Penjaga Taman Kearifan
A
A
A
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
MALAM kesenian, di Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta, Kiai Mus, penyair Mustofa Bisri, berpuisi. Rohaniwan ini berbisik lembut di atas panggung. Dan, daun-daun, pohon-pohon di luar gedung yang remang-remang pun berbisik. Langit berbisik, mendung berbisik, angin berbisik, badai, laut, gelombang, dan gunung pun berbisik. Tapi, penonton senyap.
”Bila kutitipkan dukaku pada langit/pastilah langit memanggil mendung. Bila kutitipkan resahku pada angin/pastilah angin menyeru badai. Bila kutitipkan geramku pada laut/pastilah laut menggiring gelombang. Bila kutitipkan dendamku pada gunung/pastilah gunung meluapkan api... ” Inilah puisi ”Bila Kutitipkan ”, yang juga dibaca malam itu.
Puisi bukan sekadar susunan kata-kata, atau kalimat indah. Puisi bukan sekadar ungkapan seni sesuai kaidah. Tapi, puisi -maksudnya puisi Kiai Mustofa Bisri van Rembang- menyajikan dunia batin yang menggambarkan kualitas rohaniah penyairnya sendiri. Indah itu penting. Tak perlu diragukan lagi.
Meskipun begitu, isi -temuan-temuan otentik yang dipungutnya di sepanjang perjalanan hidup yang sudah tujuh puluhan tahun, dalam keresahan seorang pencari yang bertanya- jauh lebih penting. Mereka yang mengutamakan esensi di dalam hidup ini, isi dan bukan kulit, yang dicari.
Isi puisi Kiai van Rembang ini ibarat santapan yang hanya terdapat di surga jannatun naim. Soalnya, apa yang kelihatannya biasa-biasa saja, dan seperti sekadar urusan rutin sehari-hari, sebenarnya dipungut dari kedalaman lubuk hati, yang kaya-kaya dan bukan biasa-biasa saja.
Ungkapannya tentang yang fana, terasa sekaligus menjadi potret yang abadi, yang berdebu sekaligus gambaran yang kudus, dan yang manusiawi sebenarnya juga sekaligus yang ilahi. Keindahan kata yang begitu penting lalu menjadi tak relevan lagi.
***
Presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, kabarnya pernah menilai kualitas lirik puisi sang Kiai, dengan mengatakan bahwa Kiai memang bukan penjaga taman kata-kata. Tapi, Tardji lupa, kelihatannya Kiai Mus -dan bukan yang lain- yang ”ditunjuk” untuk mewakili kita menjadi penjaga taman kearifan. Tidak sama.
Kaum ”arifin” melihat dunia dengan mata yang berbeda, merasakan hidup dengan kedalaman kalbu yang tidak sama dengan yang lain. Kearifan itu wakil dari dunia ”dalam” dan kata-kata -seindah bunyi seruling Daud sekalipun-wakil dunia luar, wakil kulit, yang bisa keriput diterjang usia dan terik matahari. Kearifan, makin diterjang usia, makin dalamlah cara dia menampilkan dirinya.
Peran politik-kebudayaan sang Kiai di dunianya sendiri, NU, begitu besar. Dan, cermin kearifan sangatlah jelas di sana. Ketika orang cenderung saling mencakar demi sebuah kursi goyang, beliau menjauh sejauh-jauhnya dengan cara bijaksana, hanya dengan membiarkan air mata menetes di dadanya.
Lalu, ketika keadaan menjadi lebih ”ning”, berdendanglah sang kiai: ”Kusimpan sendiri badai resahku/dalam angin desahku. Kusimpan sendiri gelombang geramku/dalam laut pahamku,” sebagaimana kita dengar dalam puisinya ”Bila Kutitipkan ” yang sudah disinggung di atas.
Kelihatannya, di dalam kebudayaan Jawa maupun Islam, orang-orang arif memang memiliki sendiri ”laut” di dalam dirinya. Kesabaran, kemurahan hati, sifat toleran, atau tidak larut ke dalam gelombang keserakahan terhadap jabatan, mungkin semua ditampung di ”lautan” tadi.
