Pembangunan Perikanan Menuju Poros Maritim Dunia
A
A
A
Salah satu program pembangunan utama Kabinet Kerja adalah menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) yakni sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim.
Selain itu, Indonesia juga kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam, sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance). Dalam jangka pendek-menengah (2015-2020), sektor-sektor ekonomi kelautan dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan internal sektornya masing-masing, dan secara simultan berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa.
Sebagai bagian integral dari ekonomi kelautan, ruang lingkup ekonomi dari sektor perikanan tidak hanya perikanan tangkap, tetapi juga perikanan budi daya, industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan serta industri dan jasa terkait. Selain illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing dan kerusakan lingkungan di beberapa wilayah pesisir dan laut, ada beberapa permasalahan yang lebih serius yang tengah dihadapi sektor perikanan.
Pertama, kemiskinan nelayan dan pembudi daya ikan. Kedua, rendahnya tingkat pemanfaatan potensi budi daya laut (mariculture), tambak, dan industri bioteknologi kelautan. Ketiga, rendahnya daya saing sektor ini menghadapi MEA dan rezim perdagangan bebas lainnya.
Sedangkan permasalahan kronis bangsa yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan kelompok kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang, gizi buruk, rendahnya pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan indeks pembangunan manusia (IPM).
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla bersama tim Kabinet Kerja dengan Nawacitanya bertekad untuk mengatasi sejumlah permasalahan di atas. Dan, bila pada akhir Oktober Indonesia berstatus sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan rata-rata GNP per kapita USD4.200, pada akhir 2019 ditargetkan naik kelas sebagai negara berpendapatan menengah-atas dengan GNP per kapita sekitar USD7.000.
Alih-alih, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I hanya 4,7%, terendah dalam enam tahun terakhir; nilai tukar rupiah turun drastis ke Rp13.400 per USD; IHSG juga turun signifikan; harga bahan pangan pokok melambung tinggi; daya beli masyarakat tergerus; dan pengangguran bertambah 400.000 orang.
Sebab itu, pembangunan sektor perikanan mestinya ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, daya saing, dan kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, serta masyarakat lainnya secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sayangnya, gebrakan pemerintah dalam delapan bulan ini justru telah mengakibatkan mayoritas industri pengolahan perikanan gulung tikar, pengangguran ratusan ribu nelayan, pembudi daya, karyawan pabrik, dan membuat iklim investasi sangat menakutkan. Dengan dalih untuk menegakkan kedaulatan dan memelihara kelestarian lingkungan.
Padahal, banyak teknik manajemen perikanan yang dapat mengawinkan antara tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan kesejahteraan dengan kepentingan memperkokoh kedaulatan dan konservasi lingkungan.
Jalan Keluar
Kita seluruh komponen bangsa mendukung upaya pemerintah untuk menumpas IUU fishing dan mafia perikanan sampai akar-akarnya. Namun, tidak bijaksana bila upaya tersebut melumpuhkan ekonomi dan bisnis perikanan. Harusnya yang dibabat habis itu yang jahat dan tidak bisa diperbaiki.
Pengusaha, nelayan, pembudi daya, dan industriawan, serta pedagang perikanan yang baik atau sedikit nakal mestinya justru lebih dibesarkan dan dibina. Mulai sekarang kita harus merevitalisasi seluruh unit usaha (bisnis) perikanan yang ada dengan cara meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan (sustainability)- nya melalui aplikasi iptek dan manajemen yang tepat.
Secara simultan, kita buka usaha perikanan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan lautan yang belum tersentuh pembangunan; dan kita kembangkan usaha dan ekonomi perikanan baru seperti budi daya di laut lepas (offshore mariculture), budi daya tambak dengan produktivitas tinggi dan ramah lingkungan (seperti BUSMITEK, probiotik, danbioflock), industri pengolahan dan pengemasan produk perikanan yang tanpa limbah dan berdaya saing tinggi, dan industri bioteknologi kelautan.
