Nasib Thailand Tanpa Rama IX
A
A
A
Heru Susetyo
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Alumni PhD Program in Human Rights and Peace Studies Mahidol University, Bangkok
NEGERI "land of smile" Thailand kini sulit tersenyum lagi. "Jantung dan hati" mereka, Raja Bhumibol Adulyadej, alias Rama IX (sesuai urutan dalam Dinasti Chakri), baru saja mangkat pada 13 Oktober 2016 pada usia menjelang 89 tahun. Seluruh negeri berkabung selama setahun. Rakyat dianjurkan mengenakan pakaian hitam dan putih. Bendera Thailand dikibarkan setengah tiang selama satu bulan. Sejumlah event kenegaraan ditunda juga selama satu bulan. Sungguh suatu kedukaan yang amat mendalam.
Kedukaan tersebut memang beralasan. Selama 70 tahun bertahta (sejak 1946) ia adalah jantung dan hati masyarakat Thailand. Ia mewariskan kekuatan, kebijaksanaan, sekaligus kesakralan yang membekas dalam-dalam dalam relung hati semua warga Thailand. Ia ayah sesungguhnya bagi rakyat Thailand. Tak heran, tanggal kelahirannya, 5 Desember (1927), dijadikan sebagai Hari Ayah (Father Day) di Thailand.
Legacy-nya semakin kuat karena selama 70 tahun berkuasa ia berhasil mempersatukan Thailand dan membawa Thailand ke dalam pusaran kekuatan dan kesejahteraan ekonomi sosial dan budaya. Pembangunan pertanian, pariwisata, industri-manufaktur, pendidikan, kesehatan, hingga olahraga melambung pesat semasa kekuasaannya.
Bayangkan, pada 2015 Thailand berhasil menyedot wisatawan asing sejumlah 29.9 juta jiwa sehingga menempatkannya sebagai daerah tujuan wisata nomor dua terfavorit se-Asia setelah China. MasterCard Global Destination Cities Index bahkan menempatkan Bangkok sebagai tujuan wisata nomor satu pada 2016 mengalahkan London, Paris, New York, dan Barcelona (Forbes, 2016).
Namun, tak ada gading yang tak retak. Sebagai negeri dengan sistem monarki konstitusional, politik Thailand amat rentan dan tidak stabil. Krisis politik dan kekuasaan amat sering terjadi di Thailand. Perdana menteri demi perdana menteri dan kabinet demi kabinet pun bergonta-ganti sepanjang masa kekuasaan Rama IX. Apakah melalui pemilu ataupun via kudeta. Hebatnya, monarki Thailand yang dipimpin Rama IX tetap tak terusik.
Alih-alih terusik, semua pemimpin eksekutif Thailand yang lahir—entah melalui pemilu ataupun via kudeta—selalu meminta restu dan pengesahan dari Rama IX. Semua tak akan berani duduk sejajar ketika menghadapnya ketika meminta restu. Mereka akan duduk di lantai dalam posisi menghormat. Tak pandang apakah ia seorang perdana menteri ataupun jenderal tertinggi angkatan bersenjata.
Bagi rakyat Thailand, ia tak sekadar raja, namun juga "Manusia Setengah Dewa" (Demigod) ataupun "Setengah Tuhan". Kebijakan dan perintahnya adalah sakral dan wajib ditaati tanpa reserve. Di Thailand memang ada tiga serangkai yang sakral dan tak boleh diusik oleh siapa pun, yaitu negara (monarki), agama (Buddhisme), dan raja.
Mengusik salah satu-nya atau ketiga-tiganya adalah sama dengan mencari gara-gara. Apalagi, hukum Lese Majeste (larangan menghina, mengancam, dan memfitnah raja dan keluarga raja) masih berlaku sejak 1908 sampai sekarang. Ancaman hukumannya pun serius. Tiga sampai lima belas tahun penjara bagi para pelakunya.
