Jeremy Corbyn
A
A
A
Jeremy Corbyn adalah nama yang sedang ramai dibicarakan rakyat Inggris dan daratan Eropa dalam seminggu terakhir ini. Tiga hari lalu Corbyn telah merebut kursi kepemimpinan ketua Partai Buruh di Inggris.
Padahal ketika ia mengumumkan pencalonan dirinya tiga bulan lalu, ia sama sekali bukan unggulan. Kemungkinannya menang diprediksi hanya seperdua ratus. Ternyata ia justru memperoleh kepercayaan lebih dari 50% anggota Partai Buruh yang memiliki hak suara, jauh dibandingkan pesaingnya sesama pemimpin Partai Buruh yang hanya mendapat suara di bawah 20%.
Bukan itu saja, keanggotaan Partai Buruh pun mendapat tambahan 15.000 anggota baru sejak Corbyn terpilih. Perlu dicatat bahwa seseorang yang tercatat menjadi anggota Partai Buruh wajib membayar iuran 3 poundsterling atau sekitar Rp67.000 mengikuti harga tukar mata uang saat ini. Penambahan keanggotaan partai memiliki dampak signifikan untuk membiayai kegiatan partai.
Jumlah ini diperkirakan terus meningkat seiring dengan meningkatnya popularitas Corbyn. Yang membuat Corbyn menarik sekaligus mengkhawatirkan lawan-lawan politik baik dari dalam Partai Buruh sendiri atau Partai Konservatif adalah karena sepak terjangnya yang secara konsisten menolak sistem ekonomi-politik Inggris yang dianggapnya neoliberal.
Ia adalah seorang aktivis kiri dari spektrum yang paling kiri. Dalam politik, Corbyn dianggap seperti sosok Alexis Tsipras sebelum terpilih menjadi perdana menteri Yunani, tetapi dalam versi yang lebih matang dan taktis. Posisi Corbyn saat ini tentu membuat tidak nyaman anggota Partai Buruh lain dan apabila sejarah menentukan ia menjadi perdana menteri Inggris, tentu akan membuat tidak nyaman juga pemimpin politik Eropa lainnya.
Kemungkinan Corbyn untuk menjadi perdana menteri menjelang Pemilihan Umum 2020 tidak tertutup apabila ia mampu meyakinkan pemilihnya. Dalam pidato kampanye di hadapan anggota Partai Buruh, Corbyn tidak segan mengkritik partainya tersebut. Corbyn berjanji untuk membuat Partai Buruh lebih demokratis dengan melibatkan para anggota untuk mengambil keputusan dan kebijakan partai.
Proposal kuncinya meliputi nasionalisasi moda transportasi, khususnya kereta api, juga meminta maaf untuk peran Partai Buruh dalam mendukung perang Irak, menentang penghematan anggaran (austerity policy), menentang rencana pengeboman Suriah, menciptakan layanan pendidikan nasional dan mengampanyekan PeoplePeoples Quantitative Easing sebagai versi lain dari Quantitive Easing kubu Konservatif yang dianggap hanya menguntungkan para bank dan investor.
Terpilihnya Jeremy Corbyn menimbulkan tanda tanya apakah ini pertanda menguatnya pilihan politik rakyat Inggris untuk mendekat pada garis oposisi kaum buruh. Dari sisi ekonomi, Inggris tampaknya lebih baik dari negara-negara Eropa lainnya walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat seperti halnya negara-negara lain di dunia.
Hal itu terkait dengan kebijakan fiskal yang kuat dari pemerintahan konservatif saat ini. Mereka memilih untuk menekan pengeluaran negara ketimbang menaikkan pajak. Pengeluaran yang diperketat terutama terkait dengan belanja negara di bidang pelayanan publik dan sosial khususnya jaminan sosial walaupun tidak menyentuh pengeluaran di bidang kesehatan dan pendidikan.
Oxfam Inggris melaporkan bahwa kebijakan pengetatan itu telah membuat hidup masyarakat Inggris semakin sulit dan mereka yang telah hidup dalam kemiskinan adalah korban utama yang menderita. Lembaga itu juga memprediksi bahwa tahun 2020, 800.000 anak (alias 1 dari 4 anak) dan 1,5 juta orang dewasa di Inggris akan hidup dalam kemiskinan.
Apabila dilihat dari gini coefficient, OECD mencatat bahwa kesenjangan pendapatan di Inggris memang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Eropa lain. Pendapatan 10% orang terkaya Inggris lebih besar 10 kali lipat dibandingkan 10% orang termiskin. OECD juga mencatat bahwa pendapatan rerata kelompok 10% termiskin di Inggris telah turun secara riil 2%.
