Empati untuk LGBT
A
A
A
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik
Pegiat Gerakan Indonesia Beradab
GEREGETAN sekali rasanya melihat tingkah polah penumpang-penumpang kereta itu. Kalau mau frontal, saya bisa saja mempersoalkan pasangan-pasangan gay dan lesbian itu lewat jalur pidana. Dalam kasus ini, yang bisa digunakan untuk menjerat pasangan itu adalah Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kesusilaan. Adegan-adegan tak senonoh seperti yang mereka peragakan itu bukan pemandangan sekali dua kali yang saya saksikan.
Semakin panas hati begitu mendapati adanya sejumlah platform media sosial yang menyajikan perbincangan serta tayangan menjijikkan tentang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) kepada warga dunia maya (netizen) yang masih belia. Itu bukan lagi sebatas penyimpangan, tapi sudah menjadi perbuatan yang membahayakan.
Kenyataannya dalam KRL itu tidak ada satu pun penumpang -termasuk saya- yang bertindak. Barangkali itulah pertanda Kitty Genovese Syndrome alias Bystander Effect. Dengan kata lain, ketidakpatutan berlangsung di tengah masyarakat bukan karena pelakunya orang kuat, melainkan karena orang-orang baik memilih diam.
Namun jangan pukul rata diam sebagai watak pengecut. Mengapa saya akhirnya memilih diam dalam kasus ini adalah karena di dasar hati ada perasaan iba. Iba membayangkan kaum LGBT itu terbuang dan tak menemukan pertolongan. Mereka pada dasarnya berhasrat kembali ke ketertarikan insani yang Allah SWT kodratkan. Namun setiap kali tangan mereka menggapai-gapai, justru jelaga yang seolah ditimpuk bertubi-tubi ke muka mereka.
Penjelasan tentang sebab terjadinya orientasi seksual itu sangat banyak. Sejak bergabung ke dalam Gerakan Indonesia Beradab, saya menemukan perspektif yang sangat luas tentang LGBT. Yang jelas, dari timbunan hasil riset dan dalil-dalil moral yang saling dipertukarkan, saya menemukan benang merah bahwa mengambinghitamkan faktor genetik sebagai penyebab LGBT hanya ditopang dengan argumentasi yang rapuh.
Terlebih lagi rumusan psikologi tentang hal itu sudah sangat kokoh, tak terpatahkan. Perilaku manusia, termasuk abnormalitas orientasi seksual, adalah hasil interaksi antara faktor disposisi (unsur-unsur bawaan) dan faktor situasi (lingkungan, belajar sosial). Dari kedua hal itu faktor manakah yang lebih menentukan?
Walau bukan ilmuwan psikologi, pernyataan retoris Bung Karno memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Presiden RI pertama itu berkata: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” pernyataan itu bermakna; faktor lingkungan, yakni bagaimana manusia ditempa sejak belia adalah jauh lebih dominan daripada faktor bawaan.
Hukum yang sama berlaku pula sebagai penjelasan atas LGBT. Dengan demikian menjadi LGBT bukan suratan tangan yang tak terelakkan. Mengidap orientasi seksual menyimpang bukan abnormalitas yang terkodratkan. Lingkungan yang menyodorkan proses belajar yang keliru merupakan penyebab utama LGBT.
Pada intisari itu pula saya dapati pernyataan resmi yang sangat membesarkan hati dari Ikatan Psikologi Klinis (IPK). Tentang LGBT, IPK menyatakan bahwa LGBT bermula dari rangkaian perkembangan manusia yang berlangsung secara kurang memadai.
Begitu pula dengan seksi Religi, Spiritualitas, dan Psikiatri (RSP) Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI). Mereka utarakan hal ihwal mengenai kesehatan dan penyimpangan manusia, tidak terlepas dari bagaimana pranata sosial memberi definisi atas hal tersebut. Merujuk UU No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, LGBT termasuk dalam kategori Orang dengan Masalah Kesehatan Jiwa.
Pada tataran keilmuan, sikap resmi IPK dan RSPPDSKJI sungguh mengagumkan. Bertentangan dengan acuan psikiatri Barat, semisal Diagnostic and Statistical Manual on Mental Disorder, lewat penyataan resminya kedua organisasi tersebut berhasil mengharmonisasi paradigma sains dengan nilai-nilai ulayat.
Demikian pula pada tataran empiris, sikap kedua organisasi otoritatif tersebut memberikan basis kuat bagi publik untuk memastikan sekaligus mengunci persepsi bersama bahwa LGBT adalah sebuah masalah. Tentu persepsi sedemikian rupa tidak sepatutnya ditanggapi secara negatif. Justru penguncian definisi tersebut menjadi titik ideal menuju solusi.
