Silatnas sebagai Pemantapan 'Koalisi'

Kamis, 05 November 2015 - 07:52 WIB
Silatnas sebagai Pemantapan Koalisi
Silatnas sebagai Pemantapan 'Koalisi'
A A A
Sesungguhnya apa yang terjadi dalam Silaturahmi Nasional (Silatnas) beberapa waktu lalu bersifat pembentukan “koalisi” di antara dua partai, yakni Partai Golkar versi Ancol pimpinan Agung Laksono dan Partai Golkar versi Bali pimpinan Aburizal Bakrie, terutama dalam menghadapi pilkada serentak yang akan dilangsungkan Desember 2015. Pertemuan itu tampaknya tidak terlalu terkait dengan akan terbentuknya “fusi” di antara dua partai itu.

Pertemuan itu memang membawa angin segar bagi partai yang telah dilanda prahara internal dengan munculnya dua kubu yang saling berseteru terhitung sejak pembubaran rapat pleno, menjelang Munas Golkar IX, November tahun lalu. Dalam peristiwa itu, tidak saja agenda penetapan materi Munas yang terbengkalai dan pendudukan kantor DPP Partai Golkar oleh pihak Agung Laksono, tetapi pula terjadi pemecatan Ical dan Idrus Marham dari jabatannya oleh kelompok yang menyatakan diri sebagai Presidium Penyelamat Partai Golkar.

Prahara menjadi berkepanjangan karena masing-masing pihak merasa sebagai pembawa aspirasi warga beringin yang sesungguhnya. Kedua kelompok mengklaim bahwa munas yang mereka selenggarakan adalah yang paling aspiratif dan legal. Sementara apa yang dilakukan oleh kelompok tandingan atau lawan tidak lain adalah sebuah manuver manipulatif, ilegal, atau menunjukkan arogansi kekuasaan.

Keputusan MA dan Rekonsiliasi Total?
Pascakeputusan MA pada Oktober 2015 yang menetapkan pembatalan SK Kemenkumham yang telah mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Ancol memang muncul keinginan untuk dapat saling mendekat. Yorrys dari kubu Agung Laksono, misalnya, meminta agar Agung Laksono dan seluruh pendukungnya legawa menerima keputusan MA itu. Silatnas menjadi cerminan keinginan menata hubungan yang lebih baik dan produktif.

Namun demikian, setidaknya ada dua hal yang masih mengganjal dalam upaya untuk melakukan rekonsiliasi yang benar-benar total. Pertama, terkait dengan posisi partai ini vis a vis pemerintah. Bagi pihak Agung Laksono, Partai Golkar hendaknya harus menjadi pendukung pemerintah, dalam makna mendukung segenap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Kelompok ini memang telah membuka peluang untuk bekerja sama secara intens dengan pemerintahan Jokowi-JK sejak awal keberadaannya. Tidak heran jika banyak kalangan melihat adanya campur tangan pemerintah dalam Golkar melalui kelompok ini. Posisi yang paling banter dapat disepakati kelompok ini adalah Partai Golkar tidak bergabung di KMP ataupun KIH. Dalam posisi politik ini, amat terbuka peluang Partai Golkar akan terserap menjadi bagian dari pemerintah.

Sementara di sisi lain, bagi pihak Ical, ide menjadi pendukung pemerintah semacam itu tidak dapat diterima. Kelompok ini konsisten menyatakan bahwa tidak saja Partai Golkar berada di luar pemerintahan, namun akan tetap menjadi bagian dari KMP. Bagi kelompok ini, berada di luar pemerintahan adalah bagian dari perjuangan Golkar untuk turut membangun pemerintahan yang baik.

Dengan berada di luar pemerintahan, sebagaimana yang dikatakan Tantowi Yahya, Golkar memiliki peran strategis untuk mengkritisi pemerintah, meski tetap mendukung eksistensi pemerintah hingga akhir masa tugasnya. Keberadaan partai di dalam KMP sama sekali tidak mengganggu upaya-upaya tersebut. Sebagai bagian dari penggagasnya, Partai Golkar juga terikat secara moral untuk merawat koalisi ini, selain tentu saja ada kepentingan strategis jangka panjang yang dapat diraih dengan tetap bergabung dengan koalisi ini.

