Menanti Kiprah Kaum Muda
A
A
A
Kongres IV Partai Demokrat belum lama ini usai. Seperti diduga banyak kalangan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali memimpin Partai Demokrat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil Kongres Partai Demokrat semakin mengukuhkan dominasi politisi senior dalam panggung politik nasional. Itu berarti yang akan menentukan proses politik dalam Pemilu 2019 mendatang hampir pasti adalah politisi-politisi kawakan.
Seperti diketahui, panggung politik nasional saat ini masih didominasi kaum tua. Itu dapat diamati dari figur-figur politisi ternama yang memimpin partai masing-masing. Misalnya Megawati Soekarnoputri (PDIP), Aburizal Bakrie (Golkar), Wiranto (Hanura), Surya Paloh (Nasdem), Agung Laksono (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), Prabowo Subianto (Gerindra), Dzan Faridz (PPP), dan Yusril Ihza Mahendra (PBB).
Sementara kiprah kaum muda dalam panggung politik nasional direpresentasikan Muhaimin Iskandar (PKB), Anis Matta (PKS), dan Romahurmuzy (PPP). Kini juga muncul politisi muda yang masih segar dan dinamis seperti Hary Tanoesoedibjo (Persatuan Indonesia, Perindo) dan Grace Natalie (Partai Solidaritas Indonesia, PSI). Keduanya memimpin partai baru dan banyak mengakomodasi kaum muda semacam Ahmad Rofiq (sekjen Perindo) dan Raja Juli Antoni (sekjen PSI).
Realitas minimnya calon pemimpin dari kaum muda seharusnya menjadi perhatian elite partai politik, sebab salah satu fungsi partai politik adalah kaderisasi. Persoalan kaderisasi ini penting karena sangat terkait dengan masa depan kepemimpinan, baik level nasional maupun lokal. Tetapi jujur harus diakui, hampir semua partai politik tidak serius melakukan kaderisasi.
Bahkan ada partai politik tertentu yang hanya bekerja lima tahun sekali, yakni menjelang pemilu. Pada saat pemilu itulah, elite politik baru menyadari bahwa partainya tidak memiliki kader yang kompeten untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif atau kepala daerah. Di samping gagalnya kaderisasi, budaya ewuh pakewuh juga melanggengkan kekuasaan kaum tua.
Dampaknya, kiprah kaum muda dalam ranah politik selalu berada dalam bayang-bayang politisi senior. Padahal jika bangsa ini mau belajar pada sejarah, akan ditemukan fakta bahwa kiprah kaum muda dalam gerakan kebangsaan sungguh luar biasa. Kiprah kaum muda dalam sejarah pergerakan bermula dari pendirian Budi Utomo oleh Dokter Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter pada 20 Mei 1908.
Pendirian Budi Utomo sekaligus menjadi penanda kebangkitan nasional. Karena itu pada setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Kiprah kaum muda dalam sejarah pembangunan bangsa selanjutnya tampak dalam peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa (1966), dan reformasi (1998).
Sumbangsih kaum muda yang tergambar dalam beberapa peristiwa historis tersebut menunjukkan mereka sesungguhnya memiliki kultur keilmuan, keterampilan berorganisasi, dan jaringan yang hebat. Sangat disayangkan, kultur tersebut tenggelam dalam hiruk-pikuk politik sepanjang era reformasi. Bahkan, kita menyaksikan adanya penguatan interes politik di kalangan kaum muda.
Kaum muda saat ini tampak lebih menunjukkan minat di bidang politik. Keterlibatan kaum muda dalam politik menemukan momentum yang tepat seiring dengan kebijakan multipartai. Dinamika politik lokal juga memberikan ruang terbuka bagi kaum muda untuk berkiprah di jalur politik. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kini terjadi peningkatan ”syahwat politik” di kalangan kaum muda.
Peningkatan syahwat politik tidak hanya terjadi di daerah, melainkan juga dalam skala nasional. Sebagai konsekuensi adanya peningkatan syahwat politik kaum muda, kiprah dan perjuangan mereka banyak disalurkan melalui aktivitas politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian kaum muda tergoda dengan kehidupan politik yang dianggap lebih menjanjikan masa depan.
Akibatnya, kultur keilmuan dan daya kritis yang semestinya menjadi ruh perjuangan kaum muda terus tergerus. Yang terjadi kemudian adalah budaya loyal pada pimpinan partai. Peningkatan interes politik kaum muda juga memunculkan kultur mudah berpecah akibat perbedaan pilihan politik.
