Revisi UU Pengampunan Pajak
A
A
A
Andreas Lako
Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata, Semarang
SETELAH menuai pro-kontra dan pembahasan yang alot selama enam bulan, akhirnya pada 28 Juni 2016 DPR bersama pemerintah menyetujui dan mengesahkan RUU Pengampunan Pajak menjadi Undang-undang (UU). Dengan pengesahan UU tersebut, pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak.
Namun, di luar dugaan atau harapan publik, DPR ternyata menghasilkan naskah UU yang mengandung permasalahan yang serius. Isi UU Pengampunan Pajak (UUPP) ternyata kontradiksi dengan prinsip-prinsip etika, keadilan sosial-ekonomi, penegakan hukum, dan kepentingan nasional.
UU tersebut juga berpotensi besar menempatkan negara dalam posisi yang lemah dan tak berdaya dalam berhadapan dengan para pelaku korupsi, perampok dan penjahat keuangan negara, penggelap pajak dan pelaku pencucian uang yang akan menjadi peserta program amnesti pajak.
Mengapa? Jawabannya, karena dalam UUPP tersebut DPR ternyata tidak memasukkan koruptor dan para wajib pajak (WP) hitam ke dalam subjek yang dikecualikan dalam program amnesti pajak.
Dalam Bab III Pasal 3 ayat (1) UUPP disebutkan bahwa setiap WP berhak mendapatkan pengampunan pajak. Pada ayat (3) disebutkan bahwa yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana disebutkan pada ayat (1) adalah yaitu WP yang sedang: a) dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan; b) dalam proses peradilan; atau c) menjalani hukum pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan ketentuan tersebut, koruptor dan para WP hitam yang selama ini lihai memperdayai negara dan sukses menyembunyikan aset-aset hasil kejahatan mereka di sejumlah negara surga pajak boleh menjadi peserta program amnesti pajak.
Padahal, selama ini masyarakat luas sudah berulang meminta DPR agar pihak-pihak tersebut dikecualikan dari RUU Pengampunan Pajak karena mereka sangat tidak pantas mendapatkannya. Mereka layak diusut dan diproses secara hukum.
Lindungi WP Hitam
Meski Presiden Jokowi menegaskan bahwa pengampunan pajak bukan upaya pengampunan bagi para koruptor atau pemutihan atas aksi pencucian uang, sulit dipungkiri realitas yuridis formil bahwa UUPP sesungguhnya didesain khusus untuk melindungi para koruptor dan WP hitam yang memiliki banyak aset di luar negeri dengan nilai yang besar dari jeratan hukum.
Mengapa? Karena, dalam UUPP ditegaskan bahwa semua data dan informasi dari para WP peserta program amnesti pajak dijamin dan dijaga kerahasiaannya oleh negara.
Penegasan tersebut tertuang dalam Bab X tentang Manajemen Data dan Informasi, khususnya pada Pasal 20, 21, dan 22. Pasal 20 menegaskan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UUPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
Pada Pasal 21 ayat (2) juga diatur bahwa menteri dan wakil menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh WP kepada pihak lain.
Selanjutnya pada ayat (3) ditegaskan bahwa data dan informasi yang disampaikan WP dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat diminta oleh siapa pun atau diberikan kepada pihak mana berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan WP sendiri.
Data dan informasi yang disampaikan WP digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Sementara pada Pasal 22 ditegaskan bahwa menteri, wakil menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melakukan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Para pihak yang melanggar ketentuan menjaga kerahasiaan tersebut akan dikenakan hukuman pidana berat. Ketentuan tersebut diatur dalam Bab XI Ketentuan Pidana.
Pada Pasal 23 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Berdasarkan sejumlah ketentuan di atas, sangat jelaslah bahwa keberadaan UUPP sangat prokoruptor dan para WP hitam yang akan menjadi peserta program amnesti pajak.
Kerahasiaan data dan informasi tentang WP hitam tersebut tidak hanya dijamin dan dilindungi oleh negara, tapi juga diproteksi kebal terhadap proses hukum.
