Menimbang Kabinet Kerja
A
A
A
Namanya saja Kabinet Kerja. Jadi yang mesti ditonjolkan adalah hasil kerjanya untuk menyejahterakan rakyat. Tapi beberapa pengamat menilai daya beli masyarakat kian turun dan sektor ekonomi di berbagai bidang juga tidak membaik.
Mengapa? Ada yang mengatakan karena koordinasi tidak berjalan bagus. Bisa jadi karena hambatan struktur yang tidak pas, orang-orangnya yang kurang kapabel, atau pengaruh luar yang menghambat. Luar itu bisa saja pengaruh luar negeri atau kekuatan partai politik (parpol) yang tidak menempatkan kader terbaiknya duduk di kabinet.
Atau memang kalangan parpol mengalami defisit kader teknokrat yang bisa diandalkan duduk dalam jajaran kabinet. Apa pun kritik yang dimunculkan, umur kabinet yang belum berjalan setahun memang masih bisa dimaklumi dan rakyat masih sabar menanti untuk menunggu realisasi agenda dan jargon Kabinet Kerja. Meski begitu pemahaman dan kesabaran masyarakat terbatas.
Rakyat segera ingin merasakan buah manis dari hasil pemilu yang lalu. Ongkos material dan sosial sudah banyak terkuras untuk menghasilkan kabinet ini. Kebutuhan sehari- hari yang dirasakan kian mahal akan mengubur kenangan dan harapan indah saat-saat pemilu lalu terhadap jagonya. Para menteri yang memikul beban parpol akan menjatuhkan kredibilitas parpol yang mengusungnya jika kinerjanya tidak bagus dan tidak produktif.
Dengan dalih memenangi pemilu dengan formula 50+1, maka the winner takes all. Tapi orang mempertanyakan, dengan demokrasi dan pemilu itu, yang mau diposisikan sebagai pemenang apakah rakyat atau sebatas koalisi parpol pendukung? Jika rakyat dan kepentingan umum yang diutamakan, kabinet bukanlah pembagian jatah bagi para kader dan wakil parpol, melainkan kompetensi yang mesti ditonjolkan.
Sekiranya parpol tidak punya kader yang memenuhi syarat, ambil saja putra bangsa yang baik dan tepat dari mana pun asalnya mengingat misi dan tugas mulia parpol ikut pemilu adalah untuk menyejahterakan rakyat. Kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan parpol.
Mungkin saja itu yang dimaksudkan dengan kabinet gotong-royong, yaitu kabinet produk demokrasi tetapi tetap memberikan ruang bagi putra bangsa terbaik untuk ikut mengatur negara meskipun bukan dari lingkaran parpol pemenang pemilu selama yang dimajukan semata demi kemajuan dan kebaikan negara dan rakyat.
Substansi dan fungsi demokrasi adalah untuk menjaring putra bangsa terbaik demi kesejahteraan rakyat yang dijaring lewat parpol. Jangan dibalik, kepentingan dan selera parpol mengalahkan kepentingan rakyat dengan merusak substansi demokrasi hanya dengan menyandarkan suara terbanyak yang itu pun bisa dibeli dengan uang.
Demikianlah, kualitas demokrasi bisa rusak ketika tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat rendah. Ini juga terlihat pada hasil pilkada yang mayoritas mengecewakan. Kini salah satu tugas Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah mengembalikan kepercayaan kita pada sistem demokrasi yang telah menjadi pilihan kita bagi masyarakat yang sangat majemuk ini.
Kembali pada Kabinet Kerja yang hasil kerjanya masih mengecewakan. Sebagai presiden yang mengemban tanggung jawab tertinggi, Joko Widodo saya kira juga kecewa dengan beberapa menteri yang disodorkan parpol pendukungnya. Dia sejak awal mungkin sekali tidak setuju, tetapi tidak berdaya menolaknya. Dan ternyata kinerjanya tidak memuaskan rakyat.
Kini saatnya untuk berbicara dengan parpol asalnya, apakah akan terus dipertahankan meski rakyat kecewa atau siap-siap mencari penggantinya. Kalaupun diganti mungkin tidak sekarang mengingat umur kabinet belum setahun. Meski begitu baik Presiden maupun parpol koalisinya mesti bersiap-siap ketika pergantian beberapa sosok menteri harus dilakukan.
Janganlah kepentingan rakyat, negara, dan citra demokrasi dikorbankan hanya karena alasan bagi-bagi jatah jabatan politik. Sekali lagi, parpol dan pemilu itu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas dan alasan keberadaannya, bukan sebaliknya.
Di sini Presiden Jokowi diuji sikap dan komitmennya sebagai kepala negara yang majikannya adalah rakyat. Parpol hanyalah mengantarkan dirinya sebagai presiden dengan mandat melayani dan menyejahterakan rakyat, bukan parpol.
