerdekaan.
Konsekuensinya, bermunculan parpol, ormas dan lembaga swadaya masyarakat sebagai wadah penyaluran aspirasi dan partisipasi masyarakat untuk memajukan bangsa. Repotnya jika yang lebih dominan hanyalah kebebasan berekspresi, tetapi kurang menghargai supremasi hukum dan kerja produktif, maka demokrasi di mata masyarakat hanyalah keributan dan debat, tetapi ekonomi dan lapangan kerja semakin susah, pendidikan mahal, ujungnya hanyalah memperoleh ijazah.
Salah satu ciri demokrasi adalah adanya keterwakilan dan partisisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Lebih dari itu adalah kebebasan untuk mengritik pemerintah. Sekarang ini ruang dan saluran kritik rakyat terhadap pemerintah terbuka lebar, baik melalui surat kabar, mimbar televisi, media sosial ataupun demonstrasi. Isu yang masih sensitif adalah soal agama.
Sekalipun Ahok belum sampai di meja pengadilan, adakah dia sudah memenuhi persyaratan sebagai penista agama, namun masyarakat sudah menjatuhkan hukuman bahwa dia telah menistakan Alquran sehingga polisi harus segera mencekalnya dan memproses ke meja pengadilan dan masuk tahanan. Namun prosesnya tentu saja tidak semudah itu karena diperlukan proses dan tahapan yang lazim dalam dunia peradilan.
Mengamati dinamika sosial politik yang tengah terjadi, satu hal yang fenomenal adalah peran agama yang sangat signifikan sebagai alat pemersatu ketika martabat agama dilecehkan. Para pengamat Barat sudah lama mengingatkan, misalnya Wilfred Cantwell Smith dari Universitas Harvard, bahwa umat Islam di seluruh dunia pasti akan marah jika Nabi Muhammad dan Alquran dilecehkan.
Dalam hal ini Ahok telah terpeleset membawa-bawa ayat suci Alquran untuk kepentingan politik. Akibat dari sebuah peristiwa ucapan dalam durasi yang amat pendek, dia mesti membayar akibat yang ditimbulkan teramat besar. Yang membayar tidak hanya dia sendiri, tetapi aparat keamanan dan masyarakat dibuatnya sibuk. Muncul pro-kontra dalam masyarakat Indonesia.
Sekali lagi, ini menunjukkan betapa isu, simbol dan tokoh agama telah memenuhi ruang publik. Hari-hari ini wacana agama yang berkaitan dengan pilkada memenuhi pemberintaan, obrolan, diskusi, khotbah jumat dan lain sebagainya. Ini kenyataan sosiologis yang tak terbantahkan.
Tetapi jika isu agama mengambil dosis paling tinggi, lalu memandang kecil pembangunan bidang ekonomi, sains, pendidikan dan infrastruktur, maka sulit bangsa ini untuk maju bersaing dengan negara-negara lain.
Dengan kata lain, agama jangan hanya menonjol sebagai ideologi dan kekuatan fight against, tetapi juga berperan aktif konstruktif sebagai kekuatan fight for. Artinya, agama mesti berperan sebagai kekuatan konstruktif-produktif untuk mendukung pembangunan peradaban, bukan semata sebagai kekuatan oposisi, fight against.
Dalam ungkapan konvensional, agama mesti punya keseimbangan agenda amar ma'ruf dan nahi munkar. Mengajak dan memberi contoh aktif sebagai kekuatan konstruktif, baru kemudian diikuti agenda mencegah kemungkaran.
Demo hari ini merupakan ekspresi keprihatinan sebagian umat Islam untuk menjaga martabat agama, utamanya kemuliaan Alquran, dengan turun ke jalan, gara-gara ucapan Ahok yang dinilai melecehkan Alquran. Dari segi hukum, biarlah polisi yang memproses.
Demo itu merupakan hak konstitusional warga negara yang mesti dihargai. Sementara itu pihak kepolisian memiliki hak dan kewajiban untuk menertibkan para demonstran. Lalu masyarakat umum pengguna jalan raya juga memiliki hak dari gangguan demonstran jangan sampai membuat macet.
Jadi, kalau masing-masing pihak saling menghargai hak orang lain, maka demo akan berjalan meriah, tertib dan damai. Jika ini terwujud, maka kepercayaan rakyat pada parpol, polisi dan demokrasi akan naik. Tetapi jika lepas kendali, semoga saja tidak terjadi, harapan yang mulai tumbuh terhadap demokrasi dan pilkada akan buyar. Kita semua yang merugi.
(poe)