Pimpinan KPK: Penyidik & Penuntut Umum

Senin, 27 Juli 2015 - 12:53 WIB
Pimpinan KPK: Penyidik...
Pimpinan KPK: Penyidik & Penuntut Umum
A A A
Pendekatan normatif terhadap UU KPK Tahun 2002 menegaskan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum (Pasal 21 ayat 4). Ketentuan ini menetapkan status hukum pimpinan KPK bukan sekadar pimpinan suatu organisasi melainkan berwenang melaksanakan tugas secara pro-justitia.

Atas dasar pendekatan normatif, kelima pimpinan KPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat luas yaitu melaksanakan tugas manajerial dan tugas yang bersifat projustisia .

Kelima pimpinan KPK kini tengah menghadapi “kendala” berkaitan tugas penyidikan yang dilakukan penyidiknya sehingga ada usulan penarikan kembali penyidik KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Ketika KPK jilid I maka setiap proses pemeriksaan dalam rangka penyidikan selalu dimonitor sampai tuntas oleh Tumpak H Panggabean salah satu pimpinan KPK, sehingga tidak ada muncul kesan hambatan proses penyidikan yang ditengarai berasal dari penyidik.

Letak masalahnya adalah monitoring salah satu pimpinan KPK secara terusmenerusdanintensifserta memberikan arahan kepada tim penyidik melalui sistem online internal sehingga diperoleh hasil penyidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Struktur organisasi KPK tampak sebagai “struktur organisasi yang gemuk” karena terdiri atas lima pimpinan; empat deputi dan satu sekjen; dua belas direktur direktorat dan lima biro dilengkapi dengan tiga satgas (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan).

Mengamati struktur organisasi KPK tersebut maka memang organisasi KPK didesain sebagai lembaga permanen, bukan lembaga adhoc sebagaimana awal ide pembentukannya, sebagaimana dicantumkan dalam bagian menimbang UU KPK (huruf b).

Dilihat dari efisiensi dan efektivitas fungsi pengawasan maka terjadi kesenjangan (span of control) yang panjang/jauh dari pimpinan kepada satgassatgas yang dibentuk. Gelar perkara berulang-ulang kali pada setiap tahapan penyelidikan ke penyidikan dan tahap penyidikan ke penuntutan merupakan puncak dari pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK.

Gelar perkara pada tahap penyidikandanpenuntutanmerupakan proses yang penuh risiko tinggi (high risk) karena keberhasilan gelar perkara pada kedua tahap terakhir sangat ditentukanolehbataswaktumasapenahanan sesuai dengan KUHAP.

Atas dasar pertimbangan tersebut, langkah penahanan tersangka oleh KPK harus sangat ekstrahati-hati, yang dapat mengakibatkan harus dikeluarkannya tersangka dari penahanan jika kedua proses tersebut melebihi batas waktu perpanjangan waktu penahanan.

Monitoring dan arahan pimpinan yang bertanggung jawab pada bidangnya, terutama bidang penyelidikan dan penyidikan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK; bukan terletak pada satgas-satgas yang dibentuk baik secara individual maupun secara kolektif.

Dalam konteks inilah saya melihat struktur organisasi KPK layaknya suatu kementrian atau direktorat jenderal sehingga “span of control“ terlalu panjang. Sekalipun sistem online internal banyak membantu akan tetapi tidaklah cukup untuk suatu tugas projustisia yang rentan terhadap batas waktu penahanan dan tekanan masyarakat yang tidak henti-hentinya (social pressures) dan tekanan politik (political pressures) dalam kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik.

Perampingan (streamlining) adalah solusi pertama untuk mengatasi kesenjangan pengawasan dalam organisasi KPK sehingga pimpinan sesuai dengan tanggung jawabnya dapat secara langsung terjun memimpin proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Sejak pembentukannya, sampai saat ini tidak pernah ada satu kesempatan saya melihat pimpinan KPK duduk sebagai penuntut pada sidang pengadilan tipikor sebagai bukti kepiawaian hukum dan kelayakan sebagai pimpinan KPK di hadapan publik dan sekaligus membuktikan kepada publik bahwa korupsi benar-benar merupakan kejahatan luar biasa.

Atau mungkin belum pernah pimpinan KPK memeriksa tersangka langsung sampai selesai penyidikan. Mengapa tidak? Gelar perkara di KPK bukanlah sekadar proses pelaporan kemajuan penyelidikan dan penyidikan.

Tahapan tersebut seharusnya merupakan bentuk pertanggungjawaban hukum kinerja tim penyelidik atau tim penyidik kepada pimpinan sekaligus media evaluasi dan introspeksi kinerja pimpinan KPK itu sendiri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sesuai dengan UU KPK.

Merujuk status hukum pimpinan KPK maka jabatan pimpinan KPK harus berasal dari Polri dan Kejaksaan. Dua unsur tersebut tidak dapat dinafikan apalagi putusan praperadilan di PN Jaksel telah menguatkan UU KPK dan menguatkan status hukum tersebut.

Putusan praperadilan telah menyatakan bahwa untuk seorang pegawai penyelidik dan penyidik saja harus berasal dari Polri, apalagi untuk unsur pimpinan yang juga adalah penyidik dan penuntut umum.

Menjadi masalah hukum bagi KPK jilid IV jika kedua unsur anggota pimpinan tidak berasal dari Polri dan kejaksaan, karena akan dengan mudah dipraperadilankan sehingga setiap tindakan hukum pimpinan KPK yang bersifat kolektif dapat dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali.

Apalagi, pimpinan KPK harus dan wajib memimpin gelar perkara dan memutuskan langkah pro-justitia dalam setiap tahap mulai penyelidikan, penyidikan, sampai penuntutan.

Harusdiingat pulabahwajaksa sebagai penuntut umum pada KPK berdasarkan UU KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik sama sekali (Pasal 51 ayat [3] UUKPK).

Kondisiiniberbeda dengan status hukum jaksa sebagai penuntut umum pada Kejaksaan Agung yang masih tunduk secara mutlak pada UU Kejaksaan, sedangkan jaksa pada KPK juga penyidik Polri telah diberhentikan sementara dari instansi asalnya (Pasal 39 ayat 3 UU KPK).

Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus/Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7385 seconds (0.1#10.140)