Kabinet Kompromi Jokowi

Kamis, 28 Juli 2016 - 13:10 WIB
Kabinet Kompromi Jokowi
Kabinet Kompromi Jokowi
A A A
Dr Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

PEROMBAKAN Kabinet Kerja jilid kedua telah dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari 13 posisi, sembilan menteri adalah wajah baru dan empat menteri yang hanya bergeser posisi. Inilah realitas politik kompromi yang ditempuh Jokowi di tengah banyak tekanan dan kepentingan kekuasaan di lingkar Istana. Tak mudah mengendalikan kapal besar republik ini dengan konfigurasi kekuatan politik penyokong kekuasaan yang beragam. Jokowi dihadapkan pada kenyataan, teramat sulit bagi pemilik hak prerogatif untuk memilih dan memilah the dream team tanpa mempertimbangkan politik representasi.

Akomodasi Politik
Realitas Kabinet Kerja tak semulus idealitas wacana Nawacita. Sejak dilantik sebagai presiden, Jokowi langsung dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks. Ada pelambatan pertumbuhan ekonomi di dunia yang berimbas pada ekonomi nasional, pola hubungan politik di DPR yang terbelah pascapilpres, dan tentu harapan publik yang membumbung tinggi kepada Jokowi. Akselerasi di musim pancaroba tahun pertama menyebabkan Jokowi mengambil inisiatif reshuffle pertama pada Rabu (12/08/2015).

Ternyata, problematika masih terus mendera Kabinet Kerja, terutama yang terasa langsung adalah sektor ekonomi dan aneka ragam pelayanan publik bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Meski begitu, persoalan politik, hukum, dan keamanan pun belum benar-benar memuaskan. Sudah pasti tak ada keberhasilan instan, pun demikian dengan tata kelola pemerintahan. Kendati demikian, target capaian terutama yang berdampak langsung pada perbaikan harus dirasakan. Pada tahun pertama Jokowi masih diberi pemakluman karena publik menyadari bukan perkara mudah mengatasi masalah di negeri yang hampir semua sektornya bermasalah.

Kini fasenya sudah berubah! Tahun kedua dan selanjutnya adalah tahun pembuktian. Cara kerja pemerintah menjadi ujian kepemimpinan duet Jokowi-JK. Fase akselerasi dan produktivitas kerja yang akan dinilai setiap saat oleh masyarakat. Karena itu, perombakan kabinet kali ini akan sangat menentukan arah dan langkah kabinet Jokowi di kemudian hari. Dalam konteks itulah, penting menakar reshuffle jilid kedua ini.

Jika menilik model reshuffle Jokowi kali ini, ada tiga ciri utamanya. Pertama, Jokowi mengeksplisitkan praktik akomodasi politik dengan memberi ruang pada partai-partai baru yang datang belakangan yakni Golkar dan PAN. Airlangga Hartarto yang menjabat menteri perindustrian menggantikan Saleh Husin merupakan representasi Golkar di kabinet. Pun demikian dengan Asman Abnur yang menggantikan posisi menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi menggantikan Yuddy Chrisnandi adalah representasi dukungan PAN.

Dalam konteks inilah, logika kekuasaan kembali mewujud dalam praktik power sharing alias bagi-bagi kekuasaan karena partai-partai selalu memaknai dukungan ibarat saham yang harus bisa dikonversikan ke dalam jabatan. Tarik-menarik untuk mengakomodasi pendatang baru ke dalam gerbong kekuasaan inilah yang menjadikan isu perombakan bergulir cukup lama. Beragam manuver persuasi dan bingkai opini di beragam kanal komunikasi turut mewarnai isu reshuffle ini berbulan-bulan.

Kedua, Jokowi mengelola keseimbangan politik dengan cara tetap mempertahankan konfigurasi kekuatan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya jatah Partai Hanura diberikan ke Wiranto yang ditunjuk menjadi menteri koordinator bidang politik, hukum dan keamanan (menko polhukam) sebagai kompensasi dicopotnya Saleh Husin sebagai menteri perindustrian.

