Himpitan Koperasi dalam Arus Global
A
A
A
Prof Dr Jamal Wiwoho Sh Mhum
Guru Besar Fakultas Hukum,
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Tanggal 12 Juli merupakan tanggal yang diperingati sebagai Hari Koperasi. Gerakan ekonomi rakyat sebagaimana tertuang dalam amanat penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang bercirikan khas demokrasi ekonomi ala Indonesia itu, kini tengah mengalami berbagai cobaan dalam melangkah dan belum menemukan jati diri dalam mewujudkan sistem demokrasi perekonomian secara nasional.
Saat ini ada beberapa pelaku usaha yang kita kenal, yaitu milik pemerintah, milik swasta, dan koperasi. Sayangnya, peran koperasi dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat belumlah cukup signifikan. Para pelaku ekonomi ”plat merah” dan swasta masih lebih banyak mendominasi dalam berbagai hal dalam proses berpartisipasi mewujudkan kebutuhankebutuhan bagi masyarakat.
Dengan demikian, dalam kacamata publik, keberadaan koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional yang telah dicanangkan oleh para pendiri negeri ini (founding fathers) di era global saat ini masih jauh api dari panggangnya. *** Ada beberapa hal yang mempengaruhi kekurangberhasilan koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan pada masa global saat ini.
Pertama, pada zaman neoliberalisme seperti saat ini koperasi merupakan korban dari kedigdayaan dan keberingasan korporasi global. Perusahaanperusahaan swasta nasional maupun internasional dalam bentuk korporasi multinasional (MNCs) dengan segala segmentasi usaha telah mencerabut usaha-usaha yang dilakukan koperasi.
Hampir segala lini kegiatan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak justru di tangan pelaku usaha swasta tersebut sehingga perekonomian yang meluas dengan kemiskinan tidak bisa lagi diperangi oleh koperasi. Pada bagian lain justru muncul fenomena-fenomena di mana koperasi hanya dijadikan ”pelat papan nama” untuk mengambil uang negara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga alat demokrasi ekonomi itu hanya menjadi alat untuk memupuk kekayaan segelintir pejabat dan kroni-kroninya, bukan seluruh rakyatnya.
Misalnya koperasi bekerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat untuk membangun perumahan bagi rakyat yang kurang berkecukupan, dan karena ulah oknum tertentu perumahan itu tidak terealisasi. Kedua, keterbatasan informasipasardanteknologi. Sangat pentingnya pasar dan pemanfaatan teknologi menempati posisi yang sangat strategis bagi bidang usaha apa pun, termasuk koperasi.
Namun, fakta menunjukkan bahwa keadaan seperti ini dialami hampir seluruh koperasi yang ada di Indonesia. Cukup banyak koperasi yang tidak mengetahui posisi dan informasi tentang pasar yang merupakan sasaran utama usaha koperasi. Hal ini juga diperparah dengan minimnya penggunaan teknologi itu sendiri atau bahkan pemanfaatan teknologi informasi dalam menjalankan usaha koperasi itu yang kurang memadahi.
Pada saat ini, banyak koperasi dalam melakukan usaha secara tradisional dan belum memanfaatkan teknologi yang canggih. Ketiga, koperasi saat ini mengalami kendala akses permodalan. Sesuai dengan UU Koperasi (UU Nomor 25 Tahun 1992) bahwa modal koperasi terdiri atas simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela.
Menurut rekapitulasi data ”Koperasi berdasarkan Provinsi per 31 Desember 2014” yang bersumber dari SKPD yang membidangi UMKM, diperoleh informasi bahwa dari 209.488 koperasi yang ada di Indonesia hanya 147.249 koperasi aktif dengan modal sendiri sebesar Rp105.800.829,73 dan modal luar sebesar Rp94.861.986,91 masih jauh dari modal BUMN di Indonesia yang tiap tahun semakin meningkat.
Keempat, kondisi sumber daya manusia (SDM) yang rendah dan manajerial yang belum memadahi. Harus diakui bahwa dengan 36.443.953 orang, jumlah anggota koperasi dengan 530.830 orang karyawan dan dengan 36.615 orang manajer juga belum bisa menandingi jumlah perusahaan, jumlah karyawan, dan jumlah manajer dalam perusahaan yang dikelola swasta maupun pemerintah.
Suatu fakta yang tidak bisa dimungkiri bahwa kapasitas dan kemampuan karyawan dan manajer yang ada pada koperasi masih belum bisa disejajarkan dengan perusahaan swasta baik nasional bahkan internasional. Kelima, kurang dikenalnya keberadaan koperasi dalam masyarakat.
