Menimbang Nasib Oposisi
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
KONSTELASI politik nasional seketika berubah setelah Golkar secara resmi keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-JK lewat keputusan Munaslub yang digelar di Bali pada pertengahan Mei lalu.
Bergabungnya Golkar ke pemerintah seakan menjadi lonceng kematian bagi hadirnya oposisi yang kuat. Matinya oposisi tentu saja merupakan ancaman serius bagi minimnya pengawasan dan keseimbangan (check and balances) yang lazimnya ada dalam setiap pemerintahan yang demokratis.
Padahal, di masa awal terbentuknya kabinet Jokowi-JK, KMP menjelma sebagai kekuatan penyeimbang yang dominan dengan kontrol politik signifikan di parlemen. Sepak terjang KMP juga sempat merepotkan barisan koalisi partai pendukung pemerintah. Sebut saja misalnya dalam kasus revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang berhasil dirombak oleh KMP, yaitu pemenang pemilu legislatif tak lagi secara otomatis bisa memimpin DPR.
Bahkan KMP membuat pemerintah kerepotan dengan manuver politik yang mereka mainkan. Hampir setiap kebijakan pemerintah diinterupsi dan dilawan. Akibatnya relasi antara eksekutif dan legislatif berlangsung dalam kecurigaan dan saling menegasi.
Hubungan tak harmonis antara eksekutif dan legislatif memperkuat sinyal betapa sistem presidensial tidak kompatibel dengan multipartai ekstrem seperti yang terjadi di Indonesia. Sistem presidensial akan berjalan dengan baik jika hanya ada dua partai atau dalam sistem dengan jumlah partai sedikit.
Scott Mainwaring dalam Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination (1993) menyebut kelemahan sistem presidensial multipartai adalah kemungkinan terjadinya kelumpuhan (deadlock) akibat konflik eksekutif dan legislatif. Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif dianggap bisa membuka ruang terjadinya pemerintahan yang terbelah, yakni presiden dan parlemen dikuasai oleh kekuatan partai politik yang berbeda.
Munculnya dua kubu KMP dan KIH di awal masa kabinet kerja Jokowi-JK dalam banyak hal telah membuat kedua lembaga negara tersebut berjalan seimbang. Namun pada saat bersamaan, kuatnya oposisi yang diperankan KMP berimplikasi pada kinerja pemerintah yang stagnan dan tak produktif.
Koalisi Rapuh
Meski kekuatan oposisi tak lagi signifikan, hanya menyisakan Gerindra dan PKS, bukan berarti gejolak politik otomatis juga mereda. Justru di sinilah letak tantangan utama yang sebenarnya akan dihadapi Jokowi-JK ke depan, yakni mengelola koalisi tambun secara ajek demi menjaga stabilitas politik internal partai pendukung.
Gemuknya postur dukungan terhadap pemerintah bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa menjadi kekuatan signifikan untuk memuluskan program prioritas. Namun di sisi lain bisa menjadi batu sandungan karena potensi terjadinya friksi antarpartai pendukung. Bukan tak mustahil, oposisi justru akan muncul dari partai pendukung karena beda sikap dengan pemerintah.
Inilah salah satu cacat bawaan sistem presidensial multipartai, yakni sulit melembagakan format koalisi yang relatif permanen di antara partai pendukung pemerintah. Problem pelembagaan koalisi bersumber pada tidak adanya basis kesepakatan politik yang mengikat partai yang saling berkoalisi. Koalisi yang terbentuk bersifat adhoc, dadakan, serta memiliki kecenderungan transaksional.
Akibatnya, bukan hanya bongkar pasang menteri yang kerap terjadi seperti di era Abdurrahman Wahid, melainkan juga berimplikasi pada munculnya “oposisi dari dalam” seperti yang telah dilakukan Golkar dan PKS terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus Bank Century dan kenaikan harga BBM.
Koalisi rapuh ini juga berdampak pada lemahnya disiplin partai dalam mempertahankan sikap dan prinsip politik mereka. Kasus bubarnya Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan pada periode pertama pemerintahan SBY memperlihatkan bahwa koalisi hanya dijadikan ajang merebut sumber kekuasaan ketimbang membangun kinerja nyata.
Oleh karena itu, koalisi harus didasarkan pada kontrak politik jelas yang berbasiskan kesamaan ideologi, platform perjuangan, dan program kerja. Bukan koalisi yang hanya mengejar pos menteri. Begitu pun dengan Jokowi-JK, bukan karena demi stabilitas pemerintahan, semua partai direkrut masuk. Sebab, dalam logika sistem presidensial, seorang presiden tak bisa diturunkan di tengah jalan oleh siapa pun, termasuk oleh parlemen tanpa alasan yang jelas.
Keharusan Oposisi
Jika menimbang dinamika di atas, sesungguhnya arah politik Indonesia ke depan masih tetap akan bergerak dinamis. Melemahnya kekuatan oposisi membuat pemerintahan Jokowi-JK memang nyaris tanpa kontrol berarti. Akan tetapi tambunnya postur koalisi pendukung pemerintah masih memungkinkan terjadinya pengelompokan baru di parlemen akibat konflik internal antarpartai pendukung.