Dari persoalan kedudukan partai ini dapat terlihat adanya perbedaan orientasi politik yang bersifat zero sum atau saling meniadakan, sehingga rekonsiliasi menjadi tidak mudah dilakukan. Rekonsiliasi menyeluruh akan sangat mungkin terjadi jika kedua kubu dapat mengambil sikap yang sama, yakni apakah ada di dalam pemerintahan dan keluar dari KMP atau sebaliknya menjadi oposisi loyal yang bebas mengkritisi dan tetap di KMP.

Kedua, terkait dengan masalah legalitas Partai Golkar. Bagi kelompok Agung Laksono, keputusan MA tidak memberikan hak atau legalitas bagi pihak mana pun untuk dapat menyatakan diri sebagai kepengurusan yang sah, kecuali kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Riau. Dengan cara pandang ini, kelompok ini jelas cenderung mengabaikan eksistensi Partai Golkar versi hasil Munas Bali yang dipimpin Ical. Sebagai solusi atau respons atas keputusan MA, kelompok ini menawarkan diselenggarakannya munas baru untuk menentukan kepemimpinan partai sekaligus membentuk kepengurusan partai yang baru.

Kelompok ini melihat penyelenggaraan munas tersebut sebagai hal yang wajar, seiring dengan telah selesainya masa kepengurusan Munas Riau. Hal yang juga patut dicatat adalah tidak menutup kemungkinan bahwa manakala situasi memungkinkan perjuangan dalam konteks legal-formal atau hukum akan terus diupayakan kelompok ini untuk meraih hasil maksimal.

Sementara bagi kelompok Ical, keputusan MA adalah sebuah penegasan atas ketidakabsahan kelompok Agung. Sebelum keputusan MA dibuat, bagi kelompok Ical apa pun yang dilakukan atau disuarakan kubu Agung tidak terkait dengan Partai Golkar. Setelah keputusan MA ini, semakin bulatlah bagi kelompok ini untuk menyatakan bahwa kelompok Agung sama sekali tidak berhak mengatasnamakan Partai Golkar dalam setiap tindakannya. Di samping itu, keputusan MA ditafsirkan sebagai bentuk dukungan kepengurusan Partai Golkar versi Munas Bali, meski hingga kini Kemenkumham belum juga mengeluarkan SK yang mengesahkan kelompok Ical.

Terkait dengan Partai Golkar versi Munas Riau, kelompok ini menafsirkan bahwa turunan dari Munas Riau, di mana Ical adalah ketua umum hasil munas tersebut, adalah kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali. Karena itu, tidak diperlukan adanya munas baru ataupun munaslub untuk menentukan kepemimpinan dan kepengurusan partai setelah dilaksanakannya Munas Bali. Bagi kalangan ini hasil Munas Bali, yang mengangkat Ical sebagai ketua umum partai, adalah final.

Dengan perbedaan penafsiran keputusan MA dan juga penyikapan atas keputusan tersebut, tampak jelas bahwa kedua belah pihak memiliki posisi yang masih cukup sulit untuk diselaraskan, apalagi berbagai manuver politik masih dapat dimainkan sejauh SK Kemenkumham belum juga turun. Rekonsiliasi hanya mungkin jika ada kemauan untuk bergabung dalam salah satu kepengurusan tanpa syarat.

Untung saja ada momen pilkada yang mendorong masing-masing kubu untuk mendekat dan menyatukan langkah melalui Silatnas. Terbayang jika pilkada serentak tidak pernah terjadi, tentu tidak ada momentum strategis yang dapat mendekatkan kedua kelompok dan mencairkan kebekuan di antara keduanya. Meski demikian, momentum Silatnas jelas bukanlah awal dari benar-benar berakhirnya perbedaan-perbedaan mendasar dari kedua kubu ini. Dengan kata lain, Silatnas pada akhirnya bukanlah momentum munculnya rekonsiliasi total di antara dua kubu, melainkan sekali lagi sebuah pemantapan “koalisi” antara dua partai yang menamakan diri sebagai Partai Golkar.

FIRMAN NOOR
Honorary Research Fellow, University of Exeter,
Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI,
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6121 seconds (0.1#10.140)