Meskipun rerata pendapatan penduduk di Inggris hanya sedikit lebih rendah daripada Jerman dan Prancis, rerata pendapatan kelompok 10% termiskin di Inggris ternyata jauh lebih rendah dibandingkan Jerman dan Prancis. Tak mengherankan jika kemudian muncul protes atas kebijakan partai berkuasa, yakni koalisi Partai Konservatif dan Partai Liberal.
Sedikit demi sedikit argumen Corbyn memengaruhi para pemilih terutama dari anggota partainya. Dukungan bagi Corbyn terutama diperoleh dari serikat-serikat buruh di Inggris yang saat ini tengah menghadapi rencana pengetatan aturan mogok. Dalam peraturan saat ini, pemogokan dapat dilakukan apabila disertai dengan surat dukungan dari pekerja yang ingin mogok.
Sementara itu pemerintahan berkuasa mengusulkan bahwa surat dukungan itu harus sebesar 50% dari jumlah pekerja yang ingin mogok. Hal ini tentu akan menyulitkan dan mengurangi peran serikat buruh dalam negosiasi.
Salah satu yang menarik dari proposal kampanye Corbyn dan terkait dengan posisinya untuk menolak pengetatan anggaran adalah dukungannya terhadap kebijakan fiskal PeoplePeoples Quantiative Easing (PQE). Quantiative Easing (QE) dalam pengertian kita saat ini adalah upaya Bank Sentral untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dengan membeli obligasi jangka panjang baik surat utang atau kredit perumahan.
Uangnya diperoleh dengan cara mencetak uang yang memang adalah kewenangannya. Surat utang itu dapat dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keuangan atau oleh pemerintah. Bagi lembaga keuangan, umumnya uang yang diperoleh diputar lagi sebagai kredit; sementara bagi pemerintah, uang dipakai untuk membiayai defisit anggaran.
Perbedaan QE dengan PQE adalah bahwa surat utang diusulkan hanya dikeluarkan oleh masyarakat untuk membangun proyek-proyek infrastruktur. Dengan demikian, uang yang telah diberikan Bank Sentral memang dipergunakan untuk pembangunan dan bukan untuk dipakai spekulasi seperti yang selama ini terjadi.
Banyak dana dari QE di Amerika atau Eropa yang dipakai untuk membeli saham-saham di luar negeri, termasuk Indonesia, dan tidak seutuhnya digunakan untuk pembangunan dan penciptaan lapangan pekerjaan. Ide itu tentu tidak serta-merta diterima. Banyak juga yang menilai ide tersebut tidak realistis karena masyarakat tidak bisa diharapkan dalam sekejap memiliki kemampuan untuk melakukan investasi di bidang infrastruktur.
Di sisi lain, PQE ini juga tidak berbeda dengan QE secara umum karena surat utang yang dibeli Bank Sentral pada umumnya juga adalah perusahaan milik negara. Dalam hubungan internasional, terpilihnya Corbyn mungkin akan menyulitkan Inggris dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah, khususnya Suriah.
Selama ini Inggris menyetujui untuk melakukan serangan militer ke Suriah di mana Corbyn selalu konsisten menolaknya. Dalam kasus pengungsi, Inggris adalah salah satu negara yang terbebas dari kewajiban untuk menerima pengungsi yang datang ke Eropa. Inggris lebih menyukai untuk memberi dana kepada lokasi-lokasi penampungan pengungsi yang berada di luar Eropa.
Kebijakan ini yang ditentang oleh Corbyn dan bahkan sehari setelah ia terpilih menjadi ketua Partai Buruh, Corbyn justru merayakan kemenangannya dengan ikut pawai mendukung pengungsi datang ke Eropa. Pandangan Corbyn yang selalu bertolak belakang dengan kebijakan pemerintahan Inggris dan kebijakan partainya sendiri adalah janji yang besar.
Kemenangan Corbyn menunjukkan bahwa pendulum politik Inggris bisa juga bergeser ekstrem ke kiri. Memang belum tentu ini menjadi arah lanjutan dari politik di Inggris. Sejumlah kalangan menilai bahwa terpilihnya Corbyn semata-mata merupakan wujud protes terhadap kebijakan Partai Buruh pada masa Tony Blair sekaligus juga protes terhadap kebijakan partai berkuasa saat ini.