Ke depan setiap unit usaha perikanan harus memenuhi skala ekonominya supaya keuntungan (pendapatan)-nya bisa menyejahterakan pelaku usaha, khususnya nelayan dan pembudi daya yakni minimal Rp4 juta/orang/bulan. Selain itu, usaha perikanan juga mesti menerapkan pendekatan sistem rantai suplai terpadu yakni produksi-pengolahan (pascapanen)- pasar dengan aplikasi teknologi mutakhir pada setiap mata rantai suplai.
Yang tidak kalah penting, semua usaha perikanan harus bersifat ramah lingkungan dan inklusif guna menjamin kelestarian sumber daya dan keadilan sosial. Pemerintah wajib menyediakan infrastruktur (seperti pelabuhan perikanan, jaringan irigasi tambak, listrik, telkom, jalan, dan air bersih) yang berkualitas dan mencukupi.
Demikian halnya dengan sarana produksi perikanan (seperti alat tangkap, bahan bakar minyak (BBM), atau energi terbarukan, benih, pakan, dan perbekalan melaut) yang berkualitas, relatif murah, dan mencukupi. Pemerintah bekerja sama dengan swasta atau melalui BUMN juga harus menjamin pasar komoditas perikanan dari hasil tangkapan nelayan maupun pembudi daya, dengan harga sesuai nilai keekonomiannya.
Visi mulia Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan bidang kelautan sebagai primemover perekonomian bangsa menuju Indonesia sebagai PMD harus pula didukung dengan dana APBN dan perbankan yang mencukupi.
Selain itu, karena ekonomi kelautan ini merupakan frontier industry, perlu disediakan skim kredit khusus seperti kredit likuiditas (policy banking) yang telah sukses mendukung ekonomi dan industri sawit dan tekstil di masa Orde Baru sampai sekarang.
Mengembangkan Potensi
Sebagai ilustrasi betapa besarnya potensiekonomisektor perikanan adalah industri bioteknologi kelautan, yang menurut Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel (2002) nilai ekonominya sekitar empat kali lipat industri teknologi informasi, yang meliputi:
(1) ekstraksi senyawa bioaktif (natural products) dari biota laut untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, serta puluhan jenis industri lain; (2) perbaikan genetik untuk menghasilkan induk dan benih unggul; dan (3) bioremediasi.
Lalu, bila kita mampu mengusahakan 600.000 ha tambak (27% dari total luas lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk budi daya udang dan rumput laut) dengan alokasi: untuk budi daya udang Vanammei intensif seluas 200.000 ha, untuk budi daya Vanammei semi-intensif 100.000 ha; dan untuk budi daya udang windu semi-intensif 200.000 ha, dan 100.000 ha untuk budi daya rumput laut Gracillaria spp.
Maka itu, pendapatan kotor (besarnya perputaran ekonomi wilayah) yang dihasilkan sekitar USD70 miliar (Rp910 triliun, hampir separuh APBN 2015), dan tenaga kerja yang terserap mencapai sembilan juta orang. Belum lagi kalau kita mampu mengembangkan usaha mariculture yang potensi produksinya sekitar 45 juta ton/tahun dan hingga kini baru diproduksi sekitar 15%- nya.
Untuk perikanan tangkap, kita kembangkan sedikitnya 5.000 unit kapal ikan nasional berukuran di atas 100 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia dan Pasifik.
Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing seperti perairan Pantura dan perairan pantai lainnya harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayahwilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (oceangoing fisheries).
Nelayan tradisional yang sebagian besar masih miskin harus ditingkatkan kapasitas dan etos kerjanya sehingga pendapatannya minimal Rp4 juta)/nelayan/bulan. Angka ini berasal dari USD2/ orang/hari (garis kemiskinan versi Bank Dunia) dikalikan dengan lima orang (rata-rata ukuran keluarga nelayan) dan dikalikan dengan 30 hari dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp13.000.
Dengan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan( sustainable fisheries development) yang mengharmoniskan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan proteksi lingkungan seperti itu.
Maka itu, sektor perikanan tidak hanya akan mampu berkontribusi signifikan dalam mengatasi permasalahan kekinian bangsa seperti pengangguran, kemiskinan, dan gizi buruk, tetapi juga bagi terwujudnya Indonesia sebagai PMD pada 2025.
