Deradikalisasi vs Brutalitas Pelaku Teror
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
SEPANJANG bulan suci Ramadhan hingga Idul Fitri tahun ini, dunia berselimut keprihatinan akibat rangkaian teror bom di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Brutalitas pelaku teror memuncak dengan tiga serangan bom bunuh diri yang mengguncang tiga kota di Arab Saudi, sehari sebelum Idul Fitri; dan aksi serupa di Kota Solo, beberapa jam sebelum umat menyelenggarakan malam takbiran.
Serangan bom bunuh diri dimulai di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki yang berlanjut dengan serangan di Dhaka. Bangladesh. Serangan di Dhaka menyebabkan 20 sandera tewas. Setelah itu, ISIS meledakkan bom mobil di Pasar Karada di Kota Baghdad, Irak, Minggu (3/7). Jumlah korban tewas dari 200 orang, termasuk anak-anak.
Ketika perhatian masih terfokus pada tiga tragedi tadi, komunitas internasional dibuat terhenyak sesaat karena Madinah, Qatif, dan Jeddah di Arab Saudi juga diguncang bom bunuh diri, satu hari sebelum Idul Fitri. Brutalitas pelaku teror di Arab Saudi itu semakin sulit dipahami karena ledakan bom di Kota Madinah justru terjadi di dekat komplek Masjid Nabawi, bangunan suci yang bermakna sangat khusus bagi umat muslim sedunia. Pasalnya, Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat makam dia serta para sahabatnya.
Lalu ketika para pejabat tinggi negara dan tokoh agama di dalam negeri menyuarakan kecaman atas serangan bom di dekat Masjid Nabawi itu, pelaku teror di dalam negeri meledakkan bom bunuh di Polresta Solo pada Selasa (5/7). Kasus ini pun sulit dimengerti karena pelakunya beraksi saat masyarakat sedang-sedang bersiap-siap menyongsong malam takbiran.
Setelah Solo, Dhaka kembali diguncang. Sebuah ledakan bom terjadi di Distrik Kishoreganj, Bangladesh utara, saat lebih dari 200.000 umat muslim sedang melaksanakan ibadah salat Idul Fitri. Seorang polisi tewas dan lima orang terluka akibat ledakan bom dan baku tembak di sebuah lapangan.
Rangkaian bom bunuh diri sepanjang Ramadhan memang memiliki keterkaitan dengan kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pasalnya, pentolan ISIS telah menyebar seruan kepada semua simpatisannya untuk melancarkan teror atau Amaliyah di seluruh dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ISIS telah melebarkan sayapnya dari Afrika hingga Asia.
Untuk semua aksi bernuansa teror mematikan, ISIS menggunakan ungkapan Amaliyah. Dan sebagaimana diungkap Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, ISIS berasumsi bahwa Amaliyah pada bulan suci adalah suatu tindakan yang baik dan akan mendapatkan pahala. Apakah asumsi seperti itu patut diberi simpati atau apresiasi?
Keyakinan seperti itu tidak hanya sulit dipahami, tetapi tidak bisa diterima. Maka sangat masuk jika serangan bom di dekat Masjid Nabawi dan di Solo dinilai sebagai serangan terhadap umat muslim sedunia, dan juga umat muslim Indonesia khususnya. Dengan begitu, para pelaku bom bunuh diri, aktor intelektual, dan para simpatisannya patut diposisikan sebagai musuh bersama. Mereka sudah jelas-jelas ingin mencabik-cabik keagungan agama. Mereka pun ingin merusak peradaban dengan memaksakan keyakinannya kepada komunitas lain.
Milisi ISIS dan para simpatisannya mungkin ingin membangun dunia baru seturut keyakinannya. Namun, mereka tidak boleh menghadirkan bencana bagi komunitas lain, apalagi melancarkan serangan mematikan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Komunitas internasional, termasuk masyarakat Indonesia, sudah merasakan kekejaman dan kebrutalan ISIS dan para simpatisannya. Ketika para simpatisan ISIS meledakkan bom di dekat Masjid Nabawi, sudah sangat jelas bahwa ISIS pun menunjukkan sikap bermusuhan dengan komunitas muslim sedunia. Peristiwa di Kota Madinah semakin menegaskan kepada setiap orang bahwa terorisme adalah musuh agama dan kemanusiaan.