Maka itu, memikirkan bahwa Rama IX akan mangkat pada suatu waktu adalah hal yang tak terbayangkan bagi rakyat Thailand. Banyak yang bahkan berharap Rama IX akan hidup selamanya. Tak heran slogan “Long Live The King” marak dan merebak di mana-mana. Kekhawatiran tersebut masuk akal. Siapa pun pengganti Rama IX, diramalkan tak akan memiliki legacy, wibawa, dan karisma sekuat Rama IX.
Anak keduanya, Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn, sudah dipastikan akan menggantikan ayahnya sebagai raja Thailand. Masa penobatannya akan berlangsung pada 2017. Namun, banyak pihak, termasuk sebagian masyarakat Thailand sendiri, cenderung prihatin dengan kenyataan ini.
New York Times, Jumat 14 Oktober 2016 menyebutkan bahwa calon raja Thailand mendatang akan disambut dengan keprihatinan. Banyak pihak meyakini ia amat jauh dari karisma dan wibawa ayahnya. Di samping usianya yang juga sudah lanjut (usia 64 tahun), ia pun memiliki hobi yang mewah, kerap tinggal di Eropa, bergonta-ganti pasangan hidup, dan acapkali kedapatan berperilaku yang kurang layak.
Padahal, selama ini ayahnya, Rama IX, adalah faktor perekat dan pemersatu Thailand. Maka itu, banyak pihak meyakini bahwa kedigdayaan dan kewibawaan monarki Thailand nanti takkan sekuat dan seberpengaruh ketika di bawah Rama IX. Faksi-faksi politik yang bertikai takkan lagi punya patron yang dihormati, disegani, ditaati, dan ditakuti. Ancaman chaos politik berkepanjangan membayang di hadapan mata.
Terlebih lagi, Pemerintah Thailand saat ini pun adalah pemerintahan militer yang eksis melalui kudeta tidak berdarah. Tidak melalui pemilu yang konstitusional. Tepatnya pada sore hari, Kamis 22 Mei 2014, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Prayuth Chan-Ocha mengumumkan bahwa militer mengambil alih kekuasaan dan menahan mantan PM Yingluck Shinawatra dan PM sementara Niwatthamrong Boonsongpaisan.
Kudeta ini berlangsung tanpa kekerasan. Seperti kudeta terakhir pada September 2006 yang menggulingkan mantan PM Thaksin Shinawatra. Dan, juga tidak terlalu mengejutkan publik Thailand. Banyak pihak sudah meramalkan bahwa militer akan mengambil alih kekuasaan. Ini sudah seperti lagu lama. Sudah biasa.
Apalagi, konflik sipil, antara kelompok merah pendukung pemerintah dan kelompok kuning antipemerintah yang meruncing sejak November 2013 makin ruwet dan menurut perspektif militer telah mengancam stabilitas negara. Maka itu, militer merasa perlu mengintervensi.
Kudeta ini bukan kali pertama bagi militer. Sejak Thailand menjadi monarki konstitusional pada 1932, kurang lebih sudah 18 kali militer melakukan kudeta dan 12 di antaranya berhasil mengubah pemerintahan.
Sejak 1932 itu pula puluhan kali kerusuhan politik dan kudeta berdarah maupun tak berdarah mewarnai negeri ini. Perdana menteri Thailand berganti puluhan kali dengan durasi pemerintahan yang singkat. Tidak semua terpilih melalui pemilu yang demokratis. Sebagiannya karena kudeta atau dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Thailand.
Pemerintahan militer yang tak demokratis bergantian memimpin negeri dengan pemerintahan sipil yang juga tak bisa dibilang semua demokratis. Yang paling menarik adalah pada 2008, di mana perdana menteri (PM) Thailand berganti hingga empat kali. Uniknya, hanya satu di antara empat PM tersebut yang terpilih melalui mekanisme pemilu. Selebihnya karena kudeta tak berdarah dan karena PM sebelumnya dilengserkan oleh Mahkamah Konstitusi. Seperti mantan PM Yingluck Shinawatra yang dilengserkan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada 7 Mei 2014.
Sejarah intervensi militer Thailand terhadap pemerintahan bukanlah hal yang baru. Revolusi Siam pada 1932 bahkan dipelopori oleh para perwira militer muda dan para aktivis prodemokrasi lulusan pendidikan Barat. Pun dalam alam demokrasi, sejarah intervensi militer Thailand adalah sama tuanya dengan demokrasi di Thailand itu sendiri.
