Dunia Harus Didorong Tolak Aneksasi Tepi Barat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Arus penolakan atas rencana aneksasi Tepi Barat, Palestina oleh Israel terus mengalir di Tanah Air. Sejumlah kalangan masih terus menyuarakan penolakan ini. Bahkan, mereka mendorong dunia pun ikut bersikap dan mendukung penolakan ini.
Adara Relief International bersama dengan AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), FISIP UMJ, dan ISOIC (Indonesian Society for Organization of Islamic Coperation) salah satunya yang terus menyuarakan penolakan aneksasi ini.
Melalui seminar daring “Tolak Perampasan Tepi Barat oleh Zionis”, mereka mendorong dunia ikut serta menyatakan penolakannya. Acara yang dimoderatori oleh Mohammad Noer selaku ketua AIPI Jakarta diisi oleh enam pembicara yang memiliki kepedulian terhadap Palestina. (Baca juga: Kemlu: Aneksasi Palestina oleh Israel Langgar Hukum Internasional)
Ketua Adara Relief International Nurjanah Hulwani mengungkapkan soal fakta-fakta kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di Tepi Barat. Kondisi ini, kata dia, telah berlangsung lama dan banyak memakan korban termasuk anak-anak dan perempuan yang dilindungi oleh hukum international.
“Penangkapan warga Palestina tanpa alasan, pengusiran mereka dari rumah mereka, penghancuran rumah, pemukiman ilegal, penembakan, perusakan fasilitas sosial, dan kejahatan lain yang tak terhitung namun terekam dalam sejarah,” katanya dalam keterangan resminya, Minggu (12/7/2020).
Pengurus Pusat AIPI sekaligus peneliti utama LIPI M Hamdan Basyar menjabarkan mengenai sejarah perampasan Palestina dan ide two state solution sebagai hasil Perjanjian Oslo yang diabaikan oleh Netanyahu. “Walau pengumuman aneksasi ditunda, namun kita harus tetap berhati-hati karena ide perampasan ini selalu ada. Dunia harus menolaknya, tidak hanya di Tepi Barat, tetapi juga di seluruh wilayah Palestina ataupun belahan bumi lainnya,” katanya.
Hal senada juga disampaikan mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB Makarim Wibisono yang membuka paparannya dengan mengatakan bahwa bangsa Palestina begitu menderita terhadap perlakuan Israel. Dia merasa heran mengapa dunia seolah membiarkan kejahatan Israel terus terjadi.
Indonesia harus terus melakukan manuver diplomasi ke pihak-pihak yang berwenang dan memiliki peran besar dalam hal ini seperti PBB, Turki, negara-negara OKI, dan Liga Arab agar bersatu untuk menolak aneksasi. “Diimbau kepada masyarakat internasional untuk menolak Jerusalem Law yang disepakati pada tahun 1980 yang berisi ‘creeping annexation’ atau perampasan pelan-pelan tetapi pasti, yang akan menghambat perdamaian Palestina-Israel secara tuntas,” katanya.
Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ Asep Setiawan menyatakan bahwa rencana aneksasi ini merupakan rencana jangka panjang yang telah direncakan sejak lama. Rencana aneksasi lembah Yordan ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan internasional secara de facto.
Dosen yang pernah menjadi jurnalis di wilayah Timur Tengah ini menyatakan bahwa dukungan AS sangat kuat pada Israel, sementara dukungan negara-negara Arab dan dukungan internasional secara umum kepada Palestina sangat lemah. Jika aneksasi ini berhasil, maka menurutnya tidak hanya Palestina, tetapi dunia internasional dipermalukan karena masih membiarkan penjajahan di atas bumi ini. “Perilaku Israel merupakan ancaman perdamaian di dunia internasional dan sangat merugikan Palestina,” katanya.
Mantan Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur menyoroti tentang kecenderungan keputusan sepihak (unilateral) terhadap isu Palestina ini. Contohnya adalah Deal of Century, yang akan melegalisasi semua pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan menjadikan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Hal ini mendapat penolakan tegas dari Pemerintah Palestina, Liga Arab, dan negara-negara yang tergabung dalam OKI pada sidangnya bulan Februari 2020 lalu. “Pemerintah Indonesia pada bulan Mei 2020 melalui Menlu RI pun telah mengeluarkan kecaman keras dan menegaskan bahwa rencana aneksasi tersebut ilegal dan bertentangan dengan resolusi PBB serta hukum internasional,” katanya.
Para pembicara menengarai bahwa dibatalkannya pengumuman aneksasi pada 1 Juli 2020 memiliki keterkaitan dengan pemilu AS yang akan digelar pada November 2020, dan belum adanya kesepakatan antara PM Netanyahu dan Jenderal Gantz terkait rencana aneksasi.
Selain itu juga adanya sinyal keputusan Pengadilan Kriminal Internasional /International Criminal Court untuk membuka penyelidikan terhadap Israel atas tuduhan kejahatan perang yang dilakukan di wilayah Palestina, yaitu di Tepi Barat dan Gaza.