Kewaspadaan Masyarakat
Menyikapi guncangan bom di negaranya, Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz berjanji akan menggunakan "tangan besi" terhadap orang-orang yang menyeret pemuda negeri itu ke dalam ekstremisme agama. ”Kami akan membalas dengan tangan besi’ terhadap mereka yang mengincar para pemuda kami,” kata raja berusia 80 tahun itu.
Lalu, bagaimana Indonesia akan menyikapi kecenderungan serupa itu? Semua elemen masyarakat tidak boleh tutup mata terhadap fakta tentang banyaknya orang muda Indonesia yang nyaris terperangkap dalam ekstremisme agama. Contoh terbaru yang paling ekstrem adalah ledakan bom bunuh diri di Solo itu. Sebagaimana penjelasan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Tito Karnavian, pelakunya memiliki keterkaitan dengan beberapa kelompok radikal yang juga sudah diidentifikasi oleh intelijen Indonesia.
Kelompok-kelompok itu berafiliasi dengan ISIS. Maka itu, sel-sel ISIS sesungguhnya sudah berbaur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Potret lain tentang sel ISIS di Indonesia tergambar pada kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah yang masih bersembunyi kawasan hutan Poso, Sulawesi Tengah. Santoso berambisi menjadikan kawasan hutan di Sulawesi Tengah sebagai pusat latihan milisi bagi para simpatisan ISIS.
Sebagai negara yang menghormati prinsip-prinsip hukum, Indonesia tentunya tidak harus menggunakan tangan besi untuk merespons kecenderungan itu. Negara, dengan dukungan para pendidik dan ulama, bisa mereduksi kecenderungan itu dengan program yang dapat mengubah sikap dan cara pandang ekstrem menjadi lunak, toleran, pluralis, dan moderat (deradikalisasi).
Akan tetapi, menawarkan program deradikalisasi tidak boleh membuat negara dan rakyat lengah. Sebaliknya, kewaspadaan dan militansi harus ditingkatkan karena program deradikalisasi belum tentu mujarab bagi semua orang yang berpandangan ekstrem. Pelaku ledakan bom Solo dan Santoso dengan MIT-nya menjadi contoh tentang program deradikalisasi yang tidak laku. Mereka memiliki jaringan di berbagai tempat. Jaringan-jaringan itulah yang harus diwaspadai oleh semua elemen masyarakat.
Hari-hari ini masyarakat telah melalui periode bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri tahun 2016. Apakah teror bom akan berakhir dengan sendirinya? Belum tentu. Para simpatisan ISIS terang-terangan telah mengancam Indonesia. Selain itu, sejumlah kelompok pelaku teror masih menyimpan dendam terhadap institusi Polri. Maka cukup jelas bahwa ancaman teror masih mengintai masyarakat.
Oleh karena itu, bahu-membahu dengan semua elemen masyarakat, segenap aparatur keamanan negara perlu meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan untuk mengantisipasi dan merespons brutalitas pelaku teror yang beraksi atas alasan apa pun. Brutalitas pelaku teror akhir-akhir ini tidak bisa ditoleransi lagi.
Kebrutalan pelaku teror saat ini, mau tak mau, harus disikapi dengan kebijakan serta langkah-langkah antiteror yang luar biasa pula. Negara tidak boleh lagi memberi toleransi kepada siapa saja atau kelompok yang terindikasi sebagai pelaku teror. Negara tidak boleh minimalis ketika masyarakat terancam oleh para pelaku teror. Sebaliknya, negara harus bertindak ekstra keras dan lugas terhadap kelompok-kelompok yang terindikasi akan melakukan serangan.
Untuk meningkatkan kesigapan merespons kebrutalan pelaku teror, Polri, TNI, BIN, dan BNPT harus diberi kewenangan dan keleluasaan yang proporsional sesuai tupoksinya masing-masing dengan potensi ancaman saat ini. Peran serta masyarakat dalam bentuk berbagi informasi dengan Polri dan TNI tentu saja sangat diharapkan. Dan, untuk mengidentifikasi dan memonitor pergerakan pelaku teror dari berbagai negara, pemerintah hendaknya meningkatkan kerja sama dengan sejumlah negara terkait.