Kita di Indonesia patut mencermati situasi yang berkembang di Inggris karena pilihan masyarakat di sana turut menentukan sejumlah agenda diplomatik terhadap Inggris dan juga Uni Eropa.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Padahal ketika ia mengumumkan pencalonan dirinya tiga bulan lalu, ia sama sekali bukan unggulan. Kemungkinannya menang diprediksi hanya seperdua ratus. Ternyata ia justru memperoleh kepercayaan lebih dari 50% anggota Partai Buruh yang memiliki hak suara, jauh dibandingkan pesaingnya sesama pemimpin Partai Buruh yang hanya mendapat suara di bawah 20%.
Bukan itu saja, keanggotaan Partai Buruh pun mendapat tambahan 15.000 anggota baru sejak Corbyn terpilih. Perlu dicatat bahwa seseorang yang tercatat menjadi anggota Partai Buruh wajib membayar iuran 3 poundsterling atau sekitar Rp67.000 mengikuti harga tukar mata uang saat ini. Penambahan keanggotaan partai memiliki dampak signifikan untuk membiayai kegiatan partai.
Jumlah ini diperkirakan terus meningkat seiring dengan meningkatnya popularitas Corbyn. Yang membuat Corbyn menarik sekaligus mengkhawatirkan lawan-lawan politik baik dari dalam Partai Buruh sendiri atau Partai Konservatif adalah karena sepak terjangnya yang secara konsisten menolak sistem ekonomi-politik Inggris yang dianggapnya neoliberal.
Ia adalah seorang aktivis kiri dari spektrum yang paling kiri. Dalam politik, Corbyn dianggap seperti sosok Alexis Tsipras sebelum terpilih menjadi perdana menteri Yunani, tetapi dalam versi yang lebih matang dan taktis. Posisi Corbyn saat ini tentu membuat tidak nyaman anggota Partai Buruh lain dan apabila sejarah menentukan ia menjadi perdana menteri Inggris, tentu akan membuat tidak nyaman juga pemimpin politik Eropa lainnya.
Kemungkinan Corbyn untuk menjadi perdana menteri menjelang Pemilihan Umum 2020 tidak tertutup apabila ia mampu meyakinkan pemilihnya. Dalam pidato kampanye di hadapan anggota Partai Buruh, Corbyn tidak segan mengkritik partainya tersebut. Corbyn berjanji untuk membuat Partai Buruh lebih demokratis dengan melibatkan para anggota untuk mengambil keputusan dan kebijakan partai.
Proposal kuncinya meliputi nasionalisasi moda transportasi, khususnya kereta api, juga meminta maaf untuk peran Partai Buruh dalam mendukung perang Irak, menentang penghematan anggaran (austerity policy), menentang rencana pengeboman Suriah, menciptakan layanan pendidikan nasional dan mengampanyekan PeoplePeoples Quantitative Easing sebagai versi lain dari Quantitive Easing kubu Konservatif yang dianggap hanya menguntungkan para bank dan investor.
Terpilihnya Jeremy Corbyn menimbulkan tanda tanya apakah ini pertanda menguatnya pilihan politik rakyat Inggris untuk mendekat pada garis oposisi kaum buruh. Dari sisi ekonomi, Inggris tampaknya lebih baik dari negara-negara Eropa lainnya walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat seperti halnya negara-negara lain di dunia.
Hal itu terkait dengan kebijakan fiskal yang kuat dari pemerintahan konservatif saat ini. Mereka memilih untuk menekan pengeluaran negara ketimbang menaikkan pajak. Pengeluaran yang diperketat terutama terkait dengan belanja negara di bidang pelayanan publik dan sosial khususnya jaminan sosial walaupun tidak menyentuh pengeluaran di bidang kesehatan dan pendidikan.
Oxfam Inggris melaporkan bahwa kebijakan pengetatan itu telah membuat hidup masyarakat Inggris semakin sulit dan mereka yang telah hidup dalam kemiskinan adalah korban utama yang menderita. Lembaga itu juga memprediksi bahwa tahun 2020, 800.000 anak (alias 1 dari 4 anak) dan 1,5 juta orang dewasa di Inggris akan hidup dalam kemiskinan.
Apabila dilihat dari gini coefficient, OECD mencatat bahwa kesenjangan pendapatan di Inggris memang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Eropa lain. Pendapatan 10% orang terkaya Inggris lebih besar 10 kali lipat dibandingkan 10% orang termiskin. OECD juga mencatat bahwa pendapatan rerata kelompok 10% termiskin di Inggris telah turun secara riil 2%.