Adara Relief International bersama dengan AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), FISIP UMJ, dan ISOIC (Indonesian Society for Organization of Islamic Coperation) salah satunya yang terus menyuarakan penolakan aneksasi ini.
Melalui seminar daring “Tolak Perampasan Tepi Barat oleh Zionis”, mereka mendorong dunia ikut serta menyatakan penolakannya. Acara yang dimoderatori oleh Mohammad Noer selaku ketua AIPI Jakarta diisi oleh enam pembicara yang memiliki kepedulian terhadap Palestina. (Baca juga: Kemlu: Aneksasi Palestina oleh Israel Langgar Hukum Internasional)
Ketua Adara Relief International Nurjanah Hulwani mengungkapkan soal fakta-fakta kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel di Tepi Barat. Kondisi ini, kata dia, telah berlangsung lama dan banyak memakan korban termasuk anak-anak dan perempuan yang dilindungi oleh hukum international.
“Penangkapan warga Palestina tanpa alasan, pengusiran mereka dari rumah mereka, penghancuran rumah, pemukiman ilegal, penembakan, perusakan fasilitas sosial, dan kejahatan lain yang tak terhitung namun terekam dalam sejarah,” katanya dalam keterangan resminya, Minggu (12/7/2020).
Pengurus Pusat AIPI sekaligus peneliti utama LIPI M Hamdan Basyar menjabarkan mengenai sejarah perampasan Palestina dan ide two state solution sebagai hasil Perjanjian Oslo yang diabaikan oleh Netanyahu. “Walau pengumuman aneksasi ditunda, namun kita harus tetap berhati-hati karena ide perampasan ini selalu ada. Dunia harus menolaknya, tidak hanya di Tepi Barat, tetapi juga di seluruh wilayah Palestina ataupun belahan bumi lainnya,” katanya.
Hal senada juga disampaikan mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB Makarim Wibisono yang membuka paparannya dengan mengatakan bahwa bangsa Palestina begitu menderita terhadap perlakuan Israel. Dia merasa heran mengapa dunia seolah membiarkan kejahatan Israel terus terjadi.
Indonesia harus terus melakukan manuver diplomasi ke pihak-pihak yang berwenang dan memiliki peran besar dalam hal ini seperti PBB, Turki, negara-negara OKI, dan Liga Arab agar bersatu untuk menolak aneksasi. “Diimbau kepada masyarakat internasional untuk menolak Jerusalem Law yang disepakati pada tahun 1980 yang berisi ‘creeping annexation’ atau perampasan pelan-pelan tetapi pasti, yang akan menghambat perdamaian Palestina-Israel secara tuntas,” katanya.
Dosen Ilmu Politik FISIP UMJ Asep Setiawan menyatakan bahwa rencana aneksasi ini merupakan rencana jangka panjang yang telah direncakan sejak lama. Rencana aneksasi lembah Yordan ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan internasional secara de facto.
Dosen yang pernah menjadi jurnalis di wilayah Timur Tengah ini menyatakan bahwa dukungan AS sangat kuat pada Israel, sementara dukungan negara-negara Arab dan dukungan internasional secara umum kepada Palestina sangat lemah. Jika aneksasi ini berhasil, maka menurutnya tidak hanya Palestina, tetapi dunia internasional dipermalukan karena masih membiarkan penjajahan di atas bumi ini. “Perilaku Israel merupakan ancaman perdamaian di dunia internasional dan sangat merugikan Palestina,” katanya.
Mantan Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Arab Saudi Gatot Abdullah Mansyur menyoroti tentang kecenderungan keputusan sepihak (unilateral) terhadap isu Palestina ini. Contohnya adalah Deal of Century, yang akan melegalisasi semua pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan menjadikan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Hal ini mendapat penolakan tegas dari Pemerintah Palestina, Liga Arab, dan negara-negara yang tergabung dalam OKI pada sidangnya bulan Februari 2020 lalu. “Pemerintah Indonesia pada bulan Mei 2020 melalui Menlu RI pun telah mengeluarkan kecaman keras dan menegaskan bahwa rencana aneksasi tersebut ilegal dan bertentangan dengan resolusi PBB serta hukum internasional,” katanya.
Para pembicara menengarai bahwa dibatalkannya pengumuman aneksasi pada 1 Juli 2020 memiliki keterkaitan dengan pemilu AS yang akan digelar pada November 2020, dan belum adanya kesepakatan antara PM Netanyahu dan Jenderal Gantz terkait rencana aneksasi.
Selain itu juga adanya sinyal keputusan Pengadilan Kriminal Internasional /International Criminal Court untuk membuka penyelidikan terhadap Israel atas tuduhan kejahatan perang yang dilakukan di wilayah Palestina, yaitu di Tepi Barat dan Gaza.
(nbs)