UU KPK Harus Direvisi

Rabu, 16 September 2015 - 09:47 WIB
UU KPK Harus Direvisi
UU KPK Harus Direvisi
A A A
Undang-Undang KPK yang diundangkan pada 2002 bak buah simalakama; tak jadi diundangkan, reformasi tak bergerak; jadi diundangkan, ada kekhawatiran dan telah terjadi politisasi dan kriminalisasi dalam pemberantasan korupsi.

Sebagai contohnya adalah tidak ada yang dapat menolak kenyataan pada kasus Century, BLBI, LHI, Anas Urbaningrum, Miranda Gultom, Angelina Sondakh, serta terakhir kasus Pelindo II. Tidak ada pula yang menyangka akan ada kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto eks pimpinan KPK dan masih banyak lagi kejutan-kejutan terkait kinerja KPK.

Mengapa? Sejarah pembentukan UU KPK 2002 amat rumit, kompleks masalahnya, dan banyak sekali tantangan dan hambatan dari instansi penegak hukum lain dan politisi di Senayan. Alhasil, pembahasan draf RUU KPK akhirnya disetujui dengan bertambahnya pasal- pasal kompromistis.

Sebagai contoh, semula draf UU KPK menghendaki KPK lembaga independen sehingga penyelidik, penyidik, dan penuntut independen tidak berasal dari Polri dan Kejaksaan. Tetapi, konsep itu ditolak politisi dan institusi penegak hukum sehingga diambillah jalan kompromi. Mereka tetap berasal dari instansi asalnya, tetapi diberhentikan sementara (Pasal 39 ayat 3) agar tidak terjadi loyalitas ganda pada mereka.

Jadi, tidak benar dalam praktik oleh pimpinan KPK ditafsirkan dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. KPK diperbolehkan melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan, tetapi dengan rambu pembatas yaitu harus diputuskan dan disetujui bersama-sama lima pimpinan KPK dan tidak boleh ada SP3 termasuk penetapan tersangka.

KPK juga diperkuat (semula) oleh penasihat KPK, tapi dalam kenyataan penasihat yang ada tidak efektif dan untuk pengawasan cukup oleh publik sehingga KPK wajib bertanggung jawab kepada publik (Pasal 20 ayat 2) baik kinerja dan keuangan serta membuka akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat.

Hal ini seingat saya tidak dilakukan KPK kecuali konferensi pers dan menempatkannya di website KPK dan hanya ketika KPK menetapkan tersangka KPK. Dalam praktiknya, KPK jilid III telah melakukan tindakan hukum yang menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan tujuan diberikannya mandat oleh UU KPK.

Penyimpangan tersebut seperti tidak lagi dipertahankan dan dijalankannya asas kepemimpinan kolektif (Pasal 21 ayat 5) dan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum (Pasal 21 ayat 4). Terbukti sejak KPK jilid III tidak ada yang berasal dari Polri dan capim KPK jilid IV tidak ada yang berasal dari penuntut umum.

Kekurangan penyidik dan penuntut umum jelas cacat hukum dalam proses seleksi pimpinan KPK dan tidak ada alasan apa pun untuk dapat menyimpang dari ketentuan UU KPK. Pembagian tugas dan fungsi lima pimpinan KPK jelas melanggar asas kolektivitas karena dengan pembagian tersebut tanggung jawab lima pimpinan KPK dialihkan kepada masingmasing pimpinan KPK saja.

Jika hal ini terjadi, merupakan awal dari kehancuran KPK sebagai lembaga independen dan memadai dalam memberantas korupsi di K/L termasuk di lingkungan penegak hukum.

Mengacu pada kenyataan pahit yang dihadapi KPK dengan putusan praperadilan hakim Sarpin dan Haswandi, menjadi pertanyaan bagaimana cara mempertahankan KPK. Dalam pengamatan penulis tidak ada jalan lain selain melakukan revisi terhadap UU KPK 2002. Ada sepuluh sektor yang harus direvisi.

Pertama, menetapkan batas waktu keberadaan KPK sebagai lembaga adhoc dan bersifat komplementer terhadap institusi Polri dan Kejaksaan dan ditegaskan dalam revisi UU KPK. Kedua, menetapkan syarat sahnya kepemimpinan KPK yang juga penyidik dan penuntut umum. Ketiga, merinci kewenangan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan sehingga dicegah ”abuse of power ”.

Keempat, pengawasan diperkuat oleh Dewan Pengawas Penegakan Hukum sebagai lembaga khusus dan mandiri di bawah Presiden yang berwenang melakukan pengawasan terhadap KPK, Polri, dan Kejaksaan serta hakim dengan konsekuensi penghapusan Komisi Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. Kelima, pertanggungjawaban kepada publik oleh KPK, Polri, dan Kejaksaan diperketat dengan sanksi administrasi jika dilanggar.

Keenam, penegasan batas kewenangan KPK untuk kasus korupsi tertentu untuk memperkuat ketentuan Pasal 11 UU KPK 2002. Ketujuh, ketentuan larangan SP3 untuk KPK tidak absolut, melainkan dibuka kemungkinan SP3 dengan syarat-syarat yang ketat termasuk sanksi administrasi terhadap penyidiknya.

Kedelapan, penghapusan fungsi koordinasi dan supervisi KPK terhadap Polri dan Kejaksaan termasuk kewajiban SPDP karena telah terbentuk Dewan Pengawas Penegakan Hukum Kesembilan, syarat pelaporan harta kekayaan seluruh pimpinan dan jabatan deputi/direktur KPK diperketat dan diumumkan kepada publik termasuk juga di jajaran Polri dan Kejaksaan.

Kesepuluh, perlu dievaluasi keberadaan pengadilan tipikor dan seleksi hakim tipikor secara ketat di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI. Selain dari perubahan sebagaimana diuraikan, di tingkat kementerian dan lembaga juga diperkuat rekrutmen melalui lelang jabatan pada eselon tertentu untuk mencegah ”job-seeker ” semata-mata sehingga dapat mengembalikan marwah kedudukan dan fungsi jabatan publik serta masa depan organisasi kelembagaan yang ada.

Peranan dan fungsi inspektorat/ pengawasan di K/L juga perlu ditingkatkan baik audit kinerja dan keuangan serta penegasan kembali BPK RI sebagai satusatunya auditor negara untuk mencegah tumpang tindih pemeriksaan kinerja dan keuangan K/L yang menimbulkan ketidakpastian hukum.

Penyuluhan UU No 30 Tahun 2014 perlu diintensifkan ke seluruh K/L dan aparatur penegak hukum sehingga dapat mencegah ”kriminalisasi tindakan administratif” yang selama ini terjadi dalam praktik dan memperkuat prinsip kehatihatian (prudential principle ) di kalangan aparatur penegak hukum yang selama ini diabaikan karena telah memfungsikan sarana hukum pidana sebagai primum remedium, bukan ultimum remedium.

Sekiranya pemerintah (eksekutif) dan legislatif serta pimpinan lembaga penegak hukum memperhatikan atau mempertimbangkan saran penulis, insya Allah penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi akan tepat sasaran dengan outcome yang efisien dan efektif tanpa harus membuat ”kegaduhan” di kalangan penyelenggara negara. Amin.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran, Direktur LPIKP
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5504 seconds (0.1#10.140)