Faktor Agama dalam Pilkada
A
A
A
Abdul Mu'ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
PEMILIHAN kepala daerah baru akan dilaksanakan Februari 2017. Tetapi, suhu politik sudah mulai memanas, khususnya di DKI Jakarta. Suasana di lima provinsi lain dan puluhan kabupaten/kota terlihat biasa-biasa saja. Di beberapa daerah bahkan terasa begitu adem-ayem.
Panasnya suhu politik di Jakarta disebabkan oleh kebijakan, karakter, dan pernyataan kontroversial Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Terakhir adalah pernyataannya tentang Surat al-Maidah (5): 51 yang dinilai melecehkan Alquran dan para ulama. Ahok dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penistaan agama Islam. Gelombang demonstrasi dan tuntutan agar Ahok segera diadili dan dihukum terjadi di Jakarta dan beberapa daerah.
Kemarahan publik semakin meningkat. Tetapi, polisi terkesan lamban atau tidak menanggapi pengaduan dengan serius. Berbagai pihak khawatir, kasus Ahok dapat memantik kekerasan bernuansa suku, adat, ras, dan agama (SARA).
Dalam situasi demikian, banyak seruan agar masyarakat tidak membawa isu SARA dalam pilkada. Sebagian beralasan membawa isu SARA adalah bentuk sektarianisme dan demokrasi yang tidak dewasa. Sebagian lainnya berpendapat menyeret agama dalam pilkada adalah perbuatan yang merendahkan nilai-nilai agama karena menjadikannya sebagai alat merebut kekuasaan belaka.
Sulit Dihindari
Sangat sulit memisahkan agama dalam percaturan politik. Pertama, agama dan politik merupakan satu kesatuan ajaran. Agama memiliki tuntunan yang lengkap dalam semua bidang kehidupan. Sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa al-din (agama), dunya (kemasyarakatan), dan daulah (pemerintahan) adalah kesatuan yang utuh. Kelompok ini mewajibkan memilih pemimpin muslim dan bercita-cita mendirikan negara Islam.
Pemahaman bahwa agama dan politik adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, juga terdapat dalam agama lain. Angela Merkel, kanselir Jerman, adalah pemimpin Partai Persatuan Demokrat Kristen (CDU). Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel, adalah tokoh Partai Likud yang berhaluan Yahudi fundamentalis. India sekarang ini dikuasai Bharatiya Janata Party (BJP) yang berideologi Hindu. Beberapa negara di Asia menjadikan Buddha sebagai agama resmi.
Kedua, menjadikan agama sebagai pertimbangan utama dalam pemilihan jabatan publik merupakan ekspresi religiusitas. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius yang sangat menghormati dan taat menjalankan ajaran agamanya. Beragama dan mengamalkan ajaran agama sesuai keyakinan adalah hak konstitusional. Sesuai prinsip konfesional, negara tidak melarang penggunaan simbol dan identitas agama di ruang publik. Karena itu, jika suatu agama menganjurkan pemeluknya memilih pemimpin yang seiman atau mendirikan partai berdasarkan suatu agama merupakan hak asasi dan hak sipil warga negara.
Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang melarang kaum mukmin untuk memilih pemimpin, sahabat, dan sejawat yang tidak seiman. Haram memilih pemimpin nonmuslim karena berpotensi merusak keimanan dan menghalangi perjuangan. Ini memang wilayah ikhtilaf. Sebagian muslim berpendapat bahwa memilih pemimpin politik termasuk bidang muamalah. Kriteria utamanya adalah kompetensi, kapasitas, integritas, serta akomodasinya terhadap Islam.
Sebagian bahkan berpendapat bahwa pemimpin nonmuslim yang kuat lebih baik dibandingkan pemimpin muslim yang lemah. Walau demikian, sesuai lahiriah ayat Alquran, mayoritas muslim berprinsip memilih pemimpin seiman adalah kewajiban, apalagi jika dia berkemampuan. Pengalaman pilkada di beberapa tempat, kampanye memilih pemimpin seiman tidak hanya berkembang di lingkungan umat Islam, tetapi juga di lingkungan Kristen, Hindu, dan agama lain.
