Gagal Paham Pembatalan Perda

Kamis, 30 Juni 2016 - 16:50 WIB
Gagal Paham Pembatalan...
Gagal Paham Pembatalan Perda
A A A
Ahmad Yani SH MH
Founder and Researcher Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa

POLEMIK pembatalan secara sepihak peraturan daerah (perda) oleh pemerintah pusat (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) seakan menjadi "bola liar" yang menimbulkan perdebatan panjang di antara semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak kurang 3.143 perda menjadi objek dari kewenangan menteri dalam negeri (mendagri) di dalam melakukan deregulasi terhadap berbagai perda dari berbagai daerah di Indonesia.

Tentunya apa yang dilakukan pemerintah perlu dikritisi sebagai sebuah kebijakan (beleid ) yang tidak memperhatikan dan mengedepankan aspek legalkonstitusional (UUD 1945), serta rezim pengaturan dari beberapa peraturan terkait, yakni UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) dan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (UU PEMDA). Selain itu, catatan penting dari kebijakan deregulasi perda oleh pemerintah ialah tidak ada kajian yang komprehensif yang terlebih dahulu dilakukan sebelum kebijakan deregulasi tersebut dilaksanakan. Selain itu minimnya ruang (komunikasi) atau setidak-tidaknya forum (koordinasi) bagi pemerintah daerah sesaat sebelum kebijakan pembatalan (praderegulasi) ini diberlakukan.

Tentu langkah pemerintah di dalam mengambil kebijakan deregulasi terhadap berbagai perda yang ada akan sangat kontraproduktif terhadap semangat dan cita-cita pemerintah yang diserukan di dalam mewujudkan tata kelola birokrasi yang efektif dan efisien (good governance). Setidaknya polemik deregulasi perda oleh pemerintah pada hakikatnya dapat dilihat dari dua arah yakni aspek substantif dan aspek nonsubstantif.

Aspek Substantif
Secara substantif dalam perspektif yuridis normatif, polemik pembatalan perda secara sepihak oleh mendagri dapat dilihat dengan mengacu pada tiga rezim hukum yang saling terkait. Pertama , dengan melihat ketentuan secara konstitusional, yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, yang mana secara rigid dan letterlecht, hanya memberikan ruang judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Artinya, proses dan tahapan pembatalan perda tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah (eksekutif), kecuali melalui proses ajudikasi di Mahkamah Agung (judicial review).

Tentu jika mengacu pada landasan hukum yang tertinggi, sebagaimana yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, jelaslah bahwa konstitusi tidak memberikan ruang terhadap proses pembatalan peraturan daerah secara sepihak tanpa melalui proses judicial review di MA. Filosofi mekanisme ini ialah untuk mengantisipasi agar kewenangan yudikatif (dalam konteks judicial review) tidak boleh "dicampuradukkan" dengan kewenangan eksekutif (dalam konteks pengawasan administratif).

Kedua, paralel dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 24A UUD 1945, hal tersebut juga dikuatkan di dalam UU Nomor 12/2011, khususnya yang ada di dalam Pasal 9, yang menyatakan bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Secara prinsip perlulah dipahami "original intent" munculnya Pasal 9 di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Penulis yang juga merupakan anggota pansus di dalam pembentukan UU PPP pada periode yang lalu turut terlibat secara langsung (aktif dan partisipatif) di dalam proses pembahasan dan perkembangan serta dinamika (internal) di dalam pembentukan UU PPP.

Sebenarnya adapun nilai (value) historis-filosofis munculnya ketentuan di dalam Pasal 9 ini disadari oleh pembentuk UU pada waktu itu bahwa tidaklah dapat dibenarkan dalam konteks ketatanegaraan praktik pembatalan perda secara sepihak oleh pemerintah pusat (mendagri).

Selanjutnya juga para pembentuk UU menginsyafi, praktik judicial review sebelumnya terhadap perda yang ada di MA; yang mana ruang lingkup yang diberikan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan (yang perdanya dibatalkan) ialah hanya terhadap output "pembatalan" yang dilakukan oleh mendagri, bukan terhadap perda yang dibatalkan (secara substansi). Artinya, proses ajudikasi sebagaimana dimaksud menitikberatkan kepada aspek "sah atau tidaknya" pembatalan perda tersebut yang dilakukan mendagri.

Karena itu, pembentuk undang-undang pada saat itu menginisiasi munculnya ketentuan dalam Pasal 9 dalam UU PPP agar membatasi dan tidak memberi kewenangan berlebihan kepada eksekutif (executive heavy) dalam ranah pembatalan perda. Dalam ketentuan pasal ini pun memberikan ruang yang lebih kepada semua pihak (stakeholder) yang keberatan terhadap perda yang diberlakukan dalam arti bahwa siapa pun yang berkepentingan terhadap perda yang akan dibatalkan memiliki legal standing (kedudukan hukum) untuk menguji (judicial review) peraturan daerah tersebut ke Mahkamah Agung.