PROF DR IR Rokhmin Dahuri MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Selain itu, Indonesia juga kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam, sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance). Dalam jangka pendek-menengah (2015-2020), sektor-sektor ekonomi kelautan dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan internal sektornya masing-masing, dan secara simultan berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa.
Sebagai bagian integral dari ekonomi kelautan, ruang lingkup ekonomi dari sektor perikanan tidak hanya perikanan tangkap, tetapi juga perikanan budi daya, industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan serta industri dan jasa terkait. Selain illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing dan kerusakan lingkungan di beberapa wilayah pesisir dan laut, ada beberapa permasalahan yang lebih serius yang tengah dihadapi sektor perikanan.
Pertama, kemiskinan nelayan dan pembudi daya ikan. Kedua, rendahnya tingkat pemanfaatan potensi budi daya laut (mariculture), tambak, dan industri bioteknologi kelautan. Ketiga, rendahnya daya saing sektor ini menghadapi MEA dan rezim perdagangan bebas lainnya.
Sedangkan permasalahan kronis bangsa yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan kelompok kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas pembangunan antarwilayah yang sangat timpang, gizi buruk, rendahnya pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan indeks pembangunan manusia (IPM).
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla bersama tim Kabinet Kerja dengan Nawacitanya bertekad untuk mengatasi sejumlah permasalahan di atas. Dan, bila pada akhir Oktober Indonesia berstatus sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan rata-rata GNP per kapita USD4.200, pada akhir 2019 ditargetkan naik kelas sebagai negara berpendapatan menengah-atas dengan GNP per kapita sekitar USD7.000.
Alih-alih, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I hanya 4,7%, terendah dalam enam tahun terakhir; nilai tukar rupiah turun drastis ke Rp13.400 per USD; IHSG juga turun signifikan; harga bahan pangan pokok melambung tinggi; daya beli masyarakat tergerus; dan pengangguran bertambah 400.000 orang.
Sebab itu, pembangunan sektor perikanan mestinya ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, daya saing, dan kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, serta masyarakat lainnya secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sayangnya, gebrakan pemerintah dalam delapan bulan ini justru telah mengakibatkan mayoritas industri pengolahan perikanan gulung tikar, pengangguran ratusan ribu nelayan, pembudi daya, karyawan pabrik, dan membuat iklim investasi sangat menakutkan. Dengan dalih untuk menegakkan kedaulatan dan memelihara kelestarian lingkungan.
Padahal, banyak teknik manajemen perikanan yang dapat mengawinkan antara tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan kesejahteraan dengan kepentingan memperkokoh kedaulatan dan konservasi lingkungan.
Jalan Keluar
Kita seluruh komponen bangsa mendukung upaya pemerintah untuk menumpas IUU fishing dan mafia perikanan sampai akar-akarnya. Namun, tidak bijaksana bila upaya tersebut melumpuhkan ekonomi dan bisnis perikanan. Harusnya yang dibabat habis itu yang jahat dan tidak bisa diperbaiki.
Pengusaha, nelayan, pembudi daya, dan industriawan, serta pedagang perikanan yang baik atau sedikit nakal mestinya justru lebih dibesarkan dan dibina. Mulai sekarang kita harus merevitalisasi seluruh unit usaha (bisnis) perikanan yang ada dengan cara meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan (sustainability)- nya melalui aplikasi iptek dan manajemen yang tepat.
Secara simultan, kita buka usaha perikanan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan lautan yang belum tersentuh pembangunan; dan kita kembangkan usaha dan ekonomi perikanan baru seperti budi daya di laut lepas (offshore mariculture), budi daya tambak dengan produktivitas tinggi dan ramah lingkungan (seperti BUSMITEK, probiotik, danbioflock), industri pengolahan dan pengemasan produk perikanan yang tanpa limbah dan berdaya saing tinggi, dan industri bioteknologi kelautan.
Ke depan setiap unit usaha perikanan harus memenuhi skala ekonominya supaya keuntungan (pendapatan)-nya bisa menyejahterakan pelaku usaha, khususnya nelayan dan pembudi daya yakni minimal Rp4 juta/orang/bulan. Selain itu, usaha perikanan juga mesti menerapkan pendekatan sistem rantai suplai terpadu yakni produksi-pengolahan (pascapanen)- pasar dengan aplikasi teknologi mutakhir pada setiap mata rantai suplai.
