Kandidasi di Pilkada DKI

Kamis, 22 September 2016 - 14:06 WIB
Kandidasi di Pilkada...
Kandidasi di Pilkada DKI
A A A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

TIRAI pembuka pertarungan elektoral Pilkada DKI sudah dibuka. Sikap partai- partai pun satu per satu mulai jelas mengusung siapa. Teraktual tentunya adalah putusan PDIP yang mendukung kembali petahana (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat.

Putusan PDIP ini menjadi drama politik yang menjadi perhatian publik karena posisi strategis PDIP dalam fragmentasi kekuatan yang bertarung di DKI. Oleh karenanya, penting membaca agenda PDIP dan partai-partai, terutama dalam proses kandidasi dan peluang kemenangannya.

Pilihan Konservatif
Putusan PDIP yang mengusung Ahok-Djarot sangat dipengaruhi secara dominan oleh sikap Megawati. Meski sempat muncul relasi antagonistis di lingkungan politisi PDIP, terutama di level DPD dan beberapa pengurus pusat, pusat pergerakan aktor sesungguhnya ada di Mega.

Fakta politiknya, Mega memainkan peran sebagai veto player yang dominan dalam menentukan putusan, kebijakan, dan tindakan partai. Ciri paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan (esprit de corps) yang menonjol dalam loyalitas mereka terhadap Megawati.

Hal ini juga menguatkan batasan afiliatif (affiliative constraints) PDIP dengan kebijakan Megawati, terutama dalam hal-hal yang sangat strategis. Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative, and Egosentric Constraints (1998), batasan afiliatif berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak.

Pengaruh Megawati di PDIP sangat dominan dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh itu. Oleh karenanya, tidak mengherankan ketika arus deras penolakan terhadap Ahok menguap dan nyaris tak terlihat seusai Mega memantapkan pilihannya pada Ahok-Djarot. Sinyal komunikasi politik sesungguhnya kerap terpancar dari pesan verbal dan nonverbal Megawati.

Selama ini Mega tidak memiliki hambatan komunikasi interpersonal saat menjalin hubungan dengan Ahok. Selain itu secara sengaja dan bisa dikatakan cukup demonstratif memberi ruang publisitas politik untuk Ahok di panggung-panggung depan yang dimiliki PDIP maupun Mega sendiri.

Misalnya saat haul Taufik Kiemas dan saat Mega meluncurkan buku tentang perjalanan dirinya. Ahok dan Mega memberi pesan komunikasi politik yang jelas untuk memengaruhi lingkungan politik bahwa antara dirinya dan Ahok tak ada jarak komunikasi (communication gap) yang berarti. Manajemen kesan ini cukup menjadi konteks komunikasi saat Mega akhirnya harus memilih.

Secara organisasional pilihan PDIP juga tak mengagetkan karena sedari awal sebelum mereka mengusung nama, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebutkan tiga opsi utama mereka. Opsi mengusung petahana disebut pertama, baru menyebut opsi dari mereka yang mendaftar dan atau opsi pilihan pengurus pusat dan Megawati dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Dari ketiga opsi tersebut, PDIP secara sadar dan sengaja memeringkatkan pilihan dukungan petahana tersebut di opsi pertama. Sinyal ini sangatlah jelas bahwa baik Mega maupun PDIP secara kelembagaan sesungguhnya tak punya masalah serius dengan Ahok. Geliat suara hardliner di PDIP tak lebih dari sekadar gimmick dalam dramaturgi politik dan manajemen kesan sambil menunggu momentum yang tepat untuk mendeklarasikan sikap mereka.

Tentu juga biasanya ada faktor perbincangan yang kerap dilakukan di panggung belakang (back stage) sehingga mereka sampai di zona kesepakatan. Pilihan PDIP mengusung Ahok-Djarot sesungguhnya bisa dimaknai sebagai pilihan konservatif. Di depan mata PDIP punya dua jalan yang bisa dipilih dan samasama memosisikan PDIP sebagai kekuatan utama.

Jalan pertama adalah mengajukan kader sendiri. Untuk jalan ini, PDIP memiliki modal lebih dari memadai. Selain punya modal 24 kursi dukungan DPRD untuk kandidasi dan menjadi satusatunya partai yang bisa mencalonkan paket pasangan sendirian, PDIP juga punya deretan nama kader potensial untuk bertarung di DKI. Sebut saja satu nama yang punya resonansi di pasar pemilih Ibu Kota, yakni Tri Rismaharini.