Saya bukan antiparpol, tetapi tidak setuju jika demokrasi dan pemilu itu ujungnya hanya bagi-bagi jabatan dengan mengorbankan kompetensi dan keberpihakan total pada kepentingan rakyat banyak.
Prof DR Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
Mengapa? Ada yang mengatakan karena koordinasi tidak berjalan bagus. Bisa jadi karena hambatan struktur yang tidak pas, orang-orangnya yang kurang kapabel, atau pengaruh luar yang menghambat. Luar itu bisa saja pengaruh luar negeri atau kekuatan partai politik (parpol) yang tidak menempatkan kader terbaiknya duduk di kabinet.
Atau memang kalangan parpol mengalami defisit kader teknokrat yang bisa diandalkan duduk dalam jajaran kabinet. Apa pun kritik yang dimunculkan, umur kabinet yang belum berjalan setahun memang masih bisa dimaklumi dan rakyat masih sabar menanti untuk menunggu realisasi agenda dan jargon Kabinet Kerja. Meski begitu pemahaman dan kesabaran masyarakat terbatas.
Rakyat segera ingin merasakan buah manis dari hasil pemilu yang lalu. Ongkos material dan sosial sudah banyak terkuras untuk menghasilkan kabinet ini. Kebutuhan sehari- hari yang dirasakan kian mahal akan mengubur kenangan dan harapan indah saat-saat pemilu lalu terhadap jagonya. Para menteri yang memikul beban parpol akan menjatuhkan kredibilitas parpol yang mengusungnya jika kinerjanya tidak bagus dan tidak produktif.
Dengan dalih memenangi pemilu dengan formula 50+1, maka the winner takes all. Tapi orang mempertanyakan, dengan demokrasi dan pemilu itu, yang mau diposisikan sebagai pemenang apakah rakyat atau sebatas koalisi parpol pendukung? Jika rakyat dan kepentingan umum yang diutamakan, kabinet bukanlah pembagian jatah bagi para kader dan wakil parpol, melainkan kompetensi yang mesti ditonjolkan.
Sekiranya parpol tidak punya kader yang memenuhi syarat, ambil saja putra bangsa yang baik dan tepat dari mana pun asalnya mengingat misi dan tugas mulia parpol ikut pemilu adalah untuk menyejahterakan rakyat. Kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan parpol.
Mungkin saja itu yang dimaksudkan dengan kabinet gotong-royong, yaitu kabinet produk demokrasi tetapi tetap memberikan ruang bagi putra bangsa terbaik untuk ikut mengatur negara meskipun bukan dari lingkaran parpol pemenang pemilu selama yang dimajukan semata demi kemajuan dan kebaikan negara dan rakyat.
Substansi dan fungsi demokrasi adalah untuk menjaring putra bangsa terbaik demi kesejahteraan rakyat yang dijaring lewat parpol. Jangan dibalik, kepentingan dan selera parpol mengalahkan kepentingan rakyat dengan merusak substansi demokrasi hanya dengan menyandarkan suara terbanyak yang itu pun bisa dibeli dengan uang.
Demikianlah, kualitas demokrasi bisa rusak ketika tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat rendah. Ini juga terlihat pada hasil pilkada yang mayoritas mengecewakan. Kini salah satu tugas Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah mengembalikan kepercayaan kita pada sistem demokrasi yang telah menjadi pilihan kita bagi masyarakat yang sangat majemuk ini.
Kembali pada Kabinet Kerja yang hasil kerjanya masih mengecewakan. Sebagai presiden yang mengemban tanggung jawab tertinggi, Joko Widodo saya kira juga kecewa dengan beberapa menteri yang disodorkan parpol pendukungnya. Dia sejak awal mungkin sekali tidak setuju, tetapi tidak berdaya menolaknya. Dan ternyata kinerjanya tidak memuaskan rakyat.
Kini saatnya untuk berbicara dengan parpol asalnya, apakah akan terus dipertahankan meski rakyat kecewa atau siap-siap mencari penggantinya. Kalaupun diganti mungkin tidak sekarang mengingat umur kabinet belum setahun. Meski begitu baik Presiden maupun parpol koalisinya mesti bersiap-siap ketika pergantian beberapa sosok menteri harus dilakukan.
Janganlah kepentingan rakyat, negara, dan citra demokrasi dikorbankan hanya karena alasan bagi-bagi jatah jabatan politik. Sekali lagi, parpol dan pemilu itu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas dan alasan keberadaannya, bukan sebaliknya.
Di sini Presiden Jokowi diuji sikap dan komitmennya sebagai kepala negara yang majikannya adalah rakyat. Parpol hanyalah mengantarkan dirinya sebagai presiden dengan mandat melayani dan menyejahterakan rakyat, bukan parpol.
Saya bukan antiparpol, tetapi tidak setuju jika demokrasi dan pemilu itu ujungnya hanya bagi-bagi jabatan dengan mengorbankan kompetensi dan keberpihakan total pada kepentingan rakyat banyak.
Prof DR Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
(bhr)