Ketiga, memilih kepala daerah adalah soal favoritisme. Umumnya pemilih cenderung menentukan pilihan berdasarkan personal proximity (kedekatan pribadi) atau kesamaan-kesamaan dan preferensi seperti agama, suku, profesi, hobi, partai, organisasi, penampilan, tutur bahasa, atau faktor-faktor emosional lain. Idealnya, masyarakat memang memilih berdasarkan penilaian rasional seperti program kerja dan kecakapan. Tetapi, realitasnya jumlah mereka sangat sedikit. Mayoritas justru memilih karena alasan pragmatis: isi tas!
Saling Menghormati
Terkait dengan pilkada, ada empat hal yang perlu dibangun. Pertama, bagaimana meningkatkan partisipasi umat beragama untuk terlibat dalam pilkada. Terdapat kecenderungan partisipasi masyarakat dalam pilkada menurun.
Kedua, membangun sikap dan perilaku saling menghormati. Demokrasi meniscayakan perbedaan pilihan. Memilih berdasarkan pertimbangan keimanan dan kesukuan bukanlah sikap sektarian. Di Amerika Serikat, negara yang dianggap sebagai model dan kampiun demokrasi, faktor agama masih cukup dominan. Dalam sebuah kesempatan Presiden Obama mengatakan: saya sangat kecewa jika warga kulit hitam memilih Trump. Sama hanya dengan kalangan Kristen Konservatif yang mendukung Donald Trump karena sentimen Republikan.
Ketiga, menegakkan undang-undang dan peraturan pilkada. Tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan institusi pemerintahan tidak boleh dipergunakan dan disalahgunakan untuk kampanye. Menistakan agama adalah perbuatan kriminal. Siapa pun yang melakukan pelecehan agama harus ditindak sesuai hukum. Negara harus tegas dan tidak boleh kalah. Yang juga terlarang adalah praktik politik uang dan bentuk-bentuk politik transaksional lain.
Keempat, membangun sikap ksatria: siap menang, siap kalah, dewasa menerima perbedaan, jiwa besar menerima kekalahan dan kesantunan merayakan kemenangan.
Pilkada adalah peristiwa politik biasa, mekanisme demokrasi untuk pemimpin daerah yang terbaik, melayani masyarakat, dan membangun bangsa yang bermartabat. Umat beragama berperan penting dalam menyukseskan pilkada. Umat beragama dapat menjadi teladan berpolitik yang santun dan berkeadaban sebagai perwujudan nilai universal agama.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
PEMILIHAN kepala daerah baru akan dilaksanakan Februari 2017. Tetapi, suhu politik sudah mulai memanas, khususnya di DKI Jakarta. Suasana di lima provinsi lain dan puluhan kabupaten/kota terlihat biasa-biasa saja. Di beberapa daerah bahkan terasa begitu adem-ayem.
Panasnya suhu politik di Jakarta disebabkan oleh kebijakan, karakter, dan pernyataan kontroversial Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Terakhir adalah pernyataannya tentang Surat al-Maidah (5): 51 yang dinilai melecehkan Alquran dan para ulama. Ahok dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penistaan agama Islam. Gelombang demonstrasi dan tuntutan agar Ahok segera diadili dan dihukum terjadi di Jakarta dan beberapa daerah.
Kemarahan publik semakin meningkat. Tetapi, polisi terkesan lamban atau tidak menanggapi pengaduan dengan serius. Berbagai pihak khawatir, kasus Ahok dapat memantik kekerasan bernuansa suku, adat, ras, dan agama (SARA).
Dalam situasi demikian, banyak seruan agar masyarakat tidak membawa isu SARA dalam pilkada. Sebagian beralasan membawa isu SARA adalah bentuk sektarianisme dan demokrasi yang tidak dewasa. Sebagian lainnya berpendapat menyeret agama dalam pilkada adalah perbuatan yang merendahkan nilai-nilai agama karena menjadikannya sebagai alat merebut kekuasaan belaka.
Sulit Dihindari
Sangat sulit memisahkan agama dalam percaturan politik. Pertama, agama dan politik merupakan satu kesatuan ajaran. Agama memiliki tuntunan yang lengkap dalam semua bidang kehidupan. Sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa al-din (agama), dunya (kemasyarakatan), dan daulah (pemerintahan) adalah kesatuan yang utuh. Kelompok ini mewajibkan memilih pemimpin muslim dan bercita-cita mendirikan negara Islam.
Pemahaman bahwa agama dan politik adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, juga terdapat dalam agama lain. Angela Merkel, kanselir Jerman, adalah pemimpin Partai Persatuan Demokrat Kristen (CDU). Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel, adalah tokoh Partai Likud yang berhaluan Yahudi fundamentalis. India sekarang ini dikuasai Bharatiya Janata Party (BJP) yang berideologi Hindu. Beberapa negara di Asia menjadikan Buddha sebagai agama resmi.