Dan, ”lautan” kepahaman?
Untuk Kiai Mus van Rembang mungkin lebih tepat disebut samudera makrifat, yang kedalamannya tak terukur, dan jelas lebih dalam dari palung Filipina, yang dianggap terdalam di dunia.
***
Pertunjukan seni di gedung kesenian malam itu sebenarnya secara struktural menempatkan Kiai Mus di ”pusat”. Kiai kita itulah tamu agung malam itu. Tapi, ketika dilihat secara keseluruhan, Kiai Mus hanya berada di "pinggiran".
Acara serupa, beberapa tahun lalu, ”kolaborasi” Gus Mus dan Idris Sardi jauh lebih manis, lebih feminin dibanding dengan sebutan: ”Duel Gus Mus dan Gus Jaya”, yang maskulin, dan sangat terasa cita rasa Jaya Suprana, yang agak ”stormy” dalam mengungkapkan humor lembut sekalipun.
Tari pembukaan itu terasa berisik untuk konteks kelembutan acara berbisik dalam langgam puitik sang Kiai. Kemudian musik di kiri maupun kanan panggung yang menyusul sesudah acara puisi tak memberi dukungan keindahan apa pun. Musik itu membuat suasana ”ning” dunia puisi menjadi buyar.
Dan, tampilnya penyanyi-penyanyi yang tegak seperti para satria baja hitam di acara penutupan membuat kita merasa seperti menyaksikan nyanyian sepasukan tentara. Lirik puitik lagu yang mereka nyanyikan sangat khas seperti puisi zaman Balai Pustaka.
Betapa jauh bedanya disandingkan dengan lirik-lirik Kiai Mus: dalam, lembut, simbolik, dan jelas merupakan gambaran puisi zaman ini lebih dari puisi angkatan 45 yang ”menyatakan” dan yang ”bertanya” dan ”bertanya”, khas seperti gerak jiwa para ”salik” yang sedang menempuh ajaran sang guru rohani.
Jangan salah, di pesantren, beliau kiai terhormat. Tapi, dalam hidup keseharian lainnya, beliau ”santri” yang tak puas-puasnya menggali lebih dalam nilai dan makna hidup dengan gairah seorang ”pencari” sejati. Puisi-puisinya menggambarkan ”pencarian” yang tak pernah jera. Tak puas-puasnya. Inti puisinya lebih ”bertanya” daripada ”menjelaskan”.
***
Ketika bicara puisi Islam, muncul ketegasan yang tak sedikit pun digoyah keraguan: ”Islam agamaku, nomor satu di dunia/Islam benderaku, berkibar di mana-mana/Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana ...”
Lalu disusul: ”Islam seminarku, membahas semua/Islam upacaraku, menyambut segala/Islam puisiku, menyanyikan apa.” Semua menjadi rentetan pertanyaan yang menggambarkan dirinya resah, tak seperti banyak orang lain yang ”hanyut" dalam ombak zaman yang serba mutlak, serba yakin dirinya paling benar, serba yakin dirinya paling Islam.
Kiai Mus tak begitu. Setelah menyadari ”Islam sorbanku/ Islam sajadahku/Islam kitabku/ Islam organisasiku/Islam perusahaanku/Islam yayasanku/ Islam kaosku/Islam pentasku, kiai kita ragu, apakah dengan begitu dirinya Islam, hanya karena tanda-tanda itu ?” Maka puisi tersebut pun ditutup dengan pertanyaan: ”Tuhan, Islamkah aku?”
Pertanyaan, kita tahu, tidak karena tidak tahu. Juga tak karena resah, melainkan karena tanda kearifan hidup yang dalam. Kiai, yang saleh, dan dekat dengan Tuhan, bertanya bukan untuk menemukan keteguhan. Jiwanya, imannya, cara hidupnya, sudah teguh. Pantas bila dalam hidup, dalam berkesenian, dan berpuisi, di dunia yang sudah punya penjaga ”Taman Kata-Kata” diberi Kiai kita kehormatan: penjaga taman kearifan.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
MALAM kesenian, di Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta, Kiai Mus, penyair Mustofa Bisri, berpuisi. Rohaniwan ini berbisik lembut di atas panggung. Dan, daun-daun, pohon-pohon di luar gedung yang remang-remang pun berbisik. Langit berbisik, mendung berbisik, angin berbisik, badai, laut, gelombang, dan gunung pun berbisik. Tapi, penonton senyap.