Setahun setelah revolusi 1932, militer kembali melakukan kudeta pada 20 Juni 1933 terhadap Perdana Menteri Phraya Manopakorn Nititada yang pemerintahannya dianggap militer telah mengarah ke diktator. Kudeta militer berikutnya yang berskala besar dan sukses menggulung pemerintahan terjadi pada 1947, 1949, 1957, 1958, 1971, 1976, 1977, 1991, 2006, dan akhirnya pada 2014.
Militer Thailand selalu memiliki justifikasi untuk melakukan kudeta dan mengintervensi pemerintahan. Atas nama stabilitas negara, keamanan nasional, memulihkan perdamaian, dan sebagainya. Sebagian besar kudeta militer berlangsung secara damai (bloodless), namun tak pelak beberapa intervensi militer (dan polisi) menghasilkan pertumpahan darah.
Maka itu, kehadiran figur perekat dan pemersatu semacam Rama IX memang suatu jawaban dan kebutuhan bagi kebuntuan dan krisis politik Thailand. Raja Rama IX memang segalanya bagi rakyat Thailand. Tak heran, kalimat penghormatan “Long Live The King” senantiasa bergema di mana-mana.
Kehidupan Rama IX memang sudah berakhir. Namun, kehidupan Thailand harus terus berlangsung. Legacy-nya harus terus dipelihara dan menjiwai kehidupan negeri dan bangsa Thailand.
Inilah makna "Long Live the King" yang sesungguhnya. Semoga saja "the land of smile" akan terus tersenyum sampai kapan pun. Berkabung secara mendalam adalah amat wajar, namun senyum dan harapan harus terus dikembangkan. Thailand yang stabil akan amat berkontribusi terhadap stabilitas ASEAN. Jangan dilupakan, saat ini ada sekitar 5000-an WNI yang bekerja, belajar, beribadah, maupun menikah dan tinggal di Thailand. Long Live The King!
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Alumni PhD Program in Human Rights and Peace Studies Mahidol University, Bangkok
NEGERI "land of smile" Thailand kini sulit tersenyum lagi. "Jantung dan hati" mereka, Raja Bhumibol Adulyadej, alias Rama IX (sesuai urutan dalam Dinasti Chakri), baru saja mangkat pada 13 Oktober 2016 pada usia menjelang 89 tahun. Seluruh negeri berkabung selama setahun. Rakyat dianjurkan mengenakan pakaian hitam dan putih. Bendera Thailand dikibarkan setengah tiang selama satu bulan. Sejumlah event kenegaraan ditunda juga selama satu bulan. Sungguh suatu kedukaan yang amat mendalam.
Kedukaan tersebut memang beralasan. Selama 70 tahun bertahta (sejak 1946) ia adalah jantung dan hati masyarakat Thailand. Ia mewariskan kekuatan, kebijaksanaan, sekaligus kesakralan yang membekas dalam-dalam dalam relung hati semua warga Thailand. Ia ayah sesungguhnya bagi rakyat Thailand. Tak heran, tanggal kelahirannya, 5 Desember (1927), dijadikan sebagai Hari Ayah (Father Day) di Thailand.
Legacy-nya semakin kuat karena selama 70 tahun berkuasa ia berhasil mempersatukan Thailand dan membawa Thailand ke dalam pusaran kekuatan dan kesejahteraan ekonomi sosial dan budaya. Pembangunan pertanian, pariwisata, industri-manufaktur, pendidikan, kesehatan, hingga olahraga melambung pesat semasa kekuasaannya.
Bayangkan, pada 2015 Thailand berhasil menyedot wisatawan asing sejumlah 29.9 juta jiwa sehingga menempatkannya sebagai daerah tujuan wisata nomor dua terfavorit se-Asia setelah China. MasterCard Global Destination Cities Index bahkan menempatkan Bangkok sebagai tujuan wisata nomor satu pada 2016 mengalahkan London, Paris, New York, dan Barcelona (Forbes, 2016).
