LGBT di Negara Pancasila

Rabu, 24 Februari 2016 - 11:13 WIB
LGBT di Negara Pancasila
LGBT di Negara Pancasila
A A A
DR MOHAMMAD NASIH
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ


PARA pendiri negara mengonstruksi Indonesia sebagai negara bangsa yang religius (religious nation­state). Ini merupakan ”inovasi” konsepsi yang mereka bangun karena pengalaman bangsa yang telah berjalan di negara­-negara Eropa tidak sesuai dengan realitas masyarakat.

Awalnya negara­-negara di Eropa menganut paham religio­integralisme katolik atau teokrasi. Paham ini mengharuskan ada penyatuan antara gereja (Katolik) dan negara atau politik. Namun, paham ini telah menyebabkan terjadi berbagai penyelewengan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama.

Yang mengalami dampak buruk penyelewengan ini adalah ilmuwan -yang telah menemukan temuan baru- karena dianggap bertentangan dengan pemahaman atau doktrin gereja saat itu. Galileo Galilei salah satu ilmuwan yang harus menanggung hukuman karena temuannya dianggap tidak sesuai dengan ajaran gereja.

Karena itulah, kemudian muncul gerakan yang menuntut agar dilakukan pemisahan antara agama dan negara. Tujuannya agar negara tidak dijadikan alat untuk menghukum para ilmuwan yang menemukan ”kebenaran baru”. Inilah asal mula konsepsi sekularisme atau paham yang memisahkan antara agama dan negara. Terjadi perubahan ekstrem pola hubungan antara agama dan negara yang sebelumnya disatukan (integralistik), kemudian menjadi dipisahkan (sekuleristik).

Pola pemisahan antara agama dan negara bahkan terjadi dalam bentuk yang sangat ekstrem, berupa larangan yang menunjukkan simbol­-simbol agama di ruang publik. Negara yang terkenal dengan kebijakan ini adalah Prancis dan Turki. Sejak pergantian kekuasaan kepada Musthafa Kemal Attaturk, Turki menerapkan aturan yang sangat ketat mengenai larangan untuk menunjukkan simbol­-simbol agama di ruang publik.

Keadaan ini baru mengalami perubahan setelah kemenangan kedua partai Adalalet ve Kalkinma Partisi (AKP) -didirikan oleh Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Gul pada 2001- yang membuatnya memiliki kesempatan untuk memiliki presiden. Abdullah Gul mulai melakukan perubahan dengan mengurangi karakter sekulerisme ekstrem Turki.

***

Dari contoh beberapa negara di Eropa dan Turki tersebut, para pendiri negara Indonesia mengambil pelajaran bahwa konstruksi negara bangsa yang berkarakter sekuler tidak cocok bagi Indonesia sebab masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang percaya kepada agama. Karena itu, konsepsi ”negara bangsa” dengan karakter aslinya yang sekuler dimodifikasi menjadi ”negara bangsa yang religius”.

Banyaknya agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia menjadikan salah satu agama sebagai dasar negara akan menyebabkan pemeluk agama -selain yang dijadikan sebagai dasar negara- merasa dijadikan sekadar warga negara kelas ”kesekian”. Karena itu, religiusitasnya diambil dari nilai­-nilai substansial agama­agama yang diakui oleh negara. Inilah yang menyebabkan para pendiri negara kemudian menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.

Pancasila dijadikan sebagai titik temu keberagaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang ada di Indonesia. Prinsip dasar dalam kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila di Indonesia adalah ”ketuhanan”. Itulah sebab prinsip ketuhanan ini diletakkan dalam sila pertama. Dalam kerangka konsepsi inilah, Indonesia berbeda dengan banyak negara bangsa yang ada di Eropa.