Yang tidak kalah penting, semua usaha perikanan harus bersifat ramah lingkungan dan inklusif guna menjamin kelestarian sumber daya dan keadilan sosial. Pemerintah wajib menyediakan infrastruktur (seperti pelabuhan perikanan, jaringan irigasi tambak, listrik, telkom, jalan, dan air bersih) yang berkualitas dan mencukupi.
Demikian halnya dengan sarana produksi perikanan (seperti alat tangkap, bahan bakar minyak (BBM), atau energi terbarukan, benih, pakan, dan perbekalan melaut) yang berkualitas, relatif murah, dan mencukupi. Pemerintah bekerja sama dengan swasta atau melalui BUMN juga harus menjamin pasar komoditas perikanan dari hasil tangkapan nelayan maupun pembudi daya, dengan harga sesuai nilai keekonomiannya.
Visi mulia Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan bidang kelautan sebagai primemover perekonomian bangsa menuju Indonesia sebagai PMD harus pula didukung dengan dana APBN dan perbankan yang mencukupi.
Selain itu, karena ekonomi kelautan ini merupakan frontier industry, perlu disediakan skim kredit khusus seperti kredit likuiditas (policy banking) yang telah sukses mendukung ekonomi dan industri sawit dan tekstil di masa Orde Baru sampai sekarang.
Mengembangkan Potensi
Sebagai ilustrasi betapa besarnya potensiekonomisektor perikanan adalah industri bioteknologi kelautan, yang menurut Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel (2002) nilai ekonominya sekitar empat kali lipat industri teknologi informasi, yang meliputi:
(1) ekstraksi senyawa bioaktif (natural products) dari biota laut untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, serta puluhan jenis industri lain; (2) perbaikan genetik untuk menghasilkan induk dan benih unggul; dan (3) bioremediasi.
Lalu, bila kita mampu mengusahakan 600.000 ha tambak (27% dari total luas lahan pesisir Indonesia yang cocok untuk budi daya udang dan rumput laut) dengan alokasi: untuk budi daya udang Vanammei intensif seluas 200.000 ha, untuk budi daya Vanammei semi-intensif 100.000 ha; dan untuk budi daya udang windu semi-intensif 200.000 ha, dan 100.000 ha untuk budi daya rumput laut Gracillaria spp.
Maka itu, pendapatan kotor (besarnya perputaran ekonomi wilayah) yang dihasilkan sekitar USD70 miliar (Rp910 triliun, hampir separuh APBN 2015), dan tenaga kerja yang terserap mencapai sembilan juta orang. Belum lagi kalau kita mampu mengembangkan usaha mariculture yang potensi produksinya sekitar 45 juta ton/tahun dan hingga kini baru diproduksi sekitar 15%- nya.
Untuk perikanan tangkap, kita kembangkan sedikitnya 5.000 unit kapal ikan nasional berukuran di atas 100 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia dan Pasifik.
Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing seperti perairan Pantura dan perairan pantai lainnya harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayahwilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (oceangoing fisheries).
Nelayan tradisional yang sebagian besar masih miskin harus ditingkatkan kapasitas dan etos kerjanya sehingga pendapatannya minimal Rp4 juta)/nelayan/bulan. Angka ini berasal dari USD2/ orang/hari (garis kemiskinan versi Bank Dunia) dikalikan dengan lima orang (rata-rata ukuran keluarga nelayan) dan dikalikan dengan 30 hari dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp13.000.
Dengan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan( sustainable fisheries development) yang mengharmoniskan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan proteksi lingkungan seperti itu.
Maka itu, sektor perikanan tidak hanya akan mampu berkontribusi signifikan dalam mengatasi permasalahan kekinian bangsa seperti pengangguran, kemiskinan, dan gizi buruk, tetapi juga bagi terwujudnya Indonesia sebagai PMD pada 2025.
PROF DR IR Rokhmin Dahuri MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
(ftr)