Namun, tak ada gading yang tak retak. Sebagai negeri dengan sistem monarki konstitusional, politik Thailand amat rentan dan tidak stabil. Krisis politik dan kekuasaan amat sering terjadi di Thailand. Perdana menteri demi perdana menteri dan kabinet demi kabinet pun bergonta-ganti sepanjang masa kekuasaan Rama IX. Apakah melalui pemilu ataupun via kudeta. Hebatnya, monarki Thailand yang dipimpin Rama IX tetap tak terusik.
Alih-alih terusik, semua pemimpin eksekutif Thailand yang lahir—entah melalui pemilu ataupun via kudeta—selalu meminta restu dan pengesahan dari Rama IX. Semua tak akan berani duduk sejajar ketika menghadapnya ketika meminta restu. Mereka akan duduk di lantai dalam posisi menghormat. Tak pandang apakah ia seorang perdana menteri ataupun jenderal tertinggi angkatan bersenjata.
Bagi rakyat Thailand, ia tak sekadar raja, namun juga "Manusia Setengah Dewa" (Demigod) ataupun "Setengah Tuhan". Kebijakan dan perintahnya adalah sakral dan wajib ditaati tanpa reserve. Di Thailand memang ada tiga serangkai yang sakral dan tak boleh diusik oleh siapa pun, yaitu negara (monarki), agama (Buddhisme), dan raja.
Mengusik salah satu-nya atau ketiga-tiganya adalah sama dengan mencari gara-gara. Apalagi, hukum Lese Majeste (larangan menghina, mengancam, dan memfitnah raja dan keluarga raja) masih berlaku sejak 1908 sampai sekarang. Ancaman hukumannya pun serius. Tiga sampai lima belas tahun penjara bagi para pelakunya.
Maka itu, memikirkan bahwa Rama IX akan mangkat pada suatu waktu adalah hal yang tak terbayangkan bagi rakyat Thailand. Banyak yang bahkan berharap Rama IX akan hidup selamanya. Tak heran slogan “Long Live The King” marak dan merebak di mana-mana. Kekhawatiran tersebut masuk akal. Siapa pun pengganti Rama IX, diramalkan tak akan memiliki legacy, wibawa, dan karisma sekuat Rama IX.
Anak keduanya, Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn, sudah dipastikan akan menggantikan ayahnya sebagai raja Thailand. Masa penobatannya akan berlangsung pada 2017. Namun, banyak pihak, termasuk sebagian masyarakat Thailand sendiri, cenderung prihatin dengan kenyataan ini.
New York Times, Jumat 14 Oktober 2016 menyebutkan bahwa calon raja Thailand mendatang akan disambut dengan keprihatinan. Banyak pihak meyakini ia amat jauh dari karisma dan wibawa ayahnya. Di samping usianya yang juga sudah lanjut (usia 64 tahun), ia pun memiliki hobi yang mewah, kerap tinggal di Eropa, bergonta-ganti pasangan hidup, dan acapkali kedapatan berperilaku yang kurang layak.
Padahal, selama ini ayahnya, Rama IX, adalah faktor perekat dan pemersatu Thailand. Maka itu, banyak pihak meyakini bahwa kedigdayaan dan kewibawaan monarki Thailand nanti takkan sekuat dan seberpengaruh ketika di bawah Rama IX. Faksi-faksi politik yang bertikai takkan lagi punya patron yang dihormati, disegani, ditaati, dan ditakuti. Ancaman chaos politik berkepanjangan membayang di hadapan mata.
Terlebih lagi, Pemerintah Thailand saat ini pun adalah pemerintahan militer yang eksis melalui kudeta tidak berdarah. Tidak melalui pemilu yang konstitusional. Tepatnya pada sore hari, Kamis 22 Mei 2014, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Prayuth Chan-Ocha mengumumkan bahwa militer mengambil alih kekuasaan dan menahan mantan PM Yingluck Shinawatra dan PM sementara Niwatthamrong Boonsongpaisan.