Kedua, menjadikan agama sebagai pertimbangan utama dalam pemilihan jabatan publik merupakan ekspresi religiusitas. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius yang sangat menghormati dan taat menjalankan ajaran agamanya. Beragama dan mengamalkan ajaran agama sesuai keyakinan adalah hak konstitusional. Sesuai prinsip konfesional, negara tidak melarang penggunaan simbol dan identitas agama di ruang publik. Karena itu, jika suatu agama menganjurkan pemeluknya memilih pemimpin yang seiman atau mendirikan partai berdasarkan suatu agama merupakan hak asasi dan hak sipil warga negara.
Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang melarang kaum mukmin untuk memilih pemimpin, sahabat, dan sejawat yang tidak seiman. Haram memilih pemimpin nonmuslim karena berpotensi merusak keimanan dan menghalangi perjuangan. Ini memang wilayah ikhtilaf. Sebagian muslim berpendapat bahwa memilih pemimpin politik termasuk bidang muamalah. Kriteria utamanya adalah kompetensi, kapasitas, integritas, serta akomodasinya terhadap Islam.
Sebagian bahkan berpendapat bahwa pemimpin nonmuslim yang kuat lebih baik dibandingkan pemimpin muslim yang lemah. Walau demikian, sesuai lahiriah ayat Alquran, mayoritas muslim berprinsip memilih pemimpin seiman adalah kewajiban, apalagi jika dia berkemampuan. Pengalaman pilkada di beberapa tempat, kampanye memilih pemimpin seiman tidak hanya berkembang di lingkungan umat Islam, tetapi juga di lingkungan Kristen, Hindu, dan agama lain.
Ketiga, memilih kepala daerah adalah soal favoritisme. Umumnya pemilih cenderung menentukan pilihan berdasarkan personal proximity (kedekatan pribadi) atau kesamaan-kesamaan dan preferensi seperti agama, suku, profesi, hobi, partai, organisasi, penampilan, tutur bahasa, atau faktor-faktor emosional lain. Idealnya, masyarakat memang memilih berdasarkan penilaian rasional seperti program kerja dan kecakapan. Tetapi, realitasnya jumlah mereka sangat sedikit. Mayoritas justru memilih karena alasan pragmatis: isi tas!
Saling Menghormati
Terkait dengan pilkada, ada empat hal yang perlu dibangun. Pertama, bagaimana meningkatkan partisipasi umat beragama untuk terlibat dalam pilkada. Terdapat kecenderungan partisipasi masyarakat dalam pilkada menurun.
Kedua, membangun sikap dan perilaku saling menghormati. Demokrasi meniscayakan perbedaan pilihan. Memilih berdasarkan pertimbangan keimanan dan kesukuan bukanlah sikap sektarian. Di Amerika Serikat, negara yang dianggap sebagai model dan kampiun demokrasi, faktor agama masih cukup dominan. Dalam sebuah kesempatan Presiden Obama mengatakan: saya sangat kecewa jika warga kulit hitam memilih Trump. Sama hanya dengan kalangan Kristen Konservatif yang mendukung Donald Trump karena sentimen Republikan.
Ketiga, menegakkan undang-undang dan peraturan pilkada. Tempat ibadah, lembaga pendidikan, dan institusi pemerintahan tidak boleh dipergunakan dan disalahgunakan untuk kampanye. Menistakan agama adalah perbuatan kriminal. Siapa pun yang melakukan pelecehan agama harus ditindak sesuai hukum. Negara harus tegas dan tidak boleh kalah. Yang juga terlarang adalah praktik politik uang dan bentuk-bentuk politik transaksional lain.
Keempat, membangun sikap ksatria: siap menang, siap kalah, dewasa menerima perbedaan, jiwa besar menerima kekalahan dan kesantunan merayakan kemenangan.
Pilkada adalah peristiwa politik biasa, mekanisme demokrasi untuk pemimpin daerah yang terbaik, melayani masyarakat, dan membangun bangsa yang bermartabat. Umat beragama berperan penting dalam menyukseskan pilkada. Umat beragama dapat menjadi teladan berpolitik yang santun dan berkeadaban sebagai perwujudan nilai universal agama.
(poe)