Perjuangan kaum muda pun tidak lagi didasarkan pada kepentingan jangka panjang, tetapi bertujuan pragmatis-jangka pendek. Pilihan sebagian kaum muda berkiprah melalui jalur politik mengakibatkan capaian perjuangan di ranah kultural tidak begitu tampak. Padahal kalau dipikirkan, wilayah perjuangan di bidang politik jelas terbatas dengan peminat yang sangat banyak.
Akibatnya, tidak semua orang memperoleh pembagian kue kekuasaan. Sementara perjuangan di ranah kultural memiliki area yang luas dengan peminat sangat sedikit. Sebagian kaum muda berpikiran bahwa berkiprah melalui jalur politik dapat memberikan harapan yang serba instan untuk meraih kekuasaan, kemapanan, status sosial, dan kecukupan materi.
Sementara berjuang melalui jalur kultural dianggap merupakan investasi jangka panjang yang melelahkan, penuh perjuangan, berpeluh keringat, dan hasilnya baru dapat dinikmati kemudian. Penting ditekankan bahwa kiprah kaum muda melalui jalur politik atau kultural sama-sama penting.
Bangsa ini pasti membutuhkan pribadi-pribadi hebat dari kaum muda yang idealis, dinamis, penuh dedikasi, sederhana, dan tahan godaan. Tetapi sangat disayangkan, realitas masih menunjukkan bahwa panggung politik nasional belum begitu bersahabat dengan kaum muda. Semua itu terjadi karena kaum tua masih menunjukkan ”syahwat politik” untuk berkuasa.
Dampaknya, kaum muda kurang memiliki keberanian untuk tampil. Dominasi kaum tua semakin terang-benderang seiring dengan selesainya muktamar, kongres, atau musyawarah nasional (munas) partai-partai politik.
Dalam permusyawaratan tertinggi partai politik itu, jelas sekali kiprah kaum muda belum terakomodasi dengan baik. Karena itu, jangan heran jika panggung politik nasional lima tahun mendatang akan tetap berada di bawah cengkeraman kaum tua. Padahal jika kita ingin serius menyiapkan pemimpin masa depan, saat inilah momentum yang tepat untuk memberikan panggung politik bagi kaum muda.
Untuk itu, politisi kaum tua harus berjiwa besar. Kaum tua harus legawa menyerahkan estafet kepemimpinan pada kaum muda. Itu penting agar lima tahun mendatang tidak terjadi gejala 4 L (lo lagi lo lagi ).
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil Kongres Partai Demokrat semakin mengukuhkan dominasi politisi senior dalam panggung politik nasional. Itu berarti yang akan menentukan proses politik dalam Pemilu 2019 mendatang hampir pasti adalah politisi-politisi kawakan.
Seperti diketahui, panggung politik nasional saat ini masih didominasi kaum tua. Itu dapat diamati dari figur-figur politisi ternama yang memimpin partai masing-masing. Misalnya Megawati Soekarnoputri (PDIP), Aburizal Bakrie (Golkar), Wiranto (Hanura), Surya Paloh (Nasdem), Agung Laksono (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), Prabowo Subianto (Gerindra), Dzan Faridz (PPP), dan Yusril Ihza Mahendra (PBB).
Sementara kiprah kaum muda dalam panggung politik nasional direpresentasikan Muhaimin Iskandar (PKB), Anis Matta (PKS), dan Romahurmuzy (PPP). Kini juga muncul politisi muda yang masih segar dan dinamis seperti Hary Tanoesoedibjo (Persatuan Indonesia, Perindo) dan Grace Natalie (Partai Solidaritas Indonesia, PSI). Keduanya memimpin partai baru dan banyak mengakomodasi kaum muda semacam Ahmad Rofiq (sekjen Perindo) dan Raja Juli Antoni (sekjen PSI).
Realitas minimnya calon pemimpin dari kaum muda seharusnya menjadi perhatian elite partai politik, sebab salah satu fungsi partai politik adalah kaderisasi. Persoalan kaderisasi ini penting karena sangat terkait dengan masa depan kepemimpinan, baik level nasional maupun lokal. Tetapi jujur harus diakui, hampir semua partai politik tidak serius melakukan kaderisasi.
Bahkan ada partai politik tertentu yang hanya bekerja lima tahun sekali, yakni menjelang pemilu. Pada saat pemilu itulah, elite politik baru menyadari bahwa partainya tidak memiliki kader yang kompeten untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif atau kepala daerah. Di samping gagalnya kaderisasi, budaya ewuh pakewuh juga melanggengkan kekuasaan kaum tua.