Harus diakui bahwa pemahaman koperasi sebagai gerakan ekonomi nasional pada tataran normatif memang tidak terbantahkan, namun pada tataran implementatif tidak banyak generasi muda mau serta bangga dalam proses bisnis koperasi tersebut. Generasi muda dan orang tua merasa minder dan belum merasa mendapat pekerjaan mana kala belum bekerja sebagaikaryawanperusahaan, perusahaan negara (BUMN), atau sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sehingga ungkapan the bigger is better lebih tepat bagi mereka jika dibandingkan dengan small is beatiful.
Keadaan keterhimpitan koperasi dalam arus global ini juga diperberat lagi dengan adanya ketidakkonsistensian lembaga pembuat UU dalam menyempurnakan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi dan diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2012 yang dalam perkembangannya secara mengagetkan seluruh muatan UU Nomor 17 Tahun 200012 telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 tanggal 28 Mei 2013.
Salah satu akibat dari pencabutan UU Koperasi versi tahun 2012 yang kemudian kembali pada UU koperasi versi 1992 ini adalah cukup banyaknya koperasi yang didirikan anggaran dasar (AD) berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2012 harus disesuaikan dengan UU Koperasi versi UU 25 Tahun 1992.
Dengan keadaan yang belum cukup kuat sebagai organ penggerakkesejahteraanmasyarakat, koperasi sebaiknya melakukan pemberdayaan di era global ini secara profesional, otonom, dan mandiri. Selain itu, kemampuan melakukan usaha sebagai mana layaknya badan usaha dengan mengoptimalkan potensi ekonomi nasional perlu lebih ditingkatkan.
Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana koperasi mampu meningkatkan kerja sama dengan seluruh pelaku ekonomi lainnya. Sebagai penutup tulisan ini, penulis ucapkan selamat berhari koperasi dengan harapan suatu saat koperasi di Indonesia dapat dijadikan basis atau prasyarat industrialisasi nasional di masa mendatang, atau setidaknya dapat menjadi alternatif penyelamat perekonomian nasional di kala kemiskinan melanda di Indonesia. Semoga!
Guru Besar Fakultas Hukum,
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Tanggal 12 Juli merupakan tanggal yang diperingati sebagai Hari Koperasi. Gerakan ekonomi rakyat sebagaimana tertuang dalam amanat penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang bercirikan khas demokrasi ekonomi ala Indonesia itu, kini tengah mengalami berbagai cobaan dalam melangkah dan belum menemukan jati diri dalam mewujudkan sistem demokrasi perekonomian secara nasional.
Saat ini ada beberapa pelaku usaha yang kita kenal, yaitu milik pemerintah, milik swasta, dan koperasi. Sayangnya, peran koperasi dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat belumlah cukup signifikan. Para pelaku ekonomi ”plat merah” dan swasta masih lebih banyak mendominasi dalam berbagai hal dalam proses berpartisipasi mewujudkan kebutuhankebutuhan bagi masyarakat.
Dengan demikian, dalam kacamata publik, keberadaan koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional yang telah dicanangkan oleh para pendiri negeri ini (founding fathers) di era global saat ini masih jauh api dari panggangnya. *** Ada beberapa hal yang mempengaruhi kekurangberhasilan koperasi sebagai gerakan ekonomi kerakyatan pada masa global saat ini.
Pertama, pada zaman neoliberalisme seperti saat ini koperasi merupakan korban dari kedigdayaan dan keberingasan korporasi global. Perusahaanperusahaan swasta nasional maupun internasional dalam bentuk korporasi multinasional (MNCs) dengan segala segmentasi usaha telah mencerabut usaha-usaha yang dilakukan koperasi.
Hampir segala lini kegiatan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak justru di tangan pelaku usaha swasta tersebut sehingga perekonomian yang meluas dengan kemiskinan tidak bisa lagi diperangi oleh koperasi. Pada bagian lain justru muncul fenomena-fenomena di mana koperasi hanya dijadikan ”pelat papan nama” untuk mengambil uang negara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga alat demokrasi ekonomi itu hanya menjadi alat untuk memupuk kekayaan segelintir pejabat dan kroni-kroninya, bukan seluruh rakyatnya.