Faktanya PDIP lebih memilih jalan kedua, yakni mengusung Ahok-Djarot. Hal ini bermakna PDIP memprioritaskan arti kemenangan dengan menjaga konfigurasi kekuatan yang sudah ada sejak tahun 2012. Sebagaimana kita ketahui, pada Pilkada DKI 2012, Jokowi- Ahok didukung PDIP dan Partai Gerindra.

Saat Jokowi naik menjadi RI-1, Djarot masuk dan menjadi representasi kekuatan PDIP menemani Ahok yang telah berganti peran menjadi DKI-1. Ahok bukanlah kader PDIP, tetapi faktanya tingkat keterpilihan Ahok hingga saat ini di atas nama-nama yang beredar sebagai calon kandidat di Pilkada DKI.

Secara strategis, PDIP pun mengambil pilihan sosok yang paling berpeluang menang daripada langkah progresif mengusung dan mencetak prospective leader untuk DKI dan nasional di kemudian hari. Sangat mungkin pilihan menjaga zona aman dan nyaman ini dipertahankan PDIP karena ada perencanaan strategis untuk memenangkan wilayah-wilayah strategis.

Penguasaan Ibu Kota menjadi niscaya dalam konteks mengukuhkan kuasa dan otoritasnya lewat paket kepemimpinan yang diusungnya. Tentu dalam praktiknya faktor Megawati bukan satu-satunya alasan. Faktor Jokowi juga harus dibaca sebagai hal menentukan. Di banyak kesempatan, Jokowi memainkan peran strategisnya dalam memfasilitasi ragam komunikasi politik antara Ahok dan lingkar utama PDIP.

Kongsi Non-Ahok
Tentu pilihan PDIP ini harus direspons cepat dan tepat oleh partai-partai yang berencana berkongsi. Ada dua prioritas yang harusnya menjadi perhatian utama kongsi non-Ahok. Pertama, memastikan adanya soliditas kekuatan dalam mengusung paket nama yang bisa berpotensi diusung bersamasama.

Bagaimanapun 54 kursi dukungan untuk kandidasi non-Ahok berpotensi terfragmentasi paling tidak menjadi dua poros. Poros pertama Gerindra dan PKS (26 kursi dukungan) dan poros Demokrat, PAN, PPP, dan PKB (28 kursi dukungan). Jika paketnya Sandiaga Uno-Mardani, sudah terprediksi akan ada dua poros kongsi.

Oleh karenanya, dalam satu dua hari ini kongsi non-Ahok harusnya menemukan formula menyatukan kekuatan sehingga bisa lebih kompetitif di pasar pemilih. Kalau tidak sukses mengonsolidasikan diri, potensi kekuatan terfragmentasi dan tentunya menguntungkan pasangan Ahok-Djarot.

Kedua, prioritas memasarkan ide, gagasan dan program yang jelas dan memiliki nilai keberbedaan dengan petahana. Sebagai penantang, hal ini bukan perkara mudah karena kuatnya persepsi di pasar pemilih bahwa petahana memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dan di banyak kesempatan mulai ramai glorifikasi bahwa dengan masuknya PDIP ke kongsi Ahok, Pilkada DKI tinggallah seremonial semata.

Paket pasangan harus dipilih yang memiliki resonansi bukan hanya di partai politik, tetapi juga bisa menggerakkan politik kerelawanan di simpul-simpul pemilih. Jika pemilih tak bergerak dalam kesadaran dukungannya, langkah penantang akan sangat mahal (high cost) dan tak efektif alias menjadi pelengkap penderita dari gemerlapnya langkah petahana. Terlepas dari ragam kepentingan politiknya, Pilkada DKI harusnya tak sekadar jualan nama.

Butuh adu gagasan, konsep, dan pengelolaan DKI secara lebih komprehensif dengan pendekatan yang ramah nilai-nilai kemanusiaan. Peradaban manusia butuh nilai dan keadaban, bukan semata-mata prosedur instrumental demokrasi elektoral. Demokrasi substantif yang menguatkan kuasa demos bukan semata menghamba pada syahwat kekuasaan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0631 seconds (0.1#10.140)