”Bila kutitipkan dukaku pada langit/pastilah langit memanggil mendung. Bila kutitipkan resahku pada angin/pastilah angin menyeru badai. Bila kutitipkan geramku pada laut/pastilah laut menggiring gelombang. Bila kutitipkan dendamku pada gunung/pastilah gunung meluapkan api... ” Inilah puisi ”Bila Kutitipkan ”, yang juga dibaca malam itu.
Puisi bukan sekadar susunan kata-kata, atau kalimat indah. Puisi bukan sekadar ungkapan seni sesuai kaidah. Tapi, puisi -maksudnya puisi Kiai Mustofa Bisri van Rembang- menyajikan dunia batin yang menggambarkan kualitas rohaniah penyairnya sendiri. Indah itu penting. Tak perlu diragukan lagi.
Meskipun begitu, isi -temuan-temuan otentik yang dipungutnya di sepanjang perjalanan hidup yang sudah tujuh puluhan tahun, dalam keresahan seorang pencari yang bertanya- jauh lebih penting. Mereka yang mengutamakan esensi di dalam hidup ini, isi dan bukan kulit, yang dicari.
Isi puisi Kiai van Rembang ini ibarat santapan yang hanya terdapat di surga jannatun naim. Soalnya, apa yang kelihatannya biasa-biasa saja, dan seperti sekadar urusan rutin sehari-hari, sebenarnya dipungut dari kedalaman lubuk hati, yang kaya-kaya dan bukan biasa-biasa saja.
Ungkapannya tentang yang fana, terasa sekaligus menjadi potret yang abadi, yang berdebu sekaligus gambaran yang kudus, dan yang manusiawi sebenarnya juga sekaligus yang ilahi. Keindahan kata yang begitu penting lalu menjadi tak relevan lagi.
***
Presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, kabarnya pernah menilai kualitas lirik puisi sang Kiai, dengan mengatakan bahwa Kiai memang bukan penjaga taman kata-kata. Tapi, Tardji lupa, kelihatannya Kiai Mus -dan bukan yang lain- yang ”ditunjuk” untuk mewakili kita menjadi penjaga taman kearifan. Tidak sama.
Kaum ”arifin” melihat dunia dengan mata yang berbeda, merasakan hidup dengan kedalaman kalbu yang tidak sama dengan yang lain. Kearifan itu wakil dari dunia ”dalam” dan kata-kata -seindah bunyi seruling Daud sekalipun-wakil dunia luar, wakil kulit, yang bisa keriput diterjang usia dan terik matahari. Kearifan, makin diterjang usia, makin dalamlah cara dia menampilkan dirinya.
Peran politik-kebudayaan sang Kiai di dunianya sendiri, NU, begitu besar. Dan, cermin kearifan sangatlah jelas di sana. Ketika orang cenderung saling mencakar demi sebuah kursi goyang, beliau menjauh sejauh-jauhnya dengan cara bijaksana, hanya dengan membiarkan air mata menetes di dadanya.
Lalu, ketika keadaan menjadi lebih ”ning”, berdendanglah sang kiai: ”Kusimpan sendiri badai resahku/dalam angin desahku. Kusimpan sendiri gelombang geramku/dalam laut pahamku,” sebagaimana kita dengar dalam puisinya ”Bila Kutitipkan ” yang sudah disinggung di atas.
Kelihatannya, di dalam kebudayaan Jawa maupun Islam, orang-orang arif memang memiliki sendiri ”laut” di dalam dirinya. Kesabaran, kemurahan hati, sifat toleran, atau tidak larut ke dalam gelombang keserakahan terhadap jabatan, mungkin semua ditampung di ”lautan” tadi.