Di Eropa, karena karakter negara bangsa yang mereka konsepsikan adalah sekuler -dan memang muncul sebagai perlawanan terhadap konsepsi teokratis, agama dianggap sebagai sekadar urusan pribadi. Agama tidak boleh dibawa ke dalam ranah politik. Sedangkan di Indonesia antara keduanya tidak disatukan, tidak pula dipisahkan sama sekali, melainkan agama dijadikan sebagai landasan moral dan etika dalam penyelenggaraan negara.

Nah , tidak ada satu pun agama yang diakui di Indonesia mengizinkan praktik kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Islam, agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia, bahkan menegaskan bahwa praktik serupa pernah terjadi pada zaman Nabi Luth dan menyebabkan kemurkaan Allah SWT. Kemudian Allah SWT menimpakan atas mereka siksaan dahsyat berupa hujan batu dari tanah yang dibakar dan gempa bumi yang membalik bumi mereka.

Kaum Nabi Luth, kecuali anggota keluarganya yang beriman, binasa karena tindakan mereka yang menyimpang dari fitrah kemanusiaan (al­Araf: 80­84, Hud: 77­83, al­Syuara: 160­175), dan al­Dzariyat: 31­34). Fitrah yang diberikan Allah SWT itu adalah pria berpasangan dengan wanita (al­Nisa: 1, al­Hujurat: 13).

Jika menggunakan ilmu pengetahuan kontemporer, perilaku LGBT masih menjadi objek perdebatan. Para ahli masih berdebat seolah tanpa ujung tentang apakah perilaku tersebut bawaan ataukah hanya karena pengaruh lingkungan. Pendukung LGBT menyampaikan argumentasi yang seolah­-olah masuk akal bahwa perilaku LGBT merupakan bawaan.

Sebaliknya, yang tidak mendukung LGBT juga mengungkapkan argumentasi dari hasil penelitian mereka. Namun, jika menggunakan agama sebagai dasar perspektif, perilaku LGBT adalah jelas perilaku menyimpang. Perilaku tersebut adalah penyakit yang harus mendapatkan penanganan untuk bisa disembuhkan dan pelakunya kembali kepada kehidupan yang sesuai fitrah sebagai lelaki atau perempuan.

***

Yang menjadi masalah, Indonesia sebagai negara bangsa berdasarkan Pancasila belum secara utuh menjalankan prinsip­-prinsip Pancasila. Misalnya, banyak pasal dalam Kitab Undang­-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dibuat pada masa penjajahan Belanda, dan tidak sesuai dengan jati diri negara Pancasila, masih digunakan sampai saat ini.

Di dalam KUHP tindakan perzinaan termasuk ke dalam delik aduan. Padahal, jika konsisten menggunakan paradigma agama Islam, perzinaan bukanlah delik aduan. Baik diadukan maupun tidak, perzinaan adalah tindakan kriminal yang pelakunya harus mendapatkan hukuman.

Kecenderungan untuk semakin menjauh dari Pancasila semakin menguat pascareformasi, terutama setelah empat kali amendemen konstitusi. Dalam suasana yang makin liberal inilah, nilai­-nilai liberal membanjiri Indonesia di antaranya yang kemudian makin menguat adalah gerakan LGBT.

Agar Indonesia tidak semakin jauh dari cita­-cita para pendiri negara, harus ada kesadaran dan upaya serius untuk kembali kepada UUD 1945 yang asli. Batang tubuh konstitusi yang asli itulah yang sesuai jiwa Pancasila. Untuk menegaskan Indonesia sebagai negara Pancasila, perlu penyempurnaan berupa undang­undang yang sesuai dengan jiwa Pancasila.

Di antara yang perlu dilakukan adalah menyempurnakan Undang­-undang (UU) tentang Perkawinan. Undang­-undang ini belum lengkap dengan sanksi atas pelanggarnya. Dalam konteks tersebut, jika terjadi hubungan antarsesama jenis, harus ada sanksi yang tegas. KUHP juga harus direvisi dengan di antaranya mengeluarkan perzinaan dari kategori delik aduan. Wallahu a’lam bi al­shawab.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7016 seconds (0.1#10.140)