Urgensi Mengelola Sampah Plastik
loading...
A
A
A
SAMPAH plastik masih menjadi salah satu permasalahan terbesar dalam pengelolaan lingkungan akhir-akhir ini. Bahan plastik yang ada pada kemasan produk makanan atau minuman, disadari telah menyebabkan pencemaran luar biasa di alam ini.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton, di mana 17%-nya adalah sampah plastik. Persentase sebesar itu setara dengan 11,6 juta ton. Sementara sampah terbanyak yang dihasilkan di dalam negeri didominasi oleh sisa makanan dengan komposisi sebesar 40%.
Baca Juga: koran-sindo.com
Pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No 75 Tahun 2019 tentang peta jalan mendorong produsen dan pelaku usaha diwajibkan mengurangi penggunaan plastik. Namun di tataran konsumen, tata laksana pengendalian plastik ini masih jauh dari harapan.
Dari sisi fiskal, upaya mengurangi dampak dari sampah plastik juga mulai diupayakan. Tahun depan, Kementerian Keuangan merencanakan bakal menerapkan cukai untuk minuman berpemanis dan plastik. Sebagai penerapan cukai pada umumnya, kebijakan ini diambil dalam rangka mengurangi dan mengendalikan konsumsi bahan atau barang yang dianggap tidak baik bagi kesehatan dan lingkungan.
Rencana pengenaan cukai plastik ini sudah barang tentu mempertimbangkan banyak hal. Termasuk di dalamnya soal lingkungan dan sisi ekonominya. Jika kebijakan cukai ini diterapkan, tidak mustahil ini akan mengerek harga-harga produk di pasaran karena seperti cukai-cukai lainnya, produsen akan membebankan kepada konsumen.
Plastik termasuk sampah yang sulit diuraikan. Bahkan, sebuah kantong plastik disebut-sebut baru bisa terurai antara 10-500 tahun. Adapun kemasan sachet membutuhkan sekitar 50 - 80 tahun supaya bisa terurai di alam. Pun demikian, sampah botol plastik yang memerlukan waktu untuk terurai di atas 400 tahun. Bahkan, untuk jenis plastik styrofoam sama sekali tidak bisa terurai di alam.
Dengan data di atas, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak segera membuat langkah strategis dalam pengelolaan sampah plastik. Perlu kebijakan komprehensif dengan mempertimbangkan semua aspek termasuk lingkungan, kesehatan dan ekonomi di dalamnya. Maklum, plastik-plastik ini tidak bisa dilepaskan dari kemasan produk baik itu makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari.
Berbagai opsi kebijakan untuk mengatasi sampah plastik harus terus dicari. Selain cukai, pembatasan kantong plastik di supermarket/minimarket, juga harus ada dukungan lain bagi mereka yang berhasil mengelola sampah plastik untuk didaur ulang.
Wacana plastic credit salah satunya. Wacana ini sempat mengemukan pada sebuah diskusi terbatas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa waktu lalu. Ide yang muncul yakni berupa pemberian kredit tertentu kepada mereka yang berhasil mendaur ulang plastik untuk kemudian dimanfaatkan kembali.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton, di mana 17%-nya adalah sampah plastik. Persentase sebesar itu setara dengan 11,6 juta ton. Sementara sampah terbanyak yang dihasilkan di dalam negeri didominasi oleh sisa makanan dengan komposisi sebesar 40%.
Baca Juga: koran-sindo.com
Pemerintah memang telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No 75 Tahun 2019 tentang peta jalan mendorong produsen dan pelaku usaha diwajibkan mengurangi penggunaan plastik. Namun di tataran konsumen, tata laksana pengendalian plastik ini masih jauh dari harapan.
Dari sisi fiskal, upaya mengurangi dampak dari sampah plastik juga mulai diupayakan. Tahun depan, Kementerian Keuangan merencanakan bakal menerapkan cukai untuk minuman berpemanis dan plastik. Sebagai penerapan cukai pada umumnya, kebijakan ini diambil dalam rangka mengurangi dan mengendalikan konsumsi bahan atau barang yang dianggap tidak baik bagi kesehatan dan lingkungan.
Rencana pengenaan cukai plastik ini sudah barang tentu mempertimbangkan banyak hal. Termasuk di dalamnya soal lingkungan dan sisi ekonominya. Jika kebijakan cukai ini diterapkan, tidak mustahil ini akan mengerek harga-harga produk di pasaran karena seperti cukai-cukai lainnya, produsen akan membebankan kepada konsumen.
Plastik termasuk sampah yang sulit diuraikan. Bahkan, sebuah kantong plastik disebut-sebut baru bisa terurai antara 10-500 tahun. Adapun kemasan sachet membutuhkan sekitar 50 - 80 tahun supaya bisa terurai di alam. Pun demikian, sampah botol plastik yang memerlukan waktu untuk terurai di atas 400 tahun. Bahkan, untuk jenis plastik styrofoam sama sekali tidak bisa terurai di alam.
Dengan data di atas, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak segera membuat langkah strategis dalam pengelolaan sampah plastik. Perlu kebijakan komprehensif dengan mempertimbangkan semua aspek termasuk lingkungan, kesehatan dan ekonomi di dalamnya. Maklum, plastik-plastik ini tidak bisa dilepaskan dari kemasan produk baik itu makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari.
Berbagai opsi kebijakan untuk mengatasi sampah plastik harus terus dicari. Selain cukai, pembatasan kantong plastik di supermarket/minimarket, juga harus ada dukungan lain bagi mereka yang berhasil mengelola sampah plastik untuk didaur ulang.
Wacana plastic credit salah satunya. Wacana ini sempat mengemukan pada sebuah diskusi terbatas di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa waktu lalu. Ide yang muncul yakni berupa pemberian kredit tertentu kepada mereka yang berhasil mendaur ulang plastik untuk kemudian dimanfaatkan kembali.