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
SEPANJANG bulan suci Ramadhan hingga Idul Fitri tahun ini, dunia berselimut keprihatinan akibat rangkaian teror bom di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Brutalitas pelaku teror memuncak dengan tiga serangan bom bunuh diri yang mengguncang tiga kota di Arab Saudi, sehari sebelum Idul Fitri; dan aksi serupa di Kota Solo, beberapa jam sebelum umat menyelenggarakan malam takbiran.
Serangan bom bunuh diri dimulai di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki yang berlanjut dengan serangan di Dhaka. Bangladesh. Serangan di Dhaka menyebabkan 20 sandera tewas. Setelah itu, ISIS meledakkan bom mobil di Pasar Karada di Kota Baghdad, Irak, Minggu (3/7). Jumlah korban tewas dari 200 orang, termasuk anak-anak.
Ketika perhatian masih terfokus pada tiga tragedi tadi, komunitas internasional dibuat terhenyak sesaat karena Madinah, Qatif, dan Jeddah di Arab Saudi juga diguncang bom bunuh diri, satu hari sebelum Idul Fitri. Brutalitas pelaku teror di Arab Saudi itu semakin sulit dipahami karena ledakan bom di Kota Madinah justru terjadi di dekat komplek Masjid Nabawi, bangunan suci yang bermakna sangat khusus bagi umat muslim sedunia. Pasalnya, Masjid Nabawi dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dan menjadi tempat makam dia serta para sahabatnya.
Lalu ketika para pejabat tinggi negara dan tokoh agama di dalam negeri menyuarakan kecaman atas serangan bom di dekat Masjid Nabawi itu, pelaku teror di dalam negeri meledakkan bom bunuh di Polresta Solo pada Selasa (5/7). Kasus ini pun sulit dimengerti karena pelakunya beraksi saat masyarakat sedang-sedang bersiap-siap menyongsong malam takbiran.
Setelah Solo, Dhaka kembali diguncang. Sebuah ledakan bom terjadi di Distrik Kishoreganj, Bangladesh utara, saat lebih dari 200.000 umat muslim sedang melaksanakan ibadah salat Idul Fitri. Seorang polisi tewas dan lima orang terluka akibat ledakan bom dan baku tembak di sebuah lapangan.
Rangkaian bom bunuh diri sepanjang Ramadhan memang memiliki keterkaitan dengan kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pasalnya, pentolan ISIS telah menyebar seruan kepada semua simpatisannya untuk melancarkan teror atau Amaliyah di seluruh dunia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ISIS telah melebarkan sayapnya dari Afrika hingga Asia.
Untuk semua aksi bernuansa teror mematikan, ISIS menggunakan ungkapan Amaliyah. Dan sebagaimana diungkap Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, ISIS berasumsi bahwa Amaliyah pada bulan suci adalah suatu tindakan yang baik dan akan mendapatkan pahala. Apakah asumsi seperti itu patut diberi simpati atau apresiasi?
Keyakinan seperti itu tidak hanya sulit dipahami, tetapi tidak bisa diterima. Maka sangat masuk jika serangan bom di dekat Masjid Nabawi dan di Solo dinilai sebagai serangan terhadap umat muslim sedunia, dan juga umat muslim Indonesia khususnya. Dengan begitu, para pelaku bom bunuh diri, aktor intelektual, dan para simpatisannya patut diposisikan sebagai musuh bersama. Mereka sudah jelas-jelas ingin mencabik-cabik keagungan agama. Mereka pun ingin merusak peradaban dengan memaksakan keyakinannya kepada komunitas lain.
Milisi ISIS dan para simpatisannya mungkin ingin membangun dunia baru seturut keyakinannya. Namun, mereka tidak boleh menghadirkan bencana bagi komunitas lain, apalagi melancarkan serangan mematikan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Komunitas internasional, termasuk masyarakat Indonesia, sudah merasakan kekejaman dan kebrutalan ISIS dan para simpatisannya. Ketika para simpatisan ISIS meledakkan bom di dekat Masjid Nabawi, sudah sangat jelas bahwa ISIS pun menunjukkan sikap bermusuhan dengan komunitas muslim sedunia. Peristiwa di Kota Madinah semakin menegaskan kepada setiap orang bahwa terorisme adalah musuh agama dan kemanusiaan.
