Partai Baru di Pemilu 2019

Senin, 03 Oktober 2016 - 09:02 WIB
Partai Baru di Pemilu 2019
Partai Baru di Pemilu 2019
A A A
Ramdansyah
Sekjen Partai IDAMAN

PEMERINTAH meminta kepada partai politik (parpol) baru pada Pemilu Presiden 2019 untuk bersabar mengajukan calon presiden pada 2024. Tjahjo Kumolo sebagai wakil pemerintah akan mengajukan usulan tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Harapannya agar UU Pemilu yang tengah digarap di parlemen dapat menetapkan usulan pemerintah tersebut. Lalu, bagaimana nasib parpol baru yang dapat memenangkan Pemilu Legislatif (Pileg) 2019, tetapi tidak bisa mencalonkan calon presidennya di pemilu presiden (pilpres)? Apakah ia akan menjadi raja tanpa mahkota?

Usulan pemerintah terkait nasib parpol baru perlu dihargai karena sejak dini sudah mengingatkan DPR. Wakil rakyat di Senayan diminta untuk membuat regulasi yang jelas untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan pada 23 Januari 2014 mengabulkan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu. Mahkamah membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal tersebut mengatur pelaksanaan pemilu presiden tiga bulan seusai pelaksanaan pemilu legislatif. MK membatalkan pasal-pasal tersebut dan menyetujui pelaksanaannya serentak pada 2019.

MK mempertimbangkan aspek hukum, sosiologis, dan ekonomi untuk memutuskan pemilu serentak. Pertimbangan hukum MK menggunakan batu uji Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 juga menjadi batu uji MK.

Pasal ini menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Pemilihan empat lembaga tersebut dimasukkan ke dalam satu rezim pemilu.

Pertimbangan MK secara sosiologis menilai bahwa pemilu serentak dapat mengurangi potensi politik uang. Tidak ada jeda tiga bulan dari pelaksanaan pileg ke pilpres tentu dapat menghindari pragmatisme koalisi politik menjelang pemilihan presiden. Pertimbangan ekonomis MK lebih pada efisiensi anggaran. Pelaksanaan pemilu serentak tidak membebankan uang rakyat dan pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pemilu berulang kali.

Sayangnya, MK bukanlah positive legislator. Mahkamah hanya memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah sebuah undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Tugas lembaga ini sudah selesai.

MK tidak membuat undang-undang yang bersifat teknis. Norma yang sudah ditetapkan MK dilanjutkan secara teknis oleh legislator kita di Senayan atau atas usulan pemerintah.

Karena itu, usulan pemerintah yang menggunakan hasil Pileg 2014 sebagai acuan Pilpres 2019 adalah hal yang wajar, tetapi perlu ditolak DPR. Alasannya, usulan ini tidak memberikan rasa keadilan. Parpol baru tidak diberikan kesempatan yang sama untuk ikut mencalonkan presiden di Pemilu 2019.

Pemerintah berasumsi bahwa seusai penetapan putusan MK, ambang batas masih tetap berlaku. Pilpres 2019 hanya boleh diikuti oleh parpol yang lolos ambang batas Pileg 2014 dan memperoleh kursi di DPR. Ini berarti ada 10 partai di Senayan yang bisa ikut pilpres dan menegasikan dua partai yang tidak memenuhi ambang parliamentary threshold (PT) seperti Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dengan Partai Bulan Bintang (PBB).

Bagaimana nasib partai lama yang tidak lolos ambang batas dan partai politik baru? Kalau mengacu pada usulan pemerintah, tidak ada tempat bagi dua kelompok ini untuk ikut serta dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Lalu, apa makna pemilu bagi partai politik baru?

Penggunaan hasil Pileg 2014 menjadi acuan Pilpres 2019 adalah tidak tepat. MK sudah memutuskan tidak ada jeda tiga bulan antara Pileg dan Pilpres 2014, lalu kenapa hasil Pileg 2014 menjadi acuan untuk pilpres lima tahun ke depan?

Ini tentu merusak sistem presidensial dan kembali memperkuat sistem parlementer. Sistem parlementer mendahulukan pemilihan parlemen untuk kemudian memilih perdana menteri yang akan diusulkan kepada kepala negara. Sistem presidensial mendahulukan pemilihan presiden baru kemudian pemilu legislatif.

Putusan MK terhadap uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu sudah tidak lagi melihat ambang batas sebagai syarat untuk pemilu serentak, kenapa harus ada perlakuan berbeda terhadap partai politik baru? Ada yang memberikan alasan bahwa parpol baru belum teruji memiliki basis dukungan di parlemen, jadi tidak dapat mengajukan calon presiden. Berbeda dengan parpol lama yang sudah memiliki kursi di parlemen. Parpol-parpol ini sudah teruji.

Asumsi partai lama yang mendapat kursi dipastikan sudah teruji sehingga tidak diverifikasi KPU dibatalkan MK. Putusan perkara MK No 52/ PUU-X/2012 yang dibacakan pada 29 Agustus 2012 menyatakan bahwa partai politik baru dan partai politik lama wajib mengikuti verifikasi yang dilakukan KPU RI sebelum mengikuti Pemilu 2014. Putusan MK ini membatalkan perlakuan berbeda sebagai persyaratan partai peserta Pemilu 2014.

Pasal 8 ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan secara otomatis peserta pemilu adalah partai politik peserta pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas peroleh suara dari jumlah suara sah secara nasional. Pasal ini sudah dibatalkan MK. Implikasinya, verifikasi parpol peserta Pemilu 2014 dilakukan KPU terhadap parpol yang mendapat kursi di Senayan, parpol yang tidak mendapat kursi dan parpol baru.

Kesamaan hak parpol baru dengan parpol lama sudah dimulai sejak verifikasi KPU. Penyelenggara melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap dua jenis parpol ini. Setelah verifikasi KPU atas perintah putusan MK No 52/ PUU-X/2012 dan dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2019, apakah kesamaan hak parpol dicabut kembali. Parpol baru dibedakan untuk menggunakan haknya untuk mencalonkan calon presidennya.

Berdasarkan dua putusan MK di atas, segala tindakan diskriminasi terhadap partai politik dapat berpotensi gagal di MK. Uji materi dapat dilakukan oleh parpol-parpol yang tidak lolos Pemilu 2014 dan parpol-parpol baru. Agar tidak menghabiskan waktu dan energi membahas keikutsertaan parpol baru dalam pencalonan Presiden 2019, perlu diminta fatwa dari Mahkamah Konstitusi.

Usulan pemerintah tentu dapat diabaikan DPR apabila MK sudah menafsirkan bahwa Pemilu Serentak 2019 mengabaikan ambang batas parlemen. Dengan demikian, parpol apa pun selama lolos verifikasi KPU akan mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama di Pilpres 2019.

Kajian naskah akademik tetap perlu dilakukan untuk mengkaji keuntungan dan kerugian perlakuan berbeda terhadap parpol baru di Pilpres 2019. Dampak biaya sosial yang lebih tinggi akibat munculnya banyak calon terutama dari parpol baru pada Pemilu Presiden 2019 juga perlu dihitung.

Masukan dari penggiat demokrasi yang tengah menggarap kodifikasi pemilu tentu dibutuhkan untuk memberikan masukan kepada DPR RI terkait dengan nasib partai politik baru. Semoga parpol baru yang lolos verifikasi KPU mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi raja dengan mahkota.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0457 seconds (0.1#10.140)