Terlepas dari minimnya kekuatan oposisi di parlemen, kehadiran oposisi adalah keniscayaan dalam sebuah sistem politik yang demokratis. Publik menaruh harapan besar kepada Gerindra dan PKS untuk tampil konsisten sebagai oposisi pemerintah.
Dalam politik, kekuasaan harus dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki kecenderungan menyimpang dan disalahgunakan. Sebab itu kekuasaan harus dikontrol dan diawasi. Mengutip tulisan Juan Linz, The Perils of Presidensialism dalam Journal of Democracy (1990), seorang presiden yang dipilih secara langsung berpotensi mengancam demokrasi.
Sebabnya ada dua. Pertama, munculnya personalisasi kekuasaan karena presiden terpilih mendapat legitimasi dari rakyat. Oleh karena itu, presiden kerap bertindak sewenang-wenang dan anti kritik. Kedua, karena adanya rentang waktu pemerintahan yang tak dapat disela. Seperti jabatan presiden selama 5 tahun tak bisa diganggu gugat maupun diturunkan di tengah jalan.
Karena kecenderungan seperti itulah kehadiran oposisi kuat diperlukan guna menjaga keseimbangan kekuasaan. Hadirnya oposisi bukan hanya berfungsi sebagai mekanisme kontrol kekuasaan, melainkan juga pada perannya dalam melakukan kritik kepada pemerintah. Meski tak populer, pilihan menjadi oposisi sama terhormatnya dengan menjadi penguasa.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan partai oposisi untuk memainkan peran secara signifikan. Pertama, membangun isu yang lebih substantif bukan normatif. Di sinilah letak pentingnya kekuatan ide sebagai motor utama penopang oposisi.
Kedua, partai oposisi harus menjadi minoritas kreatif. Meski kalah jumlah, Gerindra dan PKS tak perlu patah arang. Dalam sistem presidensial multipartai, migrasi dukungan partai politik bergerak dinamis yang bisa terjadi setiap saat tanpa diduga.
Akhirnya, apa pun alasan pemerintah dalam membangun koalisi tambun itu, sikap kritis tak boleh dihilangkan Gerindra dan PKS. Sebab akumulasi kekuasaan yang terlalu tambun tentu akan menghilangkan kontrol terhadap pemerintah.
Dosen Politik UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
KONSTELASI politik nasional seketika berubah setelah Golkar secara resmi keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan Jokowi-JK lewat keputusan Munaslub yang digelar di Bali pada pertengahan Mei lalu.
Bergabungnya Golkar ke pemerintah seakan menjadi lonceng kematian bagi hadirnya oposisi yang kuat. Matinya oposisi tentu saja merupakan ancaman serius bagi minimnya pengawasan dan keseimbangan (check and balances) yang lazimnya ada dalam setiap pemerintahan yang demokratis.
Padahal, di masa awal terbentuknya kabinet Jokowi-JK, KMP menjelma sebagai kekuatan penyeimbang yang dominan dengan kontrol politik signifikan di parlemen. Sepak terjang KMP juga sempat merepotkan barisan koalisi partai pendukung pemerintah. Sebut saja misalnya dalam kasus revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang berhasil dirombak oleh KMP, yaitu pemenang pemilu legislatif tak lagi secara otomatis bisa memimpin DPR.
Bahkan KMP membuat pemerintah kerepotan dengan manuver politik yang mereka mainkan. Hampir setiap kebijakan pemerintah diinterupsi dan dilawan. Akibatnya relasi antara eksekutif dan legislatif berlangsung dalam kecurigaan dan saling menegasi.
Hubungan tak harmonis antara eksekutif dan legislatif memperkuat sinyal betapa sistem presidensial tidak kompatibel dengan multipartai ekstrem seperti yang terjadi di Indonesia. Sistem presidensial akan berjalan dengan baik jika hanya ada dua partai atau dalam sistem dengan jumlah partai sedikit.
Scott Mainwaring dalam Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination (1993) menyebut kelemahan sistem presidensial multipartai adalah kemungkinan terjadinya kelumpuhan (deadlock) akibat konflik eksekutif dan legislatif. Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif dianggap bisa membuka ruang terjadinya pemerintahan yang terbelah, yakni presiden dan parlemen dikuasai oleh kekuatan partai politik yang berbeda.
Munculnya dua kubu KMP dan KIH di awal masa kabinet kerja Jokowi-JK dalam banyak hal telah membuat kedua lembaga negara tersebut berjalan seimbang. Namun pada saat bersamaan, kuatnya oposisi yang diperankan KMP berimplikasi pada kinerja pemerintah yang stagnan dan tak produktif.
