Merenda Optimisme dalam Histeria Ekonomi
loading...
A
A
A
Terlebih gelagat The Fed memberikan sinyal bahwa kebijakan moneter hawkish masih akan terus berlanjut di Amerika Serikat. Maknanya, tekanan pada rupiah masih belum berakhir. Stres oleh capital outflow, tergerusnya cadangan devisa, dan ketidakpastian global bisa berujung pada tindakan spekulasi yang bisa merapuhkan pasar keuangan.
Selain Amerika Serikat, yang perlu diwaspadai juga negara Eropa. Konflik Rusia-Ukraina yang masih belum reda menimbulkan gangguan rantai pasok yang tidak berkesudahan. Rentetannya, harga energi dan pangan di Eropa melambung cukup tinggi.
Di waktu yang bersamaan, terjadi musim dingin yang kurang lebih baru akan berakhir setelah 3 bulan. Secara tak langsung, ini berpotensi besar semakin mendongkrak permintaan gas dan listrik maka kenaikan harga energi global tak terelakkan. Kondisi ini bisa menyebabkan imported inflation yang mendorong biaya produksi di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Mencari Antidot Resesi
Sebenarnya, elemen utama yang patut dikhawatirkan untuk perekonomian Indonesia ke depan adalah risiko stagflasi akibat kelesuan ekspor. Dan pengikisan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh inflasi akibat volatilitas nilai tukar serta tingginya harga energi maupun pangan. Walaupun sempat melandai beberapa kali, tetapi inflasi masih berada di luar sasaran dan trennya cukup tajam.
Secara fundamental, Indonesia sebetulnya diuntungkan oleh struktur demografi yang cukup produktif dengan pertumbuhan dan besarnya populasi. Juga, tren jumlah masyarakat kelas menengah terus terus tumbuh tiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan konsumsi memiliki proporsi yang paling besar dalam pembentukan PDB.
Implikasinya, konsumsi bisa menjadi benteng pertahanan solid ketika ekspor mengalami perlambatan. Oleh karenanya, menjaga konsumsi adalah sebuah keniscayaan. Bila tidak hati-hati, konsumsi yang sejatinya merupakan bantalan perekonomian domestik bisa tergerus oleh inflasi dan berbahaya bagi kelangsungan ekonomi Indonesia di tengah resesi.
Di titik ini, Indonesia harus mampu menjaga laju inflasinya melalui koordinasi kebijakan yang tepat antara otoritas fiskal dan moneter dalam jangka pendek. Setidaknya, pemerintah bisa tetap hadir memberikan bantuan berupa subsidi dan optimalisasi Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam rangka mengantisipasi lonjakan tiba-tiba inflasi, serta menjaga daya beli masyarakat.
Ke depan yang harus jadi perhatian adalah masalah distribusi pendapatan. Mengikuti ekonomi Post Keynesian, performa ekonomi sejatinya dipengaruhi campur tangan pemerintah dalam mendistribusikan pendapatan yang adil. Runtutannya sebagai berikut. Tingginya pendapatan akan menentukan tingkat konsumsi dan permintaan rumah tangga.
Namun, pasar yang tidak sempurna dan kaum kapitalis yang memiliki dominasi lebih kuat dalam perekonomian, membuat distribusi pendapatan jadi tidak merata. Bila dibandingkan dengan rumah tangga biasa, kontribusi kaum kapitalis dalam menopang konsumsi perekonomian jauh lebih kecil. Lantaran ini disebabkan oleh kecenderungan menabungnya yang lebih besar dibandingkan konsumsi.
Maka konsumsi rumah tangga akan mengalami degradasi dalam jangka panjang dan bisa mengurangi laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Mau tidak mau, pemerintah harus campur tangan dalam urusan distribusi pendapatan ini.
Selain Amerika Serikat, yang perlu diwaspadai juga negara Eropa. Konflik Rusia-Ukraina yang masih belum reda menimbulkan gangguan rantai pasok yang tidak berkesudahan. Rentetannya, harga energi dan pangan di Eropa melambung cukup tinggi.
Di waktu yang bersamaan, terjadi musim dingin yang kurang lebih baru akan berakhir setelah 3 bulan. Secara tak langsung, ini berpotensi besar semakin mendongkrak permintaan gas dan listrik maka kenaikan harga energi global tak terelakkan. Kondisi ini bisa menyebabkan imported inflation yang mendorong biaya produksi di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Mencari Antidot Resesi
Sebenarnya, elemen utama yang patut dikhawatirkan untuk perekonomian Indonesia ke depan adalah risiko stagflasi akibat kelesuan ekspor. Dan pengikisan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh inflasi akibat volatilitas nilai tukar serta tingginya harga energi maupun pangan. Walaupun sempat melandai beberapa kali, tetapi inflasi masih berada di luar sasaran dan trennya cukup tajam.
Secara fundamental, Indonesia sebetulnya diuntungkan oleh struktur demografi yang cukup produktif dengan pertumbuhan dan besarnya populasi. Juga, tren jumlah masyarakat kelas menengah terus terus tumbuh tiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan konsumsi memiliki proporsi yang paling besar dalam pembentukan PDB.
Implikasinya, konsumsi bisa menjadi benteng pertahanan solid ketika ekspor mengalami perlambatan. Oleh karenanya, menjaga konsumsi adalah sebuah keniscayaan. Bila tidak hati-hati, konsumsi yang sejatinya merupakan bantalan perekonomian domestik bisa tergerus oleh inflasi dan berbahaya bagi kelangsungan ekonomi Indonesia di tengah resesi.
Di titik ini, Indonesia harus mampu menjaga laju inflasinya melalui koordinasi kebijakan yang tepat antara otoritas fiskal dan moneter dalam jangka pendek. Setidaknya, pemerintah bisa tetap hadir memberikan bantuan berupa subsidi dan optimalisasi Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam rangka mengantisipasi lonjakan tiba-tiba inflasi, serta menjaga daya beli masyarakat.
Ke depan yang harus jadi perhatian adalah masalah distribusi pendapatan. Mengikuti ekonomi Post Keynesian, performa ekonomi sejatinya dipengaruhi campur tangan pemerintah dalam mendistribusikan pendapatan yang adil. Runtutannya sebagai berikut. Tingginya pendapatan akan menentukan tingkat konsumsi dan permintaan rumah tangga.
Namun, pasar yang tidak sempurna dan kaum kapitalis yang memiliki dominasi lebih kuat dalam perekonomian, membuat distribusi pendapatan jadi tidak merata. Bila dibandingkan dengan rumah tangga biasa, kontribusi kaum kapitalis dalam menopang konsumsi perekonomian jauh lebih kecil. Lantaran ini disebabkan oleh kecenderungan menabungnya yang lebih besar dibandingkan konsumsi.
Maka konsumsi rumah tangga akan mengalami degradasi dalam jangka panjang dan bisa mengurangi laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Mau tidak mau, pemerintah harus campur tangan dalam urusan distribusi pendapatan ini.