Negara Pancasila Bukan Negara (Berdasarkan) Syariah
A
A
A
Tulisan opini di KORAN SINDO (10/8) yang berjudul ”Negara Pancasila Negara Syariah” karya Zakiyuddin Baidhawy perlu diberi catatan-catatan kritis-argumentatif agar semua komunitas nonmuslim di Indonesia mendapat pencerahan dan pemahaman yang akurat dan benar.
Saya memahami, negara syariah itu identik dengan negara Islam. Negara syariah adalah negara yang berdasarkan Islam dan menerapkan hukum Islam (syariah) dalam sistem kenegaraan, sistem kebangsaan, dan sistem sosial kema-syarakatannya.
Lalu, apakah negara Indonesia (yang dikenal sebagai negara Pancasila) berdasarkan Islam dan menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipaparkan kembali episode sejarah perdebatan antara kelompok nasionalis muslim dan kubu nasionalis netral agama menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dua kelompok pada waktu itu membahas tentang dasar negara bagi negara Indonesia yang kemerdekaannya segera diproklamasikan. Masalah dasar negara ini dibahas secara serius oleh wakilwakil nasionalis muslim dan tokoh- tokoh nasionalis netral agama di sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945 dan dilanjutkan pada 10- 16 Juli 1945.
Dalam sidang BPUPKI ini, kelompok nasionalis muslim mengusulkan Islam sebagai dasar negara, sedangkan kubu nasionalis netral agama mengajukan Pancasila (yang diusulkan oleh Soekarno) sebagai dasar negara. Terjadi perdebatan panjang dan alot, tetapi a k h i r ny a dua kubu menyetujui Pancasila untuk dipakai sebagai dasar negara. Tim Sembilan (Tim Kecil) yang ditu-gasi BPUPKI mereformulasi Pancasila usulan Soekarno.
Kubu nasionalis muslim dan kelompok nasionalis netral agama mencapai kesepakatan pada 22 Juni 1945 dengan menandatangani sebuah piagam penting yang disebut Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta ini, sila pertama Pancasila berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.
” Dalam konsep Pancasila gagasan Soekarno, rumusannya hanya disebutkan ”Ketuhanan” dan ditempatkan sebagai sila kelima dan tidak ada frasa ”dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.” Menjelang pembukaan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, Mohammad Hatta mengusulkan perubahan rancangan Pembukaan UUD 1945 karena dia menerima keberatan terhadap frasa ”dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” dari kalangan Kristen yang tinggal di bagian timur Indonesia.
Seorang opsir angkatan laut Jepang yang membawa pesan dari kalangan Kristen itu mengatakan kepada Hatta bahwa kalangan Kristen tersebut akan berada di luar Republik jika ”frasa Islam” tetap dipertahankan. Hatta mengundang wakil-wakil kelompok nasionalis muslim yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk membahas persoalan serius dan peka tersebut.
Ki Bagus dan kawan-kawan menyetujui frasa ”dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” dicoret atau ditiadakan sehingga sila pertama Pancasila berbunyi ”KetuhananYangMahaEsa” saja. Ki Bagus dan kawan-kawan menerima perubahaninidenganalasanbahwa prinsip ”Ketuhanan YME” secara teologis sesuai ajaran tauhid (kepercayaan kepada keesaan Tuhan).
Menyusul Pemilu 1955, Konstituante bersidang pada 1956-1959 dengan tujuan menyusun UUD baru dan membahas pula tentang dasar negara. Di sidang Konstituante, kubu nasionalis muslim kembali mengusulkan Islam sebagai dasar, sedangkan faksi nasionalis netral agama tetap mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara.
Lama terjadi kebuntuan politik, akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang isinya memberlakukan kembali UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Jadi, Pancasila tetap dipakai sebagai dasar negara. Indonesia dikenal sebagai negara Pancasila karena berdasarkan Pancasila. ***
Pancasila (produk manusia) tidak identik dengan Islam (”produk” Tuhan). Sebaliknya, Islam tidak identik dengan Pancasila. Tetapi, Pancasila sudah pasti dan tidak diragukan lagi sesuai, cocok, sejalan, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Lima sila Pancasila (Ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, permusyawaratan/demokrasi, dan keadilan sosial) adalah sangat sesuai, cocok, dan sejalan dengan ajaran Islam.