Kudeta ini berlangsung tanpa kekerasan. Seperti kudeta terakhir pada September 2006 yang menggulingkan mantan PM Thaksin Shinawatra. Dan, juga tidak terlalu mengejutkan publik Thailand. Banyak pihak sudah meramalkan bahwa militer akan mengambil alih kekuasaan. Ini sudah seperti lagu lama. Sudah biasa.
Apalagi, konflik sipil, antara kelompok merah pendukung pemerintah dan kelompok kuning antipemerintah yang meruncing sejak November 2013 makin ruwet dan menurut perspektif militer telah mengancam stabilitas negara. Maka itu, militer merasa perlu mengintervensi.
Kudeta ini bukan kali pertama bagi militer. Sejak Thailand menjadi monarki konstitusional pada 1932, kurang lebih sudah 18 kali militer melakukan kudeta dan 12 di antaranya berhasil mengubah pemerintahan.
Sejak 1932 itu pula puluhan kali kerusuhan politik dan kudeta berdarah maupun tak berdarah mewarnai negeri ini. Perdana menteri Thailand berganti puluhan kali dengan durasi pemerintahan yang singkat. Tidak semua terpilih melalui pemilu yang demokratis. Sebagiannya karena kudeta atau dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Thailand.
Pemerintahan militer yang tak demokratis bergantian memimpin negeri dengan pemerintahan sipil yang juga tak bisa dibilang semua demokratis. Yang paling menarik adalah pada 2008, di mana perdana menteri (PM) Thailand berganti hingga empat kali. Uniknya, hanya satu di antara empat PM tersebut yang terpilih melalui mekanisme pemilu. Selebihnya karena kudeta tak berdarah dan karena PM sebelumnya dilengserkan oleh Mahkamah Konstitusi. Seperti mantan PM Yingluck Shinawatra yang dilengserkan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada 7 Mei 2014.
Sejarah intervensi militer Thailand terhadap pemerintahan bukanlah hal yang baru. Revolusi Siam pada 1932 bahkan dipelopori oleh para perwira militer muda dan para aktivis prodemokrasi lulusan pendidikan Barat. Pun dalam alam demokrasi, sejarah intervensi militer Thailand adalah sama tuanya dengan demokrasi di Thailand itu sendiri.
Setahun setelah revolusi 1932, militer kembali melakukan kudeta pada 20 Juni 1933 terhadap Perdana Menteri Phraya Manopakorn Nititada yang pemerintahannya dianggap militer telah mengarah ke diktator. Kudeta militer berikutnya yang berskala besar dan sukses menggulung pemerintahan terjadi pada 1947, 1949, 1957, 1958, 1971, 1976, 1977, 1991, 2006, dan akhirnya pada 2014.
Militer Thailand selalu memiliki justifikasi untuk melakukan kudeta dan mengintervensi pemerintahan. Atas nama stabilitas negara, keamanan nasional, memulihkan perdamaian, dan sebagainya. Sebagian besar kudeta militer berlangsung secara damai (bloodless), namun tak pelak beberapa intervensi militer (dan polisi) menghasilkan pertumpahan darah.
Maka itu, kehadiran figur perekat dan pemersatu semacam Rama IX memang suatu jawaban dan kebutuhan bagi kebuntuan dan krisis politik Thailand. Raja Rama IX memang segalanya bagi rakyat Thailand. Tak heran, kalimat penghormatan “Long Live The King” senantiasa bergema di mana-mana.
Kehidupan Rama IX memang sudah berakhir. Namun, kehidupan Thailand harus terus berlangsung. Legacy-nya harus terus dipelihara dan menjiwai kehidupan negeri dan bangsa Thailand.
Inilah makna "Long Live the King" yang sesungguhnya. Semoga saja "the land of smile" akan terus tersenyum sampai kapan pun. Berkabung secara mendalam adalah amat wajar, namun senyum dan harapan harus terus dikembangkan. Thailand yang stabil akan amat berkontribusi terhadap stabilitas ASEAN. Jangan dilupakan, saat ini ada sekitar 5000-an WNI yang bekerja, belajar, beribadah, maupun menikah dan tinggal di Thailand. Long Live The King!
(poe)