Pun demikian, posisi Ferry Mursidan Baldan (NasDem) yang dicopot sebagai menteri agraria dan tata ruang secara tunai digantikan oleh posisi strategis lainnya yakni Enggartiasto Lukita menggantikan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong. Menteri dari PKB pun tetap aman, sekadar berganti orang dari Marwan Jafar ke Eko Putro Sanjoyo sebagai menteri pembangunan daerah tertinggal, desa, dan transmigrasi. Padahal, posisi kementrian yang diberikan ke PKB ini sangat diminati PDIP. Gamblang sekali bahwa Jokowi tak mau ambil risiko dengan mengurangi jatah partai-partai pendukung yang sudah ada sejak semula. Ini memberi makna bahwa Jokowi memelihara keseimbangan politik dan zona nyaman kekuasaan melalui format koalisi besar partai politik seperti juga dipraktikkan era SBY.

Ketiga, pembongkaran barisan kelompok profesional nonpartai yang performanya (mungkin) tak terlalu bagus atau bisa juga karena tak memiliki jangkar politik kuat. Di posisi ini ada Ignasius Jonan yang digantikan Budi Karya Sumadi yang menjabat menteri perhubungan (menhub). Sudirman Said yang digantikan Archandra Tahar sebagai menteri energi sumber daya mineral (ESDM), dan Anies Baswedan yang digantikan Muhajir Effendy sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud). Meski demikian, ada juga profesional yang sekadar direposisi yakni Bambang Brodjonegoro ke menteri PPN/kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sementara posisi lamanya sebagai menteri keuangan digantikan oleh Sri Mulyani. Nama Sri Mulyani inilah yang patut diapresiasi, di tengah problem ekonomi yang mendera Kabinet Kerja, kehadiran Sri Mulyani menjadi ”oase” sekaligus pilihan cerdas Jokowi.

Kinerja atau Kuasa?
Saat kampanye Pilpres 2014 hal menarik dari janji Jokowi adalah koalisi yang dibangunnya tanpa syarat dan akan membentuk pemerintahan ramping yang efektif. Ucapan tersebut tentu bukan sekadar mantra penarik suara, melainkan janji suci kepada pemilik mandat kuasa yakni rakyat Indonesia. Setiap perombakan mengemuka selalu muncul pertanyaan mendasar, sesungguhnya reshuffle ini untuk apa? Jika menggunakan perspektif publik, harusnya perombakan untuk perbaikan kinerja sehingga dapat dirasakan kebermanfaatannya oleh orang banyak. Sementara, jika menggunakan perspektif elite, perombakan akan terjebak pada sandera kuasa. Polanya lebih pada pilihan figur representasi dan akomodasi politik. Jika selalu kuasa yang menjadi pertimbangannya, kesan tambal sulam tak terhindari.

Misalnya dalam pilihan orang partai yang menjadi menteri, apakah Jokowi masih ingat ucapannya bahwa menteri Kabinet Kerja tak boleh rangkap jabatan dengan posisinya sebagai ketua umum partai politik. Bagaimana dengan posisi Wiranto? Rasanya perlakuannya mesti sama, yakni menteri-menteri Jokowi harus fokus bekerja tanpa terbebani tanggung jawab politik sebagai orang nomor satu di partai yang harus dibesarkannya. Hal lain sebaiknya Jokowi tak menggeser orang yang sama lebih dari dua kali apalagi sampai tiga kali dalam jabatan-jabatan berbeda di kabinetnya. Hal ini dialami Sofyan Djalil yang sudah berganti-ganti posisi dari menko perekonomian, ke kepala Bapenas dan sekarang ke menteri agraria dan tata ruang/kepala Badan Pertanahan Nasional. Hal ini akan terkesan sekadar mempertahankan kuasa dibanding orientasi kerja.

Apa yang paling publik tunggu seusai hiruk-pikuk perombakan? Jawabannya sudah pasti performa kerja. Pacanowsky dan ODonnell dalam bukunya, Communication and Organizational Culture (1982), menulis performa menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku dalam organisasi. Dalam konteks Kabinet Kerja tentu terkait dengan pemahaman rakyat akan kiprah kabinet ini melayani mereka. Performa tak cukup hanya citra, melainkan kerja nyata yang tak bisa direkayasa oleh jutaan kata-kata dusta sekalipun memesona!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9400 seconds (0.1#10.140)