Akibat itu, KPK, Polri, maupun kejaksaan tidak bisa berbuat apa-apa meski mereka memiliki bukti-bukti kuat terkait sepak terjang kejahatan para WP hitam peserta amnesti pajak.
Selain itu, Presiden selaku otoritas tertinggi pemegang data WP peserta program amnesti pajak pun tidak berdaya dalam menghadapi para WP hitam.
Meski memiliki data dan informasi yang lengkap terkait dana serta aset haram dan perilaku buruk para WP hitam, Presiden tak bisa berbuat banyak dalam upaya penegakan hukum karena bisa dipidanakan oleh para WP hitam. Ini sungguh sangat ironis.
Revisi UUPP
Dari uraian di atas, menjadi jelaslah bahwa UUPP yang disahkan DPR pada akhir Juni lalu mengandung permasalahan krusial (cacat) yang sangat serius. UU tersebut tidak hanya prokoruptor dan memproteksi para WP hitam dari tuntutan dan jeratan hukum, tapi juga akan menempatkan negara dan pemerintah dalam posisi yang lemah dan tak berdaya dalam menghadapi WP hitam.
Selain itu, keberadaan UUPP tersebut juga terlihat sangat bersifat politis dan sarat dengan muatan kepentingan ekonomi dari kelompok WP hitam. Sejumlah pasal krusial yang telah disebutkan di atas sangat jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional.
Karena itu, apabila UUPP dipaksakan segera dilaksanakan, sangat mungkin akan muncul berbagai komplikasi permasalahan serius, terutama ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sosial-ekonomi.
Taruhan kewibawaan negara dan pengorbanan kepentingan negara juga akan yang jauh lebih besar dibanding manfaat ekonomi dan nonekonomi yang bakal diperoleh.
Ketiadaan transparansi informasi dan akuntabilitas publik terhadap informasi WP peserta program amnesti pajak juga sangat mungkin akan menyebabkan pelaksanaan amnesti pajak tidak efektif alias gagal total mencapai target-target yang diimpikan pemerintah dan banyak pihak.
Pengalaman kesuksesan program amnesti pajak di Irlandia dan Inggris karena dua negara tersebut mengumumkan kepada publik nama-nama peserta program amnesti pajak. Mereka juga transparan dan akuntabel dalam menyajikan informasi tentang realisasi pelaksanaan amnesti pajak.
Transparansi dan akuntabilitas tersebut menyebabkan para WP tidak bisa menghindar dan ”main mata” atau berkonspirasi jahat dengan para aparat negara pelaksana program amnesti pajak.
Sebaliknya, kegagalan atau ketidakefektifan pelaksanaan amnesti pajak di sejumlah negara seperti Filipina, India, dan Rusia karena tidak ada kewajiban transparansi dan akuntabilitas informasi WP kepada publik.
Kegagalan pelaksanaan amnesti pajak di Indonesia pada 1964 dan 1984 sesungguhnya juga disebabkan oleh tidak ada kewajiban transparansi dan akuntabilitas publik tersebut sehingga para WP hitam tetap merasa aman dan nyaman kerahasiaan dan reputasinya.
Proses konspirasi mereka dengan para aparat negara pelaksana amnesti pajak juga tidak bisa diketahui publik.
Karena itu, demi kepentingan bangsa dan negara yang jauh lebih luas, Presiden Jokowi dan pihak-pihak terkait sebaiknya legawa menunda implementasi UUPP dan segera mengkali ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah yang sangat prokoruptor dan WP hitam serta menempatkan negara dalam posisi lemah. Hal ini penting agar UUPP tidak menjadi bumerang dan bahkan ”jebakan” bagi pemerintahan Jokowi-JK dan kepentingan negara di kemudian hari.
Namun, apabila Presiden menganggap naskah UUPP sudah final, masyarakat luas memang layak mengajukan judicial review UUPP ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keberanian MK melakukan judicial review terhadap UUPP tidak hanya sangat krusial untuk mencegah terjadi tirani WP hitam terhadap negara.