Utamanya bagi para LGBT sendiri, mereka kini sudah memperoleh sebuah pemahaman yang benar-benar jernih tentang persoalan diri mereka. Tinggal seberapa kokoh pendirian kaum LGBT untuk menolak segala bentuk bujukan dan hasutan, yang ingin mengambangkan kembali posisi mereka lewat narasi hak asasi manusia serta idiom-idiom kebebasan lainnya. Pada sisi lain, butir-butir pernyataan IPK dan RSPPDSKJI mendorong publik untuk membangun sikap lebih konstruktif; yaitu dengan menciptakan lingkungan-lingkungan baru yang memungkinkan para LGBT melakukan belajar ulang atas ketertarikan seksual menyimpang mereka.
Pendekatan Berjenjang
Desember 2015 tercatat sekitar 80 negara dan teritori nonnegara yang memiliki hukum antihomoseksual. Kebanyakan hukum tersebut bersifat represif dengan mengenakan sanksi pidana bagi rupa-rupa perilaku LGBT. Yang kontras dengan anggapan umum, The Human Rights Campaign mencatat bahwa penolakan terhadap LGBT ternyata juga tetap eksis di Amerika Serikat.
Di Indonesia merujuk pada presentasi Heru Susetyo pada focus group discussion yang diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (9/2), menyatakan belum ada ketentuan hukum yang benar-benar komprehensif tentang LGBT.
Atas dasar itu dalam isu yang sedang ramai sekarang adalah menuntut pada kesungguhan masyarakat luas untuk -sekali lagi- menciptakan lingkungan-lingkungan baru yang lebih konstruktif bagi pulihnya para LGBT ke orientasi heteroseksual. Usulan berikut ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi masyarakat dalam rangka menyusun serangkaian aturan berjenjang terhadap LGBT.
Pertama, jika orang LGBT diam sehingga abnormalitas mereka tidak diketahui publik maka tentu tidak ada dasar untuk mempermasalahkan mereka. Kedua, apabila LGBT angkat suara dan ingin dibantu menjadi heteroseksual, negara dan masyarakat tentu memberikan bantuan sebagaimana program rehabilitasi.
Ketiga, manakala kaum LGBT bersuara dan mengampanyekan LGBT sebagai sesuatu yang normal, maka mereka harus dilawan dengan cara-cara sesuai ketentuan hukum pidana. Dengan demikian dalam melakukan revisi UU KUHP sudah sepatutnya memuat ketentuan sanksi terhadap pelaku perbuatan amoral tersebut. Allahu a’lam.
Psikolog Forensik
Pegiat Gerakan Indonesia Beradab
GEREGETAN sekali rasanya melihat tingkah polah penumpang-penumpang kereta itu. Kalau mau frontal, saya bisa saja mempersoalkan pasangan-pasangan gay dan lesbian itu lewat jalur pidana. Dalam kasus ini, yang bisa digunakan untuk menjerat pasangan itu adalah Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kesusilaan. Adegan-adegan tak senonoh seperti yang mereka peragakan itu bukan pemandangan sekali dua kali yang saya saksikan.
Semakin panas hati begitu mendapati adanya sejumlah platform media sosial yang menyajikan perbincangan serta tayangan menjijikkan tentang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) kepada warga dunia maya (netizen) yang masih belia. Itu bukan lagi sebatas penyimpangan, tapi sudah menjadi perbuatan yang membahayakan.
Kenyataannya dalam KRL itu tidak ada satu pun penumpang -termasuk saya- yang bertindak. Barangkali itulah pertanda Kitty Genovese Syndrome alias Bystander Effect. Dengan kata lain, ketidakpatutan berlangsung di tengah masyarakat bukan karena pelakunya orang kuat, melainkan karena orang-orang baik memilih diam.
Namun jangan pukul rata diam sebagai watak pengecut. Mengapa saya akhirnya memilih diam dalam kasus ini adalah karena di dasar hati ada perasaan iba. Iba membayangkan kaum LGBT itu terbuang dan tak menemukan pertolongan. Mereka pada dasarnya berhasrat kembali ke ketertarikan insani yang Allah SWT kodratkan. Namun setiap kali tangan mereka menggapai-gapai, justru jelaga yang seolah ditimpuk bertubi-tubi ke muka mereka.
Penjelasan tentang sebab terjadinya orientasi seksual itu sangat banyak. Sejak bergabung ke dalam Gerakan Indonesia Beradab, saya menemukan perspektif yang sangat luas tentang LGBT. Yang jelas, dari timbunan hasil riset dan dalil-dalil moral yang saling dipertukarkan, saya menemukan benang merah bahwa mengambinghitamkan faktor genetik sebagai penyebab LGBT hanya ditopang dengan argumentasi yang rapuh.