Dampaknya, kiprah kaum muda dalam ranah politik selalu berada dalam bayang-bayang politisi senior. Padahal jika bangsa ini mau belajar pada sejarah, akan ditemukan fakta bahwa kiprah kaum muda dalam gerakan kebangsaan sungguh luar biasa. Kiprah kaum muda dalam sejarah pergerakan bermula dari pendirian Budi Utomo oleh Dokter Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah dokter pada 20 Mei 1908.
Pendirian Budi Utomo sekaligus menjadi penanda kebangkitan nasional. Karena itu pada setiap 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Kiprah kaum muda dalam sejarah pembangunan bangsa selanjutnya tampak dalam peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), pergerakan mahasiswa (1966), dan reformasi (1998).
Sumbangsih kaum muda yang tergambar dalam beberapa peristiwa historis tersebut menunjukkan mereka sesungguhnya memiliki kultur keilmuan, keterampilan berorganisasi, dan jaringan yang hebat. Sangat disayangkan, kultur tersebut tenggelam dalam hiruk-pikuk politik sepanjang era reformasi. Bahkan, kita menyaksikan adanya penguatan interes politik di kalangan kaum muda.
Kaum muda saat ini tampak lebih menunjukkan minat di bidang politik. Keterlibatan kaum muda dalam politik menemukan momentum yang tepat seiring dengan kebijakan multipartai. Dinamika politik lokal juga memberikan ruang terbuka bagi kaum muda untuk berkiprah di jalur politik. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kini terjadi peningkatan ”syahwat politik” di kalangan kaum muda.
Peningkatan syahwat politik tidak hanya terjadi di daerah, melainkan juga dalam skala nasional. Sebagai konsekuensi adanya peningkatan syahwat politik kaum muda, kiprah dan perjuangan mereka banyak disalurkan melalui aktivitas politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian kaum muda tergoda dengan kehidupan politik yang dianggap lebih menjanjikan masa depan.
Akibatnya, kultur keilmuan dan daya kritis yang semestinya menjadi ruh perjuangan kaum muda terus tergerus. Yang terjadi kemudian adalah budaya loyal pada pimpinan partai. Peningkatan interes politik kaum muda juga memunculkan kultur mudah berpecah akibat perbedaan pilihan politik.
Perjuangan kaum muda pun tidak lagi didasarkan pada kepentingan jangka panjang, tetapi bertujuan pragmatis-jangka pendek. Pilihan sebagian kaum muda berkiprah melalui jalur politik mengakibatkan capaian perjuangan di ranah kultural tidak begitu tampak. Padahal kalau dipikirkan, wilayah perjuangan di bidang politik jelas terbatas dengan peminat yang sangat banyak.
Akibatnya, tidak semua orang memperoleh pembagian kue kekuasaan. Sementara perjuangan di ranah kultural memiliki area yang luas dengan peminat sangat sedikit. Sebagian kaum muda berpikiran bahwa berkiprah melalui jalur politik dapat memberikan harapan yang serba instan untuk meraih kekuasaan, kemapanan, status sosial, dan kecukupan materi.
Sementara berjuang melalui jalur kultural dianggap merupakan investasi jangka panjang yang melelahkan, penuh perjuangan, berpeluh keringat, dan hasilnya baru dapat dinikmati kemudian. Penting ditekankan bahwa kiprah kaum muda melalui jalur politik atau kultural sama-sama penting.
Bangsa ini pasti membutuhkan pribadi-pribadi hebat dari kaum muda yang idealis, dinamis, penuh dedikasi, sederhana, dan tahan godaan. Tetapi sangat disayangkan, realitas masih menunjukkan bahwa panggung politik nasional belum begitu bersahabat dengan kaum muda. Semua itu terjadi karena kaum tua masih menunjukkan ”syahwat politik” untuk berkuasa.
Dampaknya, kaum muda kurang memiliki keberanian untuk tampil. Dominasi kaum tua semakin terang-benderang seiring dengan selesainya muktamar, kongres, atau musyawarah nasional (munas) partai-partai politik.
Dalam permusyawaratan tertinggi partai politik itu, jelas sekali kiprah kaum muda belum terakomodasi dengan baik. Karena itu, jangan heran jika panggung politik nasional lima tahun mendatang akan tetap berada di bawah cengkeraman kaum tua. Padahal jika kita ingin serius menyiapkan pemimpin masa depan, saat inilah momentum yang tepat untuk memberikan panggung politik bagi kaum muda.
Untuk itu, politisi kaum tua harus berjiwa besar. Kaum tua harus legawa menyerahkan estafet kepemimpinan pada kaum muda. Itu penting agar lima tahun mendatang tidak terjadi gejala 4 L (lo lagi lo lagi ).
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
(ftr)