Negara Pancasila adalah bukan negara syariah dalam arti negara yang berdasarkan Islam dan menerapkan hukum-hukum Islam (syariah) dalam sistem kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Betul, memang sudah ada Kemenag, tapi kementerian itu untuk enam agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu) dan tentu saja untuk agama-agama lain yang perlu diayomi untuk menciptakan kerukunan dan toleransi.
Betul, memang sudah ada pengadilan agama, tapi pengadilan itu menangani perkara- perkara hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga muslim seperti pernikahan, rujuk, warisan, wakaf, dan sebagainya. Pengadilan agama tidak menangani kasus-kasus pidana seperti pembunuhan, pencurian, korupsi, manipulasi, kriminalitas, penipuan, perampokan, dan lain-lain.
Perkaraperkara pidana ini ditangani oleh pengadilan umum (pengadilan negeri) yang KUHP-nya bukan berdasarkan Alquran dan Sunah Nabi. Sumber hukum di Indonesia adalah Pancasila, bukan syariah. Jikapun ada bank-bank syariah di negeri ini, itu sebatas mengakomodasi kepentingan umat Islam yang mau menabung atau bertransaksi keuangan secara syariah, bersifat sukarela, dan tidak dipaksakan kepada komunitas nonmuslim.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, saya berpendapat bahwa negara Pancasila (negara Indonesia) adalah bukan negara Islam atau bukan negara syariah. Jikapun ada nilai-nilai Islam atau nilai-nilai syariah yang diakomodasi (karena nilai- nilai itu sesuai dan bermanfaat bagi semua pihak) dalam konstitusi, aturan perundangperundangan, regulasi dan legislasi di Indonesia, hal itu tidak harus disimpulkan bahwa negara Pancasila (negara Indonesia) adalah negara syariah.
Negara Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara syariah, bukannegara Islam. Dengan tulisan ini, komunitas-komunitas nonmuslim di negeri ini diharapkan dapat memahami duduk persoalan yang sebenarnya sehingga mereka tidak merasa hidup di negara syariah. Kita hidup di negara Pancasila, bukan di negara syariah.
Faisal ismail
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Saya memahami, negara syariah itu identik dengan negara Islam. Negara syariah adalah negara yang berdasarkan Islam dan menerapkan hukum Islam (syariah) dalam sistem kenegaraan, sistem kebangsaan, dan sistem sosial kema-syarakatannya.
Lalu, apakah negara Indonesia (yang dikenal sebagai negara Pancasila) berdasarkan Islam dan menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipaparkan kembali episode sejarah perdebatan antara kelompok nasionalis muslim dan kubu nasionalis netral agama menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dua kelompok pada waktu itu membahas tentang dasar negara bagi negara Indonesia yang kemerdekaannya segera diproklamasikan. Masalah dasar negara ini dibahas secara serius oleh wakilwakil nasionalis muslim dan tokoh- tokoh nasionalis netral agama di sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945 dan dilanjutkan pada 10- 16 Juli 1945.
Dalam sidang BPUPKI ini, kelompok nasionalis muslim mengusulkan Islam sebagai dasar negara, sedangkan kubu nasionalis netral agama mengajukan Pancasila (yang diusulkan oleh Soekarno) sebagai dasar negara. Terjadi perdebatan panjang dan alot, tetapi a k h i r ny a dua kubu menyetujui Pancasila untuk dipakai sebagai dasar negara. Tim Sembilan (Tim Kecil) yang ditu-gasi BPUPKI mereformulasi Pancasila usulan Soekarno.
Kubu nasionalis muslim dan kelompok nasionalis netral agama mencapai kesepakatan pada 22 Juni 1945 dengan menandatangani sebuah piagam penting yang disebut Piagam Jakarta. Dalam Piagam Jakarta ini, sila pertama Pancasila berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.