Tapi, juga demi menjamin efektivitas kebermanfaatan ekonomi dan nonekonomi program amnesti pajak bagi bangsa dan negara dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata, Semarang
SETELAH menuai pro-kontra dan pembahasan yang alot selama enam bulan, akhirnya pada 28 Juni 2016 DPR bersama pemerintah menyetujui dan mengesahkan RUU Pengampunan Pajak menjadi Undang-undang (UU). Dengan pengesahan UU tersebut, pemerintah bisa segera melaksanakan program amnesti pajak.
Namun, di luar dugaan atau harapan publik, DPR ternyata menghasilkan naskah UU yang mengandung permasalahan yang serius. Isi UU Pengampunan Pajak (UUPP) ternyata kontradiksi dengan prinsip-prinsip etika, keadilan sosial-ekonomi, penegakan hukum, dan kepentingan nasional.
UU tersebut juga berpotensi besar menempatkan negara dalam posisi yang lemah dan tak berdaya dalam berhadapan dengan para pelaku korupsi, perampok dan penjahat keuangan negara, penggelap pajak dan pelaku pencucian uang yang akan menjadi peserta program amnesti pajak.
Mengapa? Jawabannya, karena dalam UUPP tersebut DPR ternyata tidak memasukkan koruptor dan para wajib pajak (WP) hitam ke dalam subjek yang dikecualikan dalam program amnesti pajak.
Dalam Bab III Pasal 3 ayat (1) UUPP disebutkan bahwa setiap WP berhak mendapatkan pengampunan pajak. Pada ayat (3) disebutkan bahwa yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana disebutkan pada ayat (1) adalah yaitu WP yang sedang: a) dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan; b) dalam proses peradilan; atau c) menjalani hukum pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan ketentuan tersebut, koruptor dan para WP hitam yang selama ini lihai memperdayai negara dan sukses menyembunyikan aset-aset hasil kejahatan mereka di sejumlah negara surga pajak boleh menjadi peserta program amnesti pajak.
Padahal, selama ini masyarakat luas sudah berulang meminta DPR agar pihak-pihak tersebut dikecualikan dari RUU Pengampunan Pajak karena mereka sangat tidak pantas mendapatkannya. Mereka layak diusut dan diproses secara hukum.
Lindungi WP Hitam
Meski Presiden Jokowi menegaskan bahwa pengampunan pajak bukan upaya pengampunan bagi para koruptor atau pemutihan atas aksi pencucian uang, sulit dipungkiri realitas yuridis formil bahwa UUPP sesungguhnya didesain khusus untuk melindungi para koruptor dan WP hitam yang memiliki banyak aset di luar negeri dengan nilai yang besar dari jeratan hukum.
Mengapa? Karena, dalam UUPP ditegaskan bahwa semua data dan informasi dari para WP peserta program amnesti pajak dijamin dan dijaga kerahasiaannya oleh negara.
Penegasan tersebut tertuang dalam Bab X tentang Manajemen Data dan Informasi, khususnya pada Pasal 20, 21, dan 22. Pasal 20 menegaskan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UUPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
Pada Pasal 21 ayat (2) juga diatur bahwa menteri dan wakil menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh WP kepada pihak lain.
Selanjutnya pada ayat (3) ditegaskan bahwa data dan informasi yang disampaikan WP dalam rangka pengampunan pajak tidak dapat diminta oleh siapa pun atau diberikan kepada pihak mana berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan WP sendiri.
Data dan informasi yang disampaikan WP digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
Sementara pada Pasal 22 ditegaskan bahwa menteri, wakil menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melakukan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Para pihak yang melanggar ketentuan menjaga kerahasiaan tersebut akan dikenakan hukuman pidana berat. Ketentuan tersebut diatur dalam Bab XI Ketentuan Pidana.
Pada Pasal 23 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pada ayat (2) ditegaskan bahwa penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Berdasarkan sejumlah ketentuan di atas, sangat jelaslah bahwa keberadaan UUPP sangat prokoruptor dan para WP hitam yang akan menjadi peserta program amnesti pajak.
Kerahasiaan data dan informasi tentang WP hitam tersebut tidak hanya dijamin dan dilindungi oleh negara, tapi juga diproteksi kebal terhadap proses hukum.
