Negara Kondisi Darurat Narkoba (1)
A
A
A
BANYAK Lembaga Pemerintah yang Tidak Concern dengan Pemberantasan Narkoba Indonesia saat ini menjadi surga bagi para bandar narkoba sehingga Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Budi Waseso menyebut negara ini sudah masuk dalam kondisi darurat narkoba.
Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Selain soal faktor geografis yang lebih menguntungkan pelaku narkoba, demografi masyarakat Indonesia yang kurang paham dan lembaga lain di Republik ini yang kurang concern dalam pemberantasan narkoba juga menjadi penyebab. Selengkapnya, berikut ini wawancara khusus dengan mantan Kabareskrim Polri ini.
Apa yang Anda dirasakan setelah menjabat kepala BNN?
Ini amanah. Bagi saya dari dulu sampai hari ini bekerja di mana saja sama. Saya orang yang tidak pernah memilih, tidak pernah juga meminta. Makanya saya di mana-mana tugasnya, enjoy.
Saya jadi kepala BNN bekerja saja yang baik. Yang menilai masyarakat dan presiden. Kalau presiden katakan tidak benar ya ganti saja. Saya ikhlas, daripada merusak negara ini, lebih baik saya diganti.
Bagaimana dibanding posisi sebelumnya sebagai Kabareskrim Polri?
Sama saja, tapi yang sekarang nilainya sebenarnya lebih tinggi. Karena yang lalu kita menyelamatkan materi (kejahatan kriminal), tapi yang sekarang ini yang diselamatkan adalah jiwa raga manusia (tidak bisa dinilai materi). Dan itu menyangkut generasi, yang pada akhirnya menyelamatkan bangsa dan negara. Jadi sangat luar biasa.
Indonesia menjadi surga bagi pengedar narkoba. Bagaimana Anda melihatnya?
Menjadi surga (bagi pengedar) itu karena pertama kalau lihat kondisi geografis, itu tidak menguntungkan kita. Tapi mereka (pengedar) menguntungkan karena masuknya barang bisa dari segala penjuru.
Kedua secara demografi, penduduk kita yang beraneka ragam besar dan cara pemahamannya yang masih rendah sehingga mudah dipengaruhi, mudah dijadikan jaringan. Kenapa mengapa kita jadi pangsa pasar besar ASEAN.
Terus sekarang ke pemerintahan kita juga tidak firm terhadap narkoba, aparat penegak hukum belum, lembaga pemerintahan juga tidak concern terhadap masalah narkoba. Seolah Kementan (Kementerian Pertanian) tidak ada urusan dengan narkotika, padahal ada hubungannya. Seperti penanganan ganja di Aceh, itu kan pola masyarakat Aceh oleh Mentan bisa diubah dengan tidak bertani ganja.
Apakah mungkin mengubah pertanian ganja di Aceh yang sudah mengakar?
Itu yang harus kita ubah. Thailand dulu penghasil candu terbesar di dunia, sekarang zero. Mereka mengalihkan, membuat tanaman kopi yang nilainya mahal, kemudian ada tanaman kacang nilainya mahal dan diekspor ke dunia. Makanya saya katakan kepada Mentan, coba contoh (Thailand) karena masalah narkoba jangan semata diserahkan ke BNN.
Bagaimana peran lembaga lain dalam pemberantasan narkoba?
Kalau ditanya misalnya menteri perindustrian, menteri perdagangan apa tidak ada peran? Sementara ini tidak ada. Mendag ini pengawasan terhadap ekspor impor sejauh mana dia. Harus dia telaah, kerja sama dengan negara pengimpor, diawasi.
Sekarang Menperin, dia perhatian atau tidak, ini industri makanan yang menyangkut bahan kimia harus diawasi, ada standarnya. Kemudian dia bicara bagaimana industri lokal dari tanaman lokal yang dimanfaatkan punya nilai tinggi kemudian diekspor. Kan harus begitu cara berpikirnya.