Kewaspadaan Masyarakat
Menyikapi guncangan bom di negaranya, Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz berjanji akan menggunakan "tangan besi" terhadap orang-orang yang menyeret pemuda negeri itu ke dalam ekstremisme agama. ”Kami akan membalas dengan tangan besi’ terhadap mereka yang mengincar para pemuda kami,” kata raja berusia 80 tahun itu.
Lalu, bagaimana Indonesia akan menyikapi kecenderungan serupa itu? Semua elemen masyarakat tidak boleh tutup mata terhadap fakta tentang banyaknya orang muda Indonesia yang nyaris terperangkap dalam ekstremisme agama. Contoh terbaru yang paling ekstrem adalah ledakan bom bunuh diri di Solo itu. Sebagaimana penjelasan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Tito Karnavian, pelakunya memiliki keterkaitan dengan beberapa kelompok radikal yang juga sudah diidentifikasi oleh intelijen Indonesia.
Kelompok-kelompok itu berafiliasi dengan ISIS. Maka itu, sel-sel ISIS sesungguhnya sudah berbaur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Potret lain tentang sel ISIS di Indonesia tergambar pada kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah yang masih bersembunyi kawasan hutan Poso, Sulawesi Tengah. Santoso berambisi menjadikan kawasan hutan di Sulawesi Tengah sebagai pusat latihan milisi bagi para simpatisan ISIS.
Sebagai negara yang menghormati prinsip-prinsip hukum, Indonesia tentunya tidak harus menggunakan tangan besi untuk merespons kecenderungan itu. Negara, dengan dukungan para pendidik dan ulama, bisa mereduksi kecenderungan itu dengan program yang dapat mengubah sikap dan cara pandang ekstrem menjadi lunak, toleran, pluralis, dan moderat (deradikalisasi).
Akan tetapi, menawarkan program deradikalisasi tidak boleh membuat negara dan rakyat lengah. Sebaliknya, kewaspadaan dan militansi harus ditingkatkan karena program deradikalisasi belum tentu mujarab bagi semua orang yang berpandangan ekstrem. Pelaku ledakan bom Solo dan Santoso dengan MIT-nya menjadi contoh tentang program deradikalisasi yang tidak laku. Mereka memiliki jaringan di berbagai tempat. Jaringan-jaringan itulah yang harus diwaspadai oleh semua elemen masyarakat.
Hari-hari ini masyarakat telah melalui periode bulan Ramadan dan perayaan Idul Fitri tahun 2016. Apakah teror bom akan berakhir dengan sendirinya? Belum tentu. Para simpatisan ISIS terang-terangan telah mengancam Indonesia. Selain itu, sejumlah kelompok pelaku teror masih menyimpan dendam terhadap institusi Polri. Maka cukup jelas bahwa ancaman teror masih mengintai masyarakat.
Oleh karena itu, bahu-membahu dengan semua elemen masyarakat, segenap aparatur keamanan negara perlu meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan untuk mengantisipasi dan merespons brutalitas pelaku teror yang beraksi atas alasan apa pun. Brutalitas pelaku teror akhir-akhir ini tidak bisa ditoleransi lagi.
Kebrutalan pelaku teror saat ini, mau tak mau, harus disikapi dengan kebijakan serta langkah-langkah antiteror yang luar biasa pula. Negara tidak boleh lagi memberi toleransi kepada siapa saja atau kelompok yang terindikasi sebagai pelaku teror. Negara tidak boleh minimalis ketika masyarakat terancam oleh para pelaku teror. Sebaliknya, negara harus bertindak ekstra keras dan lugas terhadap kelompok-kelompok yang terindikasi akan melakukan serangan.
Untuk meningkatkan kesigapan merespons kebrutalan pelaku teror, Polri, TNI, BIN, dan BNPT harus diberi kewenangan dan keleluasaan yang proporsional sesuai tupoksinya masing-masing dengan potensi ancaman saat ini. Peran serta masyarakat dalam bentuk berbagi informasi dengan Polri dan TNI tentu saja sangat diharapkan. Dan, untuk mengidentifikasi dan memonitor pergerakan pelaku teror dari berbagai negara, pemerintah hendaknya meningkatkan kerja sama dengan sejumlah negara terkait.
(kri)