Akibat itu, KPK, Polri, maupun kejaksaan tidak bisa berbuat apa-apa meski mereka memiliki bukti-bukti kuat terkait sepak terjang kejahatan para WP hitam peserta amnesti pajak.
Selain itu, Presiden selaku otoritas tertinggi pemegang data WP peserta program amnesti pajak pun tidak berdaya dalam menghadapi para WP hitam.
Meski memiliki data dan informasi yang lengkap terkait dana serta aset haram dan perilaku buruk para WP hitam, Presiden tak bisa berbuat banyak dalam upaya penegakan hukum karena bisa dipidanakan oleh para WP hitam. Ini sungguh sangat ironis.
Revisi UUPP
Dari uraian di atas, menjadi jelaslah bahwa UUPP yang disahkan DPR pada akhir Juni lalu mengandung permasalahan krusial (cacat) yang sangat serius. UU tersebut tidak hanya prokoruptor dan memproteksi para WP hitam dari tuntutan dan jeratan hukum, tapi juga akan menempatkan negara dan pemerintah dalam posisi yang lemah dan tak berdaya dalam menghadapi WP hitam.
Selain itu, keberadaan UUPP tersebut juga terlihat sangat bersifat politis dan sarat dengan muatan kepentingan ekonomi dari kelompok WP hitam. Sejumlah pasal krusial yang telah disebutkan di atas sangat jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional.
Karena itu, apabila UUPP dipaksakan segera dilaksanakan, sangat mungkin akan muncul berbagai komplikasi permasalahan serius, terutama ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sosial-ekonomi.
Taruhan kewibawaan negara dan pengorbanan kepentingan negara juga akan yang jauh lebih besar dibanding manfaat ekonomi dan nonekonomi yang bakal diperoleh.
Ketiadaan transparansi informasi dan akuntabilitas publik terhadap informasi WP peserta program amnesti pajak juga sangat mungkin akan menyebabkan pelaksanaan amnesti pajak tidak efektif alias gagal total mencapai target-target yang diimpikan pemerintah dan banyak pihak.
Pengalaman kesuksesan program amnesti pajak di Irlandia dan Inggris karena dua negara tersebut mengumumkan kepada publik nama-nama peserta program amnesti pajak. Mereka juga transparan dan akuntabel dalam menyajikan informasi tentang realisasi pelaksanaan amnesti pajak.
Transparansi dan akuntabilitas tersebut menyebabkan para WP tidak bisa menghindar dan ”main mata” atau berkonspirasi jahat dengan para aparat negara pelaksana program amnesti pajak.
Sebaliknya, kegagalan atau ketidakefektifan pelaksanaan amnesti pajak di sejumlah negara seperti Filipina, India, dan Rusia karena tidak ada kewajiban transparansi dan akuntabilitas informasi WP kepada publik.
Kegagalan pelaksanaan amnesti pajak di Indonesia pada 1964 dan 1984 sesungguhnya juga disebabkan oleh tidak ada kewajiban transparansi dan akuntabilitas publik tersebut sehingga para WP hitam tetap merasa aman dan nyaman kerahasiaan dan reputasinya.
Proses konspirasi mereka dengan para aparat negara pelaksana amnesti pajak juga tidak bisa diketahui publik.
Karena itu, demi kepentingan bangsa dan negara yang jauh lebih luas, Presiden Jokowi dan pihak-pihak terkait sebaiknya legawa menunda implementasi UUPP dan segera mengkali ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah yang sangat prokoruptor dan WP hitam serta menempatkan negara dalam posisi lemah. Hal ini penting agar UUPP tidak menjadi bumerang dan bahkan ”jebakan” bagi pemerintahan Jokowi-JK dan kepentingan negara di kemudian hari.
Namun, apabila Presiden menganggap naskah UUPP sudah final, masyarakat luas memang layak mengajukan judicial review UUPP ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keberanian MK melakukan judicial review terhadap UUPP tidak hanya sangat krusial untuk mencegah terjadi tirani WP hitam terhadap negara.
Tapi, juga demi menjamin efektivitas kebermanfaatan ekonomi dan nonekonomi program amnesti pajak bagi bangsa dan negara dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
(sms)