Misalnya koperasi bekerja sama dengan Kementerian Perumahan Rakyat untuk membangun perumahan bagi rakyat yang kurang berkecukupan, dan karena ulah oknum tertentu perumahan itu tidak terealisasi. Kedua, keterbatasan informasipasardanteknologi. Sangat pentingnya pasar dan pemanfaatan teknologi menempati posisi yang sangat strategis bagi bidang usaha apa pun, termasuk koperasi.
Namun, fakta menunjukkan bahwa keadaan seperti ini dialami hampir seluruh koperasi yang ada di Indonesia. Cukup banyak koperasi yang tidak mengetahui posisi dan informasi tentang pasar yang merupakan sasaran utama usaha koperasi. Hal ini juga diperparah dengan minimnya penggunaan teknologi itu sendiri atau bahkan pemanfaatan teknologi informasi dalam menjalankan usaha koperasi itu yang kurang memadahi.
Pada saat ini, banyak koperasi dalam melakukan usaha secara tradisional dan belum memanfaatkan teknologi yang canggih. Ketiga, koperasi saat ini mengalami kendala akses permodalan. Sesuai dengan UU Koperasi (UU Nomor 25 Tahun 1992) bahwa modal koperasi terdiri atas simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela.
Menurut rekapitulasi data ”Koperasi berdasarkan Provinsi per 31 Desember 2014” yang bersumber dari SKPD yang membidangi UMKM, diperoleh informasi bahwa dari 209.488 koperasi yang ada di Indonesia hanya 147.249 koperasi aktif dengan modal sendiri sebesar Rp105.800.829,73 dan modal luar sebesar Rp94.861.986,91 masih jauh dari modal BUMN di Indonesia yang tiap tahun semakin meningkat.
Keempat, kondisi sumber daya manusia (SDM) yang rendah dan manajerial yang belum memadahi. Harus diakui bahwa dengan 36.443.953 orang, jumlah anggota koperasi dengan 530.830 orang karyawan dan dengan 36.615 orang manajer juga belum bisa menandingi jumlah perusahaan, jumlah karyawan, dan jumlah manajer dalam perusahaan yang dikelola swasta maupun pemerintah.
Suatu fakta yang tidak bisa dimungkiri bahwa kapasitas dan kemampuan karyawan dan manajer yang ada pada koperasi masih belum bisa disejajarkan dengan perusahaan swasta baik nasional bahkan internasional. Kelima, kurang dikenalnya keberadaan koperasi dalam masyarakat.
Harus diakui bahwa pemahaman koperasi sebagai gerakan ekonomi nasional pada tataran normatif memang tidak terbantahkan, namun pada tataran implementatif tidak banyak generasi muda mau serta bangga dalam proses bisnis koperasi tersebut. Generasi muda dan orang tua merasa minder dan belum merasa mendapat pekerjaan mana kala belum bekerja sebagaikaryawanperusahaan, perusahaan negara (BUMN), atau sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sehingga ungkapan the bigger is better lebih tepat bagi mereka jika dibandingkan dengan small is beatiful.
Keadaan keterhimpitan koperasi dalam arus global ini juga diperberat lagi dengan adanya ketidakkonsistensian lembaga pembuat UU dalam menyempurnakan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi dan diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2012 yang dalam perkembangannya secara mengagetkan seluruh muatan UU Nomor 17 Tahun 200012 telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 tanggal 28 Mei 2013.
Salah satu akibat dari pencabutan UU Koperasi versi tahun 2012 yang kemudian kembali pada UU koperasi versi 1992 ini adalah cukup banyaknya koperasi yang didirikan anggaran dasar (AD) berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2012 harus disesuaikan dengan UU Koperasi versi UU 25 Tahun 1992.
Dengan keadaan yang belum cukup kuat sebagai organ penggerakkesejahteraanmasyarakat, koperasi sebaiknya melakukan pemberdayaan di era global ini secara profesional, otonom, dan mandiri. Selain itu, kemampuan melakukan usaha sebagai mana layaknya badan usaha dengan mengoptimalkan potensi ekonomi nasional perlu lebih ditingkatkan.
Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana koperasi mampu meningkatkan kerja sama dengan seluruh pelaku ekonomi lainnya. Sebagai penutup tulisan ini, penulis ucapkan selamat berhari koperasi dengan harapan suatu saat koperasi di Indonesia dapat dijadikan basis atau prasyarat industrialisasi nasional di masa mendatang, atau setidaknya dapat menjadi alternatif penyelamat perekonomian nasional di kala kemiskinan melanda di Indonesia. Semoga!
(bbg)