Sekarang berdiri sendiri-sendiri, ngomong sendiri-sendiri. Saya sudah bilang, sampaikan ke beliau coba permasalahan narkotika ini tanggung jawab kita semua. Saya pernah berbicara dengan Bapak Presiden (Joko Widodo) di mana beliau sepakat negara dalam kondisi darurat narkoba.
Bagaimana Anda melihat program rehabilitasi?
Rehabilitasi itu penting, sangat penting karena itu diatur UU, orang sakit wajib disembuhkan. Dan negara punya kewajiban membuat sehat warga negaranya. Persoalannya sekarang rehabilitasi harus dijalankan dengan benar, ada standarnya. Selama ini belum ada standarnya, hasilnya tidak ada yang tahu. Apakah itu harus kita teruskan? Tidak. Karena itu menyangkut uang negara.
Berapa anggaran untuk rehabilitasi?
Besarlah, artinya anggaran apapun tidak boleh sia-sia, hasilnya harus ada. Makanya di kala Pak Presiden waktu kemarin menyampaikan kepada saya, tahun ini
kamu harus rehabilitasi sekian banyak! Saya bilang tidak, saya belum siap melaksanakan rehabilitasi. Saya harus menyiapkan dulu sarana dan prasarana rehabilitasi yang benar sehingga hasilnya jelas.
Saya nyatakan hari ini seluruh rehabilitasi yang ada di Indonesia, termasuk yang di BNN belum standar. Jadi saya belum bisa mengatakan bisa merehabilitasi dengan benar. Kalau hanya rehabilitasi saja bisa, tapi bukan itu yang kita inginkan.
Apa respons presiden?
Ya sudah kamu benahi dulu. Kalau saya begitu, bekerja harus lihat dulu kemampuan saya, tidak asal-asalan. Dan saya bekerja bukan untuk mencari pengakuan, popularitas, tapi bertanggung jawab atas amanah jabatan itu. Kalau saya ngawur berarti tidak tanggung jawab dengan pekerjaan saya.
Dari pangkat terendah pun saya sudah begini. Saya lihat kekuatan saya sendiri apa yang menjadi kewajiban saya, karena itu ukuran. Harus tercapai kewajiban saya, tidak perlu urusan orang lain.
Bersambung...
Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Selain soal faktor geografis yang lebih menguntungkan pelaku narkoba, demografi masyarakat Indonesia yang kurang paham dan lembaga lain di Republik ini yang kurang concern dalam pemberantasan narkoba juga menjadi penyebab. Selengkapnya, berikut ini wawancara khusus dengan mantan Kabareskrim Polri ini.
Apa yang Anda dirasakan setelah menjabat kepala BNN?
Ini amanah. Bagi saya dari dulu sampai hari ini bekerja di mana saja sama. Saya orang yang tidak pernah memilih, tidak pernah juga meminta. Makanya saya di mana-mana tugasnya, enjoy.
Saya jadi kepala BNN bekerja saja yang baik. Yang menilai masyarakat dan presiden. Kalau presiden katakan tidak benar ya ganti saja. Saya ikhlas, daripada merusak negara ini, lebih baik saya diganti.
Bagaimana dibanding posisi sebelumnya sebagai Kabareskrim Polri?
Sama saja, tapi yang sekarang nilainya sebenarnya lebih tinggi. Karena yang lalu kita menyelamatkan materi (kejahatan kriminal), tapi yang sekarang ini yang diselamatkan adalah jiwa raga manusia (tidak bisa dinilai materi). Dan itu menyangkut generasi, yang pada akhirnya menyelamatkan bangsa dan negara. Jadi sangat luar biasa.
Indonesia menjadi surga bagi pengedar narkoba. Bagaimana Anda melihatnya?
Menjadi surga (bagi pengedar) itu karena pertama kalau lihat kondisi geografis, itu tidak menguntungkan kita. Tapi mereka (pengedar) menguntungkan karena masuknya barang bisa dari segala penjuru.
Kedua secara demografi, penduduk kita yang beraneka ragam besar dan cara pemahamannya yang masih rendah sehingga mudah dipengaruhi, mudah dijadikan jaringan. Kenapa mengapa kita jadi pangsa pasar besar ASEAN.