Terlebih lagi rumusan psikologi tentang hal itu sudah sangat kokoh, tak terpatahkan. Perilaku manusia, termasuk abnormalitas orientasi seksual, adalah hasil interaksi antara faktor disposisi (unsur-unsur bawaan) dan faktor situasi (lingkungan, belajar sosial). Dari kedua hal itu faktor manakah yang lebih menentukan?
Walau bukan ilmuwan psikologi, pernyataan retoris Bung Karno memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Presiden RI pertama itu berkata: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” pernyataan itu bermakna; faktor lingkungan, yakni bagaimana manusia ditempa sejak belia adalah jauh lebih dominan daripada faktor bawaan.
Hukum yang sama berlaku pula sebagai penjelasan atas LGBT. Dengan demikian menjadi LGBT bukan suratan tangan yang tak terelakkan. Mengidap orientasi seksual menyimpang bukan abnormalitas yang terkodratkan. Lingkungan yang menyodorkan proses belajar yang keliru merupakan penyebab utama LGBT.
Pada intisari itu pula saya dapati pernyataan resmi yang sangat membesarkan hati dari Ikatan Psikologi Klinis (IPK). Tentang LGBT, IPK menyatakan bahwa LGBT bermula dari rangkaian perkembangan manusia yang berlangsung secara kurang memadai.
Begitu pula dengan seksi Religi, Spiritualitas, dan Psikiatri (RSP) Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI). Mereka utarakan hal ihwal mengenai kesehatan dan penyimpangan manusia, tidak terlepas dari bagaimana pranata sosial memberi definisi atas hal tersebut. Merujuk UU No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, LGBT termasuk dalam kategori Orang dengan Masalah Kesehatan Jiwa.
Pada tataran keilmuan, sikap resmi IPK dan RSPPDSKJI sungguh mengagumkan. Bertentangan dengan acuan psikiatri Barat, semisal Diagnostic and Statistical Manual on Mental Disorder, lewat penyataan resminya kedua organisasi tersebut berhasil mengharmonisasi paradigma sains dengan nilai-nilai ulayat.
Demikian pula pada tataran empiris, sikap kedua organisasi otoritatif tersebut memberikan basis kuat bagi publik untuk memastikan sekaligus mengunci persepsi bersama bahwa LGBT adalah sebuah masalah. Tentu persepsi sedemikian rupa tidak sepatutnya ditanggapi secara negatif. Justru penguncian definisi tersebut menjadi titik ideal menuju solusi.
Utamanya bagi para LGBT sendiri, mereka kini sudah memperoleh sebuah pemahaman yang benar-benar jernih tentang persoalan diri mereka. Tinggal seberapa kokoh pendirian kaum LGBT untuk menolak segala bentuk bujukan dan hasutan, yang ingin mengambangkan kembali posisi mereka lewat narasi hak asasi manusia serta idiom-idiom kebebasan lainnya. Pada sisi lain, butir-butir pernyataan IPK dan RSPPDSKJI mendorong publik untuk membangun sikap lebih konstruktif; yaitu dengan menciptakan lingkungan-lingkungan baru yang memungkinkan para LGBT melakukan belajar ulang atas ketertarikan seksual menyimpang mereka.
Pendekatan Berjenjang
Desember 2015 tercatat sekitar 80 negara dan teritori nonnegara yang memiliki hukum antihomoseksual. Kebanyakan hukum tersebut bersifat represif dengan mengenakan sanksi pidana bagi rupa-rupa perilaku LGBT. Yang kontras dengan anggapan umum, The Human Rights Campaign mencatat bahwa penolakan terhadap LGBT ternyata juga tetap eksis di Amerika Serikat.
Di Indonesia merujuk pada presentasi Heru Susetyo pada focus group discussion yang diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (9/2), menyatakan belum ada ketentuan hukum yang benar-benar komprehensif tentang LGBT.
Atas dasar itu dalam isu yang sedang ramai sekarang adalah menuntut pada kesungguhan masyarakat luas untuk -sekali lagi- menciptakan lingkungan-lingkungan baru yang lebih konstruktif bagi pulihnya para LGBT ke orientasi heteroseksual. Usulan berikut ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi masyarakat dalam rangka menyusun serangkaian aturan berjenjang terhadap LGBT.
Pertama, jika orang LGBT diam sehingga abnormalitas mereka tidak diketahui publik maka tentu tidak ada dasar untuk mempermasalahkan mereka. Kedua, apabila LGBT angkat suara dan ingin dibantu menjadi heteroseksual, negara dan masyarakat tentu memberikan bantuan sebagaimana program rehabilitasi.
Ketiga, manakala kaum LGBT bersuara dan mengampanyekan LGBT sebagai sesuatu yang normal, maka mereka harus dilawan dengan cara-cara sesuai ketentuan hukum pidana. Dengan demikian dalam melakukan revisi UU KUHP sudah sepatutnya memuat ketentuan sanksi terhadap pelaku perbuatan amoral tersebut. Allahu a’lam.
(hyk)