Koalisi Rapuh
Meski kekuatan oposisi tak lagi signifikan, hanya menyisakan Gerindra dan PKS, bukan berarti gejolak politik otomatis juga mereda. Justru di sinilah letak tantangan utama yang sebenarnya akan dihadapi Jokowi-JK ke depan, yakni mengelola koalisi tambun secara ajek demi menjaga stabilitas politik internal partai pendukung.
Gemuknya postur dukungan terhadap pemerintah bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa menjadi kekuatan signifikan untuk memuluskan program prioritas. Namun di sisi lain bisa menjadi batu sandungan karena potensi terjadinya friksi antarpartai pendukung. Bukan tak mustahil, oposisi justru akan muncul dari partai pendukung karena beda sikap dengan pemerintah.
Inilah salah satu cacat bawaan sistem presidensial multipartai, yakni sulit melembagakan format koalisi yang relatif permanen di antara partai pendukung pemerintah. Problem pelembagaan koalisi bersumber pada tidak adanya basis kesepakatan politik yang mengikat partai yang saling berkoalisi. Koalisi yang terbentuk bersifat adhoc, dadakan, serta memiliki kecenderungan transaksional.
Akibatnya, bukan hanya bongkar pasang menteri yang kerap terjadi seperti di era Abdurrahman Wahid, melainkan juga berimplikasi pada munculnya “oposisi dari dalam” seperti yang telah dilakukan Golkar dan PKS terhadap Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus Bank Century dan kenaikan harga BBM.
Koalisi rapuh ini juga berdampak pada lemahnya disiplin partai dalam mempertahankan sikap dan prinsip politik mereka. Kasus bubarnya Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan pada periode pertama pemerintahan SBY memperlihatkan bahwa koalisi hanya dijadikan ajang merebut sumber kekuasaan ketimbang membangun kinerja nyata.
Oleh karena itu, koalisi harus didasarkan pada kontrak politik jelas yang berbasiskan kesamaan ideologi, platform perjuangan, dan program kerja. Bukan koalisi yang hanya mengejar pos menteri. Begitu pun dengan Jokowi-JK, bukan karena demi stabilitas pemerintahan, semua partai direkrut masuk. Sebab, dalam logika sistem presidensial, seorang presiden tak bisa diturunkan di tengah jalan oleh siapa pun, termasuk oleh parlemen tanpa alasan yang jelas.
Keharusan Oposisi
Jika menimbang dinamika di atas, sesungguhnya arah politik Indonesia ke depan masih tetap akan bergerak dinamis. Melemahnya kekuatan oposisi membuat pemerintahan Jokowi-JK memang nyaris tanpa kontrol berarti. Akan tetapi tambunnya postur koalisi pendukung pemerintah masih memungkinkan terjadinya pengelompokan baru di parlemen akibat konflik internal antarpartai pendukung.
Terlepas dari minimnya kekuatan oposisi di parlemen, kehadiran oposisi adalah keniscayaan dalam sebuah sistem politik yang demokratis. Publik menaruh harapan besar kepada Gerindra dan PKS untuk tampil konsisten sebagai oposisi pemerintah.
Dalam politik, kekuasaan harus dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki kecenderungan menyimpang dan disalahgunakan. Sebab itu kekuasaan harus dikontrol dan diawasi. Mengutip tulisan Juan Linz, The Perils of Presidensialism dalam Journal of Democracy (1990), seorang presiden yang dipilih secara langsung berpotensi mengancam demokrasi.
Sebabnya ada dua. Pertama, munculnya personalisasi kekuasaan karena presiden terpilih mendapat legitimasi dari rakyat. Oleh karena itu, presiden kerap bertindak sewenang-wenang dan anti kritik. Kedua, karena adanya rentang waktu pemerintahan yang tak dapat disela. Seperti jabatan presiden selama 5 tahun tak bisa diganggu gugat maupun diturunkan di tengah jalan.
Karena kecenderungan seperti itulah kehadiran oposisi kuat diperlukan guna menjaga keseimbangan kekuasaan. Hadirnya oposisi bukan hanya berfungsi sebagai mekanisme kontrol kekuasaan, melainkan juga pada perannya dalam melakukan kritik kepada pemerintah. Meski tak populer, pilihan menjadi oposisi sama terhormatnya dengan menjadi penguasa.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan partai oposisi untuk memainkan peran secara signifikan. Pertama, membangun isu yang lebih substantif bukan normatif. Di sinilah letak pentingnya kekuatan ide sebagai motor utama penopang oposisi.
Kedua, partai oposisi harus menjadi minoritas kreatif. Meski kalah jumlah, Gerindra dan PKS tak perlu patah arang. Dalam sistem presidensial multipartai, migrasi dukungan partai politik bergerak dinamis yang bisa terjadi setiap saat tanpa diduga.
Akhirnya, apa pun alasan pemerintah dalam membangun koalisi tambun itu, sikap kritis tak boleh dihilangkan Gerindra dan PKS. Sebab akumulasi kekuasaan yang terlalu tambun tentu akan menghilangkan kontrol terhadap pemerintah.
(kri)