Terus sekarang ke pemerintahan kita juga tidak firm terhadap narkoba, aparat penegak hukum belum, lembaga pemerintahan juga tidak concern terhadap masalah narkoba. Seolah Kementan (Kementerian Pertanian) tidak ada urusan dengan narkotika, padahal ada hubungannya. Seperti penanganan ganja di Aceh, itu kan pola masyarakat Aceh oleh Mentan bisa diubah dengan tidak bertani ganja.
Apakah mungkin mengubah pertanian ganja di Aceh yang sudah mengakar?
Itu yang harus kita ubah. Thailand dulu penghasil candu terbesar di dunia, sekarang zero. Mereka mengalihkan, membuat tanaman kopi yang nilainya mahal, kemudian ada tanaman kacang nilainya mahal dan diekspor ke dunia. Makanya saya katakan kepada Mentan, coba contoh (Thailand) karena masalah narkoba jangan semata diserahkan ke BNN.
Bagaimana peran lembaga lain dalam pemberantasan narkoba?
Kalau ditanya misalnya menteri perindustrian, menteri perdagangan apa tidak ada peran? Sementara ini tidak ada. Mendag ini pengawasan terhadap ekspor impor sejauh mana dia. Harus dia telaah, kerja sama dengan negara pengimpor, diawasi.
Sekarang Menperin, dia perhatian atau tidak, ini industri makanan yang menyangkut bahan kimia harus diawasi, ada standarnya. Kemudian dia bicara bagaimana industri lokal dari tanaman lokal yang dimanfaatkan punya nilai tinggi kemudian diekspor. Kan harus begitu cara berpikirnya.
Sekarang berdiri sendiri-sendiri, ngomong sendiri-sendiri. Saya sudah bilang, sampaikan ke beliau coba permasalahan narkotika ini tanggung jawab kita semua. Saya pernah berbicara dengan Bapak Presiden (Joko Widodo) di mana beliau sepakat negara dalam kondisi darurat narkoba.
Bagaimana Anda melihat program rehabilitasi?
Rehabilitasi itu penting, sangat penting karena itu diatur UU, orang sakit wajib disembuhkan. Dan negara punya kewajiban membuat sehat warga negaranya. Persoalannya sekarang rehabilitasi harus dijalankan dengan benar, ada standarnya. Selama ini belum ada standarnya, hasilnya tidak ada yang tahu. Apakah itu harus kita teruskan? Tidak. Karena itu menyangkut uang negara.
Berapa anggaran untuk rehabilitasi?
Besarlah, artinya anggaran apapun tidak boleh sia-sia, hasilnya harus ada. Makanya di kala Pak Presiden waktu kemarin menyampaikan kepada saya, tahun ini
kamu harus rehabilitasi sekian banyak! Saya bilang tidak, saya belum siap melaksanakan rehabilitasi. Saya harus menyiapkan dulu sarana dan prasarana rehabilitasi yang benar sehingga hasilnya jelas.
Saya nyatakan hari ini seluruh rehabilitasi yang ada di Indonesia, termasuk yang di BNN belum standar. Jadi saya belum bisa mengatakan bisa merehabilitasi dengan benar. Kalau hanya rehabilitasi saja bisa, tapi bukan itu yang kita inginkan.
Apa respons presiden?
Ya sudah kamu benahi dulu. Kalau saya begitu, bekerja harus lihat dulu kemampuan saya, tidak asal-asalan. Dan saya bekerja bukan untuk mencari pengakuan, popularitas, tapi bertanggung jawab atas amanah jabatan itu. Kalau saya ngawur berarti tidak tanggung jawab dengan pekerjaan saya.
Dari pangkat terendah pun saya sudah begini. Saya lihat kekuatan saya sendiri apa yang menjadi kewajiban saya, karena itu ukuran. Harus tercapai kewajiban saya, tidak perlu urusan orang lain.
Bersambung...
(kur)