Dan, ”lautan” kepahaman?
Untuk Kiai Mus van Rembang mungkin lebih tepat disebut samudera makrifat, yang kedalamannya tak terukur, dan jelas lebih dalam dari palung Filipina, yang dianggap terdalam di dunia.
***
Pertunjukan seni di gedung kesenian malam itu sebenarnya secara struktural menempatkan Kiai Mus di ”pusat”. Kiai kita itulah tamu agung malam itu. Tapi, ketika dilihat secara keseluruhan, Kiai Mus hanya berada di "pinggiran".
Acara serupa, beberapa tahun lalu, ”kolaborasi” Gus Mus dan Idris Sardi jauh lebih manis, lebih feminin dibanding dengan sebutan: ”Duel Gus Mus dan Gus Jaya”, yang maskulin, dan sangat terasa cita rasa Jaya Suprana, yang agak ”stormy” dalam mengungkapkan humor lembut sekalipun.
Tari pembukaan itu terasa berisik untuk konteks kelembutan acara berbisik dalam langgam puitik sang Kiai. Kemudian musik di kiri maupun kanan panggung yang menyusul sesudah acara puisi tak memberi dukungan keindahan apa pun. Musik itu membuat suasana ”ning” dunia puisi menjadi buyar.
Dan, tampilnya penyanyi-penyanyi yang tegak seperti para satria baja hitam di acara penutupan membuat kita merasa seperti menyaksikan nyanyian sepasukan tentara. Lirik puitik lagu yang mereka nyanyikan sangat khas seperti puisi zaman Balai Pustaka.
Betapa jauh bedanya disandingkan dengan lirik-lirik Kiai Mus: dalam, lembut, simbolik, dan jelas merupakan gambaran puisi zaman ini lebih dari puisi angkatan 45 yang ”menyatakan” dan yang ”bertanya” dan ”bertanya”, khas seperti gerak jiwa para ”salik” yang sedang menempuh ajaran sang guru rohani.
Jangan salah, di pesantren, beliau kiai terhormat. Tapi, dalam hidup keseharian lainnya, beliau ”santri” yang tak puas-puasnya menggali lebih dalam nilai dan makna hidup dengan gairah seorang ”pencari” sejati. Puisi-puisinya menggambarkan ”pencarian” yang tak pernah jera. Tak puas-puasnya. Inti puisinya lebih ”bertanya” daripada ”menjelaskan”.
***
Ketika bicara puisi Islam, muncul ketegasan yang tak sedikit pun digoyah keraguan: ”Islam agamaku, nomor satu di dunia/Islam benderaku, berkibar di mana-mana/Islam tempat ibadahku, mewah bagai istana ...”
Lalu disusul: ”Islam seminarku, membahas semua/Islam upacaraku, menyambut segala/Islam puisiku, menyanyikan apa.” Semua menjadi rentetan pertanyaan yang menggambarkan dirinya resah, tak seperti banyak orang lain yang ”hanyut" dalam ombak zaman yang serba mutlak, serba yakin dirinya paling benar, serba yakin dirinya paling Islam.
Kiai Mus tak begitu. Setelah menyadari ”Islam sorbanku/ Islam sajadahku/Islam kitabku/ Islam organisasiku/Islam perusahaanku/Islam yayasanku/ Islam kaosku/Islam pentasku, kiai kita ragu, apakah dengan begitu dirinya Islam, hanya karena tanda-tanda itu ?” Maka puisi tersebut pun ditutup dengan pertanyaan: ”Tuhan, Islamkah aku?”
Pertanyaan, kita tahu, tidak karena tidak tahu. Juga tak karena resah, melainkan karena tanda kearifan hidup yang dalam. Kiai, yang saleh, dan dekat dengan Tuhan, bertanya bukan untuk menemukan keteguhan. Jiwanya, imannya, cara hidupnya, sudah teguh. Pantas bila dalam hidup, dalam berkesenian, dan berpuisi, di dunia yang sudah punya penjaga ”Taman Kata-Kata” diberi Kiai kita kehormatan: penjaga taman kearifan.
(hyk)