Secara nyata, juga dapat dilihat bahwa ketentuan yang ada di dalam Pasal 9 UU PPP merupakan turunan secara vertikal (derivasi langsung) dari Pasal 24A UUD 1945. Dengan begitu, dalam ranah pembatalan perda haruslah mengacu pada UU PPP. Hal ini sangatlah logis karena memang pada prinsipnya peraturan daerah secara substantif merupakan bagian dari rezim peraturan perundang-undangan; yang pada hakikatnya merupakan produk legislasi daerah yang harus dihargai oleh semua pihak, khususnya pemerintah pusat (mendagri). Apabila mendasarkan kepada asas hukum dalam peraturan perundang-undangan, ketentuan ini secara horizontal memiliki status dan kedudukan hukum yang lebih kuat dan mengikat (legally binding ) untuk dijalankan daripada ketentuan yang ada pada rezim hukum selanjutnya, yakni UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Ketiga, melihat pada ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, secara jelas dan nyata juga memberikan kewenangan kepada menteri (mendagri) untuk membatalkan perda, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Tetapi, tentu klausul ini secara filosofis harus dimaknai hanya dalam konteks tata kelola pemerintahan (good governance), bukan dalam arti praktis-empirik bagi mendagri untuk secara serta-merta secara sepihak dan "semau-mau"-nya membatalkan peraturan daerah yang secara subjektif dimaknai tidak selaras dengan tiga limitasi-batasan sebagaimana dimaksud atau di luar batasan (limitasi) tersebut.

Tentu hal ini, dalam konteks kenegaraan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance ), akan menimbulkan preseden buruk. Ke depan (forward looking ) bukan tidak mungkin dapat saja preseden ini akan dijadikan justifikasi (dasar, alasan dan/atau pembenaran) bagi rezim kekuasaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Secara lebih jauh tentu perlu juga dilihat sejauh mana berbagai perda yang dibatalkan secara sepihak tersebut, relevan terhadap tiga batasan yang ditetapkan di dalam ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Pemda. Apakah alasan pemerintah di dalam melakukan pembatalan (deregulasi) untuk meningkatkan pelayanan publik serta menciptakan iklim ekonomi dan investasi yang sehat sudah relevan dengan kondisi aktual saat ini? Dan, apakah yang menjadi parameter pemerintah di dalam menilai peraturan daerah sebagaimana dimaksud sehingga dibatalkan dengan dasar dan alasan bahwa perda tersebut berpotensi menghambat proses perizinan dan investasi serta dapat mengganggu optimalisasi program pembangunan infrastruktur nasional?

Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan
Perlu juga untuk disadari bahwa realitas yang terjadi masih ada disharmonisasi pada level peraturan perundang-undangan. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat di dalam dua rezim hukum peraturan perundang-undangan secara horizontal yang ada pada UU PPP dan UU Pemda. Dalam konteks UU Pemda memang dapatlah dilihat bahwa terdapat kekeliruan dan missleading norma (hukum) yang ada di dalam UU Nomor 23/ 2014 tentang Pemda, yang tentu akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Seharusnya pembentuk UU secara linier tunduk dan patuh pada ketentuan konstitusi yang menyatakan bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA. Secara lebih lanjut juga patut dikritisi proses harmonisasi yang ada di badan legislasi DPR RI pada saat pembahasan sebelum pengesahan UU Pemda.

Sekiranya proses harmonisasi tersebut berjalan secara maksimal, kecil kemungkinan terjadi disharmonisasi antara UU PPP dan UU Pemda. Seharusnya jikalau proses harmonisasi tersebut berjalan secara optimal, ketentuan yang ada pada Pasal 251 UU Pemda tidaklah perlu muncul, yang secara nyata tidak selaras dan harmonis dengan ketentuan yang ada pada Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 9 UU PPP.

Aspek Nonsubstantif
Memang perlu disadari oleh semua pihak (stakeholder) di dalam memahami polemik ini tidak boleh terjebak pada opini (subjektif), melainkan harus memandang realitas persoalan ini secara objektif, konstruktif, dan proporsional. Namun, pada posisi yang subjektif dengan pandangan (penilaian) yang objektif dapatlah dilihat bahwa munculnya polemik ini karena gagalnya pemerintah (atau dalam hal ini mendagri) di dalam menjalankan fungsi executive review terhadap peraturan daerah yang dianggap atau berpotensi bermasalah dan bertentangan, baik secara vertikal ataupun horizontal.

Secara nonsubstantif, melihat persoalan ini memang perlu dilakukan secara cermat, teliti, dan hati-hati. Terhadap dua arus pandangan (pro dan kontra) di dalam menyikapi polemik ini, seharusnya memang dapat ditengahi dengan jalan dan cara berpikir yang runtut, sistematis, dan terarah. Secara runtut melihat polemik deregulasi ini, harus dicermati dengan mengacu serta mendasarkan pada ketentuan (dasar hukum) yang lebih tinggi terlebih dahulu. Asumsinya apabila pihak yang melihat persoalan ini dengan mengacu pada ketentuan yang ada di UU Pemda terlebih dahulu, langkah dan kebijakan deregulasi perda ini mungkin dapatlah dibenarkan secara legal.

Tetapi, apabila melihat persoalan ini dengan mengacu pada landasan hukum (tertinggi) terlebih dahulu, baru setelahnya merujuk pada aturan turunan terkait (systematic approachment) yakni UUD 1945, setelah itu UU PPP, barulah UU Pemda, dapatlah disimpulkan bahwa langkah dan kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah (mendagri) secara sepihak terhadap 3.143 perda merupakan langkah yang tidak lazim dan tidaklah dapat dibenarkan. Langkah yang terakhir inilah yang ideal dan konstitusional.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8170 seconds (0.1#10.140)