” Dalam konsep Pancasila gagasan Soekarno, rumusannya hanya disebutkan ”Ketuhanan” dan ditempatkan sebagai sila kelima dan tidak ada frasa ”dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.” Menjelang pembukaan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, Mohammad Hatta mengusulkan perubahan rancangan Pembukaan UUD 1945 karena dia menerima keberatan terhadap frasa ”dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” dari kalangan Kristen yang tinggal di bagian timur Indonesia.
Seorang opsir angkatan laut Jepang yang membawa pesan dari kalangan Kristen itu mengatakan kepada Hatta bahwa kalangan Kristen tersebut akan berada di luar Republik jika ”frasa Islam” tetap dipertahankan. Hatta mengundang wakil-wakil kelompok nasionalis muslim yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk membahas persoalan serius dan peka tersebut.
Ki Bagus dan kawan-kawan menyetujui frasa ”dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” dicoret atau ditiadakan sehingga sila pertama Pancasila berbunyi ”KetuhananYangMahaEsa” saja. Ki Bagus dan kawan-kawan menerima perubahaninidenganalasanbahwa prinsip ”Ketuhanan YME” secara teologis sesuai ajaran tauhid (kepercayaan kepada keesaan Tuhan).
Menyusul Pemilu 1955, Konstituante bersidang pada 1956-1959 dengan tujuan menyusun UUD baru dan membahas pula tentang dasar negara. Di sidang Konstituante, kubu nasionalis muslim kembali mengusulkan Islam sebagai dasar, sedangkan faksi nasionalis netral agama tetap mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara.
Lama terjadi kebuntuan politik, akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang isinya memberlakukan kembali UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Jadi, Pancasila tetap dipakai sebagai dasar negara. Indonesia dikenal sebagai negara Pancasila karena berdasarkan Pancasila. ***
Pancasila (produk manusia) tidak identik dengan Islam (”produk” Tuhan). Sebaliknya, Islam tidak identik dengan Pancasila. Tetapi, Pancasila sudah pasti dan tidak diragukan lagi sesuai, cocok, sejalan, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Lima sila Pancasila (Ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, permusyawaratan/demokrasi, dan keadilan sosial) adalah sangat sesuai, cocok, dan sejalan dengan ajaran Islam.
Negara Pancasila adalah bukan negara syariah dalam arti negara yang berdasarkan Islam dan menerapkan hukum-hukum Islam (syariah) dalam sistem kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Betul, memang sudah ada Kemenag, tapi kementerian itu untuk enam agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu) dan tentu saja untuk agama-agama lain yang perlu diayomi untuk menciptakan kerukunan dan toleransi.
Betul, memang sudah ada pengadilan agama, tapi pengadilan itu menangani perkara- perkara hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga muslim seperti pernikahan, rujuk, warisan, wakaf, dan sebagainya. Pengadilan agama tidak menangani kasus-kasus pidana seperti pembunuhan, pencurian, korupsi, manipulasi, kriminalitas, penipuan, perampokan, dan lain-lain.
Perkaraperkara pidana ini ditangani oleh pengadilan umum (pengadilan negeri) yang KUHP-nya bukan berdasarkan Alquran dan Sunah Nabi. Sumber hukum di Indonesia adalah Pancasila, bukan syariah. Jikapun ada bank-bank syariah di negeri ini, itu sebatas mengakomodasi kepentingan umat Islam yang mau menabung atau bertransaksi keuangan secara syariah, bersifat sukarela, dan tidak dipaksakan kepada komunitas nonmuslim.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, saya berpendapat bahwa negara Pancasila (negara Indonesia) adalah bukan negara Islam atau bukan negara syariah. Jikapun ada nilai-nilai Islam atau nilai-nilai syariah yang diakomodasi (karena nilai- nilai itu sesuai dan bermanfaat bagi semua pihak) dalam konstitusi, aturan perundangperundangan, regulasi dan legislasi di Indonesia, hal itu tidak harus disimpulkan bahwa negara Pancasila (negara Indonesia) adalah negara syariah.
Negara Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara syariah, bukannegara Islam. Dengan tulisan ini, komunitas-komunitas nonmuslim di negeri ini diharapkan dapat memahami duduk persoalan yang sebenarnya sehingga mereka tidak merasa hidup di negara syariah. Kita hidup di negara Pancasila, bukan di negara syariah.
Faisal ismail
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
(ftr)