Meskipun rerata pendapatan penduduk di Inggris hanya sedikit lebih rendah daripada Jerman dan Prancis, rerata pendapatan kelompok 10% termiskin di Inggris ternyata jauh lebih rendah dibandingkan Jerman dan Prancis. Tak mengherankan jika kemudian muncul protes atas kebijakan partai berkuasa, yakni koalisi Partai Konservatif dan Partai Liberal.
Sedikit demi sedikit argumen Corbyn memengaruhi para pemilih terutama dari anggota partainya. Dukungan bagi Corbyn terutama diperoleh dari serikat-serikat buruh di Inggris yang saat ini tengah menghadapi rencana pengetatan aturan mogok. Dalam peraturan saat ini, pemogokan dapat dilakukan apabila disertai dengan surat dukungan dari pekerja yang ingin mogok.
Sementara itu pemerintahan berkuasa mengusulkan bahwa surat dukungan itu harus sebesar 50% dari jumlah pekerja yang ingin mogok. Hal ini tentu akan menyulitkan dan mengurangi peran serikat buruh dalam negosiasi.
Salah satu yang menarik dari proposal kampanye Corbyn dan terkait dengan posisinya untuk menolak pengetatan anggaran adalah dukungannya terhadap kebijakan fiskal PeoplePeoples Quantiative Easing (PQE). Quantiative Easing (QE) dalam pengertian kita saat ini adalah upaya Bank Sentral untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dengan membeli obligasi jangka panjang baik surat utang atau kredit perumahan.
Uangnya diperoleh dengan cara mencetak uang yang memang adalah kewenangannya. Surat utang itu dapat dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keuangan atau oleh pemerintah. Bagi lembaga keuangan, umumnya uang yang diperoleh diputar lagi sebagai kredit; sementara bagi pemerintah, uang dipakai untuk membiayai defisit anggaran.
Perbedaan QE dengan PQE adalah bahwa surat utang diusulkan hanya dikeluarkan oleh masyarakat untuk membangun proyek-proyek infrastruktur. Dengan demikian, uang yang telah diberikan Bank Sentral memang dipergunakan untuk pembangunan dan bukan untuk dipakai spekulasi seperti yang selama ini terjadi.
Banyak dana dari QE di Amerika atau Eropa yang dipakai untuk membeli saham-saham di luar negeri, termasuk Indonesia, dan tidak seutuhnya digunakan untuk pembangunan dan penciptaan lapangan pekerjaan. Ide itu tentu tidak serta-merta diterima. Banyak juga yang menilai ide tersebut tidak realistis karena masyarakat tidak bisa diharapkan dalam sekejap memiliki kemampuan untuk melakukan investasi di bidang infrastruktur.
Di sisi lain, PQE ini juga tidak berbeda dengan QE secara umum karena surat utang yang dibeli Bank Sentral pada umumnya juga adalah perusahaan milik negara. Dalam hubungan internasional, terpilihnya Corbyn mungkin akan menyulitkan Inggris dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah, khususnya Suriah.
Selama ini Inggris menyetujui untuk melakukan serangan militer ke Suriah di mana Corbyn selalu konsisten menolaknya. Dalam kasus pengungsi, Inggris adalah salah satu negara yang terbebas dari kewajiban untuk menerima pengungsi yang datang ke Eropa. Inggris lebih menyukai untuk memberi dana kepada lokasi-lokasi penampungan pengungsi yang berada di luar Eropa.
Kebijakan ini yang ditentang oleh Corbyn dan bahkan sehari setelah ia terpilih menjadi ketua Partai Buruh, Corbyn justru merayakan kemenangannya dengan ikut pawai mendukung pengungsi datang ke Eropa. Pandangan Corbyn yang selalu bertolak belakang dengan kebijakan pemerintahan Inggris dan kebijakan partainya sendiri adalah janji yang besar.
Kemenangan Corbyn menunjukkan bahwa pendulum politik Inggris bisa juga bergeser ekstrem ke kiri. Memang belum tentu ini menjadi arah lanjutan dari politik di Inggris. Sejumlah kalangan menilai bahwa terpilihnya Corbyn semata-mata merupakan wujud protes terhadap kebijakan Partai Buruh pada masa Tony Blair sekaligus juga protes terhadap kebijakan partai berkuasa saat ini.
Kita di Indonesia patut mencermati situasi yang berkembang di Inggris karena pilihan masyarakat di sana turut menentukan sejumlah agenda diplomatik terhadap Inggris